Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2007

Peran Monumental Kaum Muda (II)

Dimuat Harian Kaltim Post, Edisi Rabu, 31 Oktober 2007 Terinfeksi Virus Negatif Setelah reformasi berhasil digulirkan, pemuda justru kehilangan elan vital-nya sebagai agen perubahan dan pembaharuan (agent of Change). Sedikit sekali kaum muda yang peduli akan bangsanya. Memang, ada beberapa organisasi kepemudaan (OKP) maupun organisasi pergerakan di tiap-tiap perguruan tinggi (IMM, HMI, PMII, dll), yang melakukan transformasi idealisme maupun regulasi kebangsaan. Tetapi, jumlah kadernya bisa dihitung dengan jari. Sisanya, pemuda lebih banyak menjadi pengikut budaya hedonis dan matrealistis. Fungsi pemuda juga dirasakan semakin terdegradasi. Mereka ditengarai ditumpangi banyak "ide pragmatisme". Di sini, eksistensi peran fungsi pemuda terlihat sangat rapuh untuk berhadapan dengan sistem politik negara yang korup, mereka terperangkap untuk mengusung isu-isu yang tidak populer dan kemudian cenderung memperkuat sistem korup yang berlangsung. Contohnya pemuda masuk dalam organisas

Peran Monumental Kaum Muda ( I )

Dimuat Harian Kaltim Post , Edisi Selasa, 30 Oktober 2007 Sejarah Indonesia adalah sejarah kaum muda. Dulu, Bung Karno memproklamasikan Indonesia saat usianya masih terbilang belia (44 tahun), Bung Hatta merumuskan pledoinya dengan judul “Indonesia Merdeka !” di depan Pengadilan Kolonial Belanda di Den Haag di usia 25 tahun, sementara Bung Sjahrir menjadi Perdana Menteri (PM) Indonesia I di usia 36 tahun. Selain itu, banyak peristiwa bersejarah dimotori kaum muda. Pada era pra-kemerdekaan misalnya, pemuda mendirikan organisasi yang diberi nama “Boedi Oetomo”. Organisasi ini pula yang memperkenalkan sekaligus menumbuh kembangkan semangat nasionalisme kebangsaan, hingga membidani lahirnya ikrar “Sumpah Pemuda” tanggal 28 Oktober 1928. Tiga komitmen serta kesadaran penting akan tanah air, bangsa, dan bahasa satu yaitu Indonesia, tercetus dalam sumpah tersebut. Tanggal 17 Agustus 1945, tidak akan menjadi peristiwa monumenta jika saja para pemuda “Menteng” tidak menculik Sukarno. Penculikan

Ironi Suksesi Kepemimpinan Kita

Dimuat Harian Suara Karya, Edisi Kamis, 25 Oktober 2007 Baru-baru ini nama Bang Yos (Sutiyoso) mencuat ke permukaan sebagai salah satu nama yang bakal meramaikan bursa calon presiden (capres) 2009. Menurut pakar ilmu pemerintahan Ryaas Rasyid, di antara calon lain seperti Megawati, Wiranto, Jusuf Kalla, SBY maupun Gus Dur, Sutiyoso memiliki banyak peluang. Menurut Ryaas, Sutiyoso memiliki pengalaman yang teruji di pemerintahan, memiliki ketegasan, dan jaringan yang luas. Tak mengherankan bila Bang Yos sudah mulai didekati partai-partai. Memang tidak bisa dimungkiri, sebagai mantan gubernur DKI, Sutiyoso relatif paling sukses. Salah satu terobosan yang pernah dilakukan adalah pembangunan busway, monorel, subway, dan angkutan sungai. Di level kenegaraan, Sutiyoso memiliki jaringan yang baik dengan para gubernur di seluruh Indonesia, karena posisinya sebagai Ketua Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Pengalaman menangani permasalahan yang dihadapi sebagai Gubernur DK

Sastra Sebagai Literatur Sejarah

Dimuat Harian Seputar Indonesia, Minggu, 21/10/2007 Sastra memang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Bukan hanya unsur estetis, filosofis, imajinasi dan emosionalnya yang memberi asupan vitamin batin manusia, tetapi sastra juga mampu menjadi media rekaman sekaligus rujukan literatur yang patut diperhitungkan dalam upaya penelisikan sejarah umat manusia. Melalui karya sastra, kita bakal melintasi panorama sejarah secara kritis. Bahkan, lantaran kecakapan sang pujangga meruwat fakta sejarah, sastra mampu menyuguhkan sejarah yang menyentil emosi serta menggugah kesadaran penikmatnya akan keunikan pojok sejarah –meminjam istilah Emha Ainun Najib (Cak Nun)– yang kadang tidak kita insafi. Melalui sastra juga, kita diajak bersedih, gembira, tertawa, membenci, gandrung, dan masygul terhadap pojok sejarah tersebut. Dalam buku The Act of Creation: A Study of the Conscious and Unconscious in Science and Art (1967),Arthur Koestler mencoba mengklasifikasikan berbagai penemuan “besar”

Menulis Kebenaran Sejarah Versi Sastra

Dimuat Harian Kaltim Post , Edisi Sabtu, 20 Oktober 2007 Tragedi G 30 S/PKI, kejadian pahit. Dalam peristiwa memilukan itu, beberapa petinggi militer dibunuh. Kejadian tragis berikutnya adalah ribuan manusia mengalami penyiksaan dan pembantaian akibat perbedaan ideologi. Orang-orang yang dituding sebagai penganut komunisme disingkirkan atau mengalami pengasingan berkepanjangan. Episode penuh kepahitan itu ditutup oleh sebuah layar yang bernama Kesaktian Pancasila. Sayangnya, sampai detik ini kita masih dibuat penasaran akan kebenaran sejarah peristiwa tersebut. Selama hampir 32 tahun, kebenaran sejarah peristiwa tersebut kabur. Penjelasan sejarah versi penguasa Orde Baru kurang berimbang. Kadangkala malah menonjolkan salah satu sosok yang paling berjasa menuntaskan peristiwa tersebut. Memang, dengan cara tersebut Orde Baru berhasil mendapatkan keabsahan dalam menjalankan kekuasaan. Meski demikian, akankah kebenaran sepihak—yang mengarah pada kebohongan—akan terus diwariskan pada genera

Mukjizat Kultural Tradisi Mudik

Dimuat Harian Sinar Harapan, Kamis, 11 Oktober 2007 Tidak setiap momen kehidupan bisa dijelaskan secara rasional. Buktinya, saat ini kita tengah disibukkan dengan momen itu, yaitu mudik. Mudik! Istilah ini menjadi populer setiap menjelang berakhirnya bulan Ramadan. Tradisi yang telah telah berlangsung puluhan tahun ini, menjadi penanda bahwa hubungan emosional masyarakat dengan tempat kelahiran masih sangat kuat, tidak pernah terkikis oleh perjalanan waktu. Lebih-lebih dalam lingkungan masyarakat Jawa, tradisi mudik dilatarbelakangi oleh kecenderungan menengok ke belakang, memandang masa lampau, dan menatap ke dalam sangat kuat. Menurut Umar Kayam (2002), tradisi mudik lebaran sejatinya merupakan sebuah manifestasi dialektika kultural yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Secara historis, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah dikenal jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit. Pada awalnya, kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan pekuburan dan doa be

Kesalehan Kultural Tradisi Mudik

Dimuat Harian Kaltim Post, Edisi Senin, 8 Oktober Mudik! Istilah ini menjadi kian populer menjelang berakhirnya bulan Ramadan. Setiap perantau pasti saling bertanya, “kapan hendak mudik?” Kegembiraan terpancar dari wajah mereka yang menanti saat-saat mudik. Ya, kegembiraan yang tak tertandingi lantaran bakal menapaki kampung halaman yang menyimpan berjuta kenangan. Mereka bakal bertemu dan berkumpul dengan sanak saudara maupun rekan sepermainan sewaktu kecil. Sungguh mengharukan, menggembirakan, membahagiakan, sekaligus merepotkan dan melelahkan. Istilah mudik barangkali hanya dikenal di Indonesia. Mengapa demikian? Karena tradisi ini tidak dijumpai di belahan bumi mana pun, termasuk negara-negara pemeluk agama Islam. Saat ini, tradisi mudik tidak lagi menjadi monopoli umat Islam semata guna merayakan hari raya Idul Fitri, tetapi telah menjadi kebutuhan semua elemen bangsa. Mudik benar-benar perilaku khas sekaligus salah satu kearifan lokal (local genius) bangsa ini yang patut dilestar

Makna di Balik Teks (Sastra)

Dimuat Harian Seputar Indonesia, Edisi Minggu, 30/09/2007 Karya sastra idealnya memberi kontribusi positif bagi pembacanya. Lewat rangkaian kata yang ditata sedemikian rupa—penuh cita rasa dan unsur simbolis—,karya sastra memberi pencerahan sekaligus pemenuhan dahaga batiniah pengonsumsinya. Apalagi pada carut-marut kehidupan bernegara kita yang kian sibuk dengan agenda-agenda politik, sementara menganaktirikan aspek kehidupan rakyat lainnya.Rakyat kita yang didera berjuta persoalan, tersudut pada ruang kehidupan yang sempit,pengap,dan penuh kemunafikan. Memang dalam upaya mendapatkan makna dan apresiasi karya sastra,setiap orang diberi kebebasan menafsirkan teks-teks sastra tersebut. Hanya, hasil penafsirannya belum tentu mencercap makna yang diinginkan pengarangnya. Prof Teeuw (1983) dalam hal ini cukup hati-hati merumuskan kebebasan penafsiran teks sastra tersebut. Menurut Teeuw, lantaran peluang apresiasi (apreciation probability) yang disuguhkan teks sastra, sang penafsir kadang b