Dimuat Harian Kaltim Post, Edisi Selasa, 30 Oktober 2007
Sejarah Indonesia adalah sejarah kaum muda. Dulu, Bung Karno memproklamasikan Indonesia saat usianya masih terbilang belia (44 tahun), Bung Hatta merumuskan pledoinya dengan judul “Indonesia Merdeka !” di depan Pengadilan Kolonial Belanda di Den Haag di usia 25 tahun, sementara Bung Sjahrir menjadi Perdana Menteri (PM) Indonesia I di usia 36 tahun.
Selain itu, banyak peristiwa bersejarah dimotori kaum muda. Pada era pra-kemerdekaan misalnya, pemuda mendirikan organisasi yang diberi nama “Boedi Oetomo”. Organisasi ini pula yang memperkenalkan sekaligus menumbuh kembangkan semangat nasionalisme kebangsaan, hingga membidani lahirnya ikrar “Sumpah Pemuda” tanggal 28 Oktober 1928. Tiga komitmen serta kesadaran penting akan tanah air, bangsa, dan bahasa satu yaitu Indonesia, tercetus dalam sumpah tersebut.
Tanggal 17 Agustus 1945, tidak akan menjadi peristiwa monumenta jika saja para pemuda “Menteng” tidak menculik Sukarno. Penculikan tersebut didasari rasa kurang sabar pemuda mengikuti cara-cara kaum tua—yang diwakili Sukarno—yang lamban dalam merebut kemerdekaan dari penjajah Jepang. Selanjutnya, pada era-perang kemerdekaan, kita tidak asing dengan keberanian kaum muda (arek-arek) Surabaya. Meski hanya bersenjatakan bambu runcing, tombak, keris dan senjata kuno lainnya, arek-arek Surabaya tersebut berhasil mengusir tentara Sekutu. Padahal, Sekutu waktu itu menggunakan senjata canggih dan modern.
Perjuangan heroik merebut “Jogja kembali,” juga tak lepas dari peran serta keberanian pemuda Sri Sultan HB IX, Komarudin, Letnan Masduki, dan Letnan Suharto. Di Bali, kita juga mendengar keberanian dan semangat tanpa pamrih pemuda I Gusti Ngurah Rai dalam mempertahankan lapangan “Margarana.” Di Manado ada keberanian dan pengorbanan pemuda Robet Wolter Monginsidi, sementara di Ambon ada pemuda Pattimura dan tokoh-tokoh muda lainnya. Para pahlawan muda tersebut berjuang tanpa pamrih, demi mempertahankan kedaulatan dan bangsa ini.
Perjuangan heroik merebut “Jogja kembali,” juga tak lepas dari peran serta keberanian pemuda Sri Sultan HB IX, Komarudin, Letnan Masduki, dan Letnan Suharto. Di Bali, kita juga mendengar keberanian dan semangat tanpa pamrih pemuda I Gusti Ngurah Rai dalam mempertahankan lapangan “Margarana.” Di Manado ada keberanian dan pengorbanan pemuda Robet Wolter Monginsidi, sementara di Ambon ada pemuda Pattimura dan tokoh-tokoh muda lainnya. Para pahlawan muda tersebut berjuang tanpa pamrih, demi mempertahankan kedaulatan dan bangsa ini.
Tahun 1966 kaum muda kembali melahirkan peristwa monumental. Mereka berhasil menurunkan presiden Sukarno dari jabatannya. Kaum muda menilai Sukarno kurang memihak rakyat dan hanya menuruti hawa nafsunya. Sukarno juga gagal dalam mengentaskan krisis ekonomi dan kurang berani membubarkan PKI. Pada waktu itu, kaum muda berhasil menjalin hubungan yang harmonis dengan berbagai elemen bangsa, seperti KAMI, KAPPI,dan militer. Lewat peran monumental ini, pemuda berhasil mendudukkan Jenderal Suharto sebagai presiden ke-2 RI.
Setelah 32 tahun berkuasa, Presiden Suharto malah menindas rakyat. Sistem pemerintahan totaliter tidak memberi ruang demokrasi di setiap lini kehidupan. Kebebasan berserikat, berkumpul dan menggeluarkan pendapat dipasung dengan kekuatan militer. Bahkan dengan kejam, Suharto membungkam lawan-lawan politiknya. Rakyat sangat menderita lantaran sandang dan pangan yang membumbung tinggi. Pemuda merasa terpanggil dan kembali menelorkan gerakan monumental sebagai usaha menyelamatkan NKRI yang disebut sebagai gerakan reformasi pada tanggal 21 Mei 1998.(bersambung)
*) Agus Wibowo, Penggiat Komunitas Aksara Jogjakarta
*) Agus Wibowo, Penggiat Komunitas Aksara Jogjakarta
Komentar
Posting Komentar