Langsung ke konten utama

Ironi Suksesi Kepemimpinan Kita

Dimuat Harian Suara Karya, Edisi Kamis, 25 Oktober 2007
Baru-baru ini nama Bang Yos (Sutiyoso) mencuat ke permukaan sebagai salah satu nama yang bakal meramaikan bursa calon presiden (capres) 2009. Menurut pakar ilmu pemerintahan Ryaas Rasyid, di antara calon lain seperti Megawati, Wiranto, Jusuf Kalla, SBY maupun Gus Dur, Sutiyoso memiliki banyak peluang. Menurut Ryaas, Sutiyoso memiliki pengalaman yang teruji di pemerintahan, memiliki ketegasan, dan jaringan yang luas. Tak mengherankan bila Bang Yos sudah mulai didekati partai-partai.

Memang tidak bisa dimungkiri, sebagai mantan gubernur DKI, Sutiyoso relatif paling sukses. Salah satu terobosan yang pernah dilakukan adalah pembangunan busway, monorel, subway, dan angkutan sungai.

Di level kenegaraan, Sutiyoso memiliki jaringan yang baik dengan para gubernur di seluruh Indonesia, karena posisinya sebagai Ketua Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Pengalaman menangani permasalahan yang dihadapi sebagai Gubernur DKI Jakarta-yang jauh lebih kompleks bila dibandingkan yang dihadapi gubernur lain-Sutiyoso dinilai layak memimpin bangsa ini. Bang Yos bahkan dinilai mampu membuktikan dirinya sebagai pemimpin sekaligus birokrat yang tangguh.

Masalahnya, dalam perpolitikan di Indonesia, kriteria kompetensi saja tidak cukup, karena masih ada hal lain yang menentukan, yakni sistem politik, faktor sosiologis dan psikologis rakyat.

Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Toto Suryaningtyas (2007), diketahui bahwa preferensi rakyat kita terhadap sosok kepemimpinan nasional belum menunjukkan pergeseran. Nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati masih dominan di kalangan rakyat. Meskipun kedua nama ini ditengarai gagal memimpin negeri ini, tetapi model kepemimpinan kharismatik yang dimilikinya masih tetap menyedot loyalitas rakyat atasnya. Hal ini memiliki konteks dengan kondisi bangsa ini. Pergeseran model kehidupan dari era agraris menuju era industrial, masih menyisakan kerinduan pada sosok yang digdaya, linuwih dan pilih tandhing.

Apa yang dikemukakan Philip Sadler (1997) dalam bukunya Leadership, tampaknya relevan dengan preferensi kepemimpinan di negeri ini. Sadler sebagaimana Max Webber, menduga konsep kepemimpinan modern (profesional dan transformasional) tidak akan cocok pada kondisi peralihan dari agraris ke industrialis tersebut.

Menurut Sadler, corak kepemimpinan kharismatik, meski dihujat di kalangan akademis, karena bertumpu pada otoritas individu, tetap tumbuh subur dan menjadi pilihan di bawah kesadaran naif rakyat.

Memang rakyat kita sadar pemimpin yang mereka pilih itu mengecewakan dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi apa yang akan didapat jika mengalihkan pada sosok lain, belum tentu lebih baik atau justru malah lebih buruk.

Ketidakberdayaan yang memenuhi ruang batin rakyat akan pilihan pada sosok pemimpin, masih dibumbui dengan mitos magis "ratu adil" yang melegenda tersebut. Dalam anggapan rakyat kita, sosok pemimpin sekali waktu bisa khilaf. Tetapi lantaran "wahyu" yang menaunginya-karena dianggap sebagai ratu adil-sang pemimpin bakal kembali lagi pada jalan lurusnya. Oleh karena itu, kegagalan SBY maupun Megawati memimpin negeri ini dianggap sebagai sebuah kewajaran. Pemimpin yang tidak dinaungi "wahyu" menurut rakyat kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Ironisnya partai politik (parpol) yang mestinya menjadi penyeimbang (balance) perpolitikan kita dengan dunia mitos, malah sering oportunis. Mereka justru memanfaatkan mitos-mitos ini seraya mendekati para tokoh yang dianggap representasi mitos tersebut-dalam istilah lain memiliki kepemimpinan kharismatik-sebagai kendaraan politik mencapai kepuasan nafsu material kelompoknya.

Sementara sang tokoh "kharismatik" sering tidak sadar jika dirinya dijadikan alat. Setelah kesepakatan dibuat, dan sang tokoh menyetujui konsekuensi balas jasa, mesin partai mengadakan propaganda besar-besaran. Rakyat yang sudah dibuai dunia mitos, menemukan alurnya dengan menjatuhkan pilihan pada kendaraan parpol tersebut.

Setelah pemimpin terpilih, sang pemimpin kharismatik sejatinya ingin mendarmabaktikan hidupnya kepada rakyat yang memberinya amanat. Tetapi lantaran pertimbangan politis, takut bergesekan dengan parpol pendukungnya atau karena harus memenuhi konsekuensi balas jasa, ia menjadi sosok yang lemah dan tak berdaya. Keputusan kenegaraan yang mestinya diambil secara tegas, sering berubah haluan. Hasilnya, rakyat kita sering dibingungkan oleh kebijakan yang tidak tegas dan sering menyengsarakan mereka. Kepemimpinan yang dibingkai atas dasar dunia mitos dan didukung oleh parpol yang haus kekuasaan, pada gilirannya hanya akan membawa bangsa ini pada krisis multidimensional yang tiada akhir.

Kenyataan inilah yang dialami bangsa ini. Oleh karena itu, ketika bergulir calon perseorangan (calon independen) di luar kawalan parpol, rakyat kurang meresponsnya. Dalam benak mereka, proses pencalonan presiden tanpa peran parpol justru sangat mengkhawatirkan. Presiden demikian dikhawatirkan lebih banyak mengandalkan faktor popularitas (dan uang), sebagaimana terjadi dalam pilkada di beberapa daerah. Itulah sebabnya beberapa nama, yang sejatinya mumpuni, seperti Sutiyoso, Amin Rais, Sri Sultan HB X, Hidayat Nur Wahid, Surya Paloh maupun yang lain, terlindas dengan popularitas SBY dan Megawati.

Persoalan suksesi kepemimpinan nasional memang perlu pemikiran yang matang dan perlu kacamata hati yang jernih. Parpol sebagai wakil rakyat dalam proses demokrasi mestinya menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan. Sudah waktunya krisis multidimensional yang mendera bangsa ini diakhiri dengan proses suksesi kepemimpinan yang bersih, luhur, bebas dari nafsu keserakahan dan kekuasaan. Kita tidak ingin bangsa ini semakin hancur lantaran proses suksesi yang asal-asalan serta melalui mekanisme yang kotor akan KKN.

Bangsa ini akan semakin hancur jika dipimpin oleh orang yang tidak kompeten serta hanya menjadi kendaraan sebuah parpol belaka. Suksesi kepemimpinan nasional memang mesti segera diagendakan, tetapi tidak boleh mengesampingkan agenda-agenda kenegaraan lainnya yang lebih berkaitan dengan nasib rakyat.[] Agus Wibowo, Peneliti pada Forum Kajian Politik danPendidikan (FKPP) Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...