Langsung ke konten utama

Mukjizat Kultural Tradisi Mudik

Dimuat Harian Sinar Harapan, Kamis, 11 Oktober 2007
Tidak setiap momen kehidupan bisa dijelaskan secara rasional. Buktinya, saat ini kita tengah disibukkan dengan momen itu, yaitu mudik. Mudik! Istilah ini menjadi populer setiap menjelang berakhirnya bulan Ramadan. Tradisi yang telah telah berlangsung puluhan tahun ini, menjadi penanda bahwa hubungan emosional masyarakat dengan tempat kelahiran masih sangat kuat, tidak pernah terkikis oleh perjalanan waktu. Lebih-lebih dalam lingkungan masyarakat Jawa, tradisi mudik dilatarbelakangi oleh kecenderungan menengok ke belakang, memandang masa lampau, dan menatap ke dalam sangat kuat.
Menurut Umar Kayam (2002), tradisi mudik lebaran sejatinya merupakan sebuah manifestasi dialektika kultural yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Secara historis, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah dikenal jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit. Pada awalnya, kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya, yang dilaksanakan secara rutin sekali dalam setahun. Sejak pengaruh Islam masuk, tradisi ini berangsur terkikis, karena dianggap syirik. Namun peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idul Fitri.
Saat ini, tradisi mudik tidak lagi menjadi monopoli umat Islam semata guna merayakan hari raya Idul Fitri, tetapi telah menjadi kebutuhan semua elemen bangsa. Mudik benar-benar prilaku khas sekaligus salah satu kearifan lokal bangsa ini yang patut dilestarikan.
Naik Strata
Tradisi mudik juga menyimpan mukjizat dari berbagai dimensi. Dimensi psikologis misalnya, lantaran kenaikan sembilan kebutuhan pokok (sembako), ruang kehidupan yang semakin sempit, carut-marut dunia politik dan moralitas bangsa, bakal berdampak pada dimensi kejiwaan personal. Maka sering kita jumpai banyak orang menderita tekanan mental atau “stres,” yang gejalanya bisa bermacam, seperti susah tidur, tekanan darah tinggi, jantung dan sebagainya.
Guna mengatasi penyakit tersebut, orang harus bersunyi-sunyi dengan pergi ke daerah yang tenang, damai, dan jauh dari hiruk-pikuk persoalan duniawi. Orang perlu melepaskan penat tersebut dengan rileks, “curhat” atau bersilaturahmi dan mengunjungi orang-orang terdekat. Untungnya dalam khazanah budaya kita terdapat sebuah tradisi yang khas sekaligus pengobat persoalan batin tersebut, yaitu tradisi mudik!
Dipandang dari dimensi sosial menurut Hermawan Sulistyo (2004), fenomena mudik juga menjadi indikator ketergantungan desa pada kota. Status sosial menengah ke bawah di desa tidak mungkin dapat menaiki tangga sosial langsung ke lapisan elite lokal.
Mengadu nasib ke kota merupakan salah satu jalan yang ditempuh agar mobilitas sosial dapat melalui “jalan tol” untuk naik tangga sosial. Para penjual angkringan, soto, dan mi ayam yang sukses misalnya, ketika pulang ke desa posisinya langsung masuk strata atas.
Ukuran kesuksesan hidup di kota ini pula yang sering menjadi beban sosial orang untuk mudik. Sudah lazimnya, kisah sukses harus dipamerkan ke komunitas asal. Mudik Lebaran adalah momentum paling tepat untuk maksud itu. Jadi merayakan kemenangan di hari Lebaran bukan hanya dalam arti religius, namun juga dalam segi material. Bagi yang belum sukses biasanya memilih untuk tidak mudik sampai ada identitas ekonomi atau status sosial yang bisa dipamerkan.
Dari sisi ekonomi, aliran modal bakal mengalir ke kampung ketika mudik terjadi. Tentu saja ini menjadi sumber pemasukan (income) bagi daerah. Tradisi mudik juga menjadi pemicu kegairahan aspek perekonomian lainnya. Perusahaan transportasi bersaing menawarkan pelayanan, bank menyodorkan berbagai pelayanan kebutuhan uang, sementara perusahaan komunikasi berusaha memanjakan pemudik dengan berbagai fasilitas. Walhasil, perekonomian di berbagai daerah jadi bangkit dan bergairah berkat kehadiran para pemudik.
Dihamburkan dalam Sekejap
Anehnya, prinsip asas manfaat dan budaya hemat secara ekonomi, justru tidak berlaku dalam tradisi mudik. Bayangkan, para perantau harus bekerja membanting tulang dan menabung selama berbulan-bulan. Namun, hasil kerja keras tersebut dihambur-hamburkan dalam waktu relatif singkat hanya untuk mudik. Belum lagi, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk berbelanja, memanjakan pola hidup konsumtif dan hedonis, serta berbagai pernak-pernik efek pamer lainnya.
Begitu dahsyat semangat mudik Lebaran, sampai-sampai banyak orang yang sudah tak berpikir panjang lagi tentang keselamatannya selama perjalanan, asalkan mereka bisa mencium tanah di kampung halaman. Orang-orang sudah larut dengan emosionalnya untuk berkumpul dengan sanak saudaranya. Sebagaimana diberitakan media ini (SH, 04/10/2007), berbagai sarana transportasi yang sudah penuh sesak, masih dipaksakan dimuati penumpang. Banyak penumpang kapal laut berjejal di tempat-tempat rawan seperti di sekoci kapal yang bergelantungan atau alat-alat keamanan lainnya.
Kita bisa membayangkan bila terjadi kecelakaan. Seandainya terjadi musibah di tengah laut, sebagian penumpang kehilangan harapan karena sekoci sudah penuh.Di moda transportasi lain setali tiga uang. Terutama di kereta api (KA) kelas ekonomi atau bus-bus antarkota, penumpang berjejal-jejal. Sering beberapa bus lebih berpikir meraih penumpang sebanyak-banyaknya daripada memikirkan kelayakan kendaraannya. Berbagai tragedi kecelakaan transportasi mudik lebih banyak diakibatkan kelewat banyaknya penumpang di samping kelalaian dari pengemudinya.
Meski tuntutan sukma dan emosional untuk mudik sudah membuncah, kita tetap tidak boleh kehilangan akal rasional kita. Keselamatan dan berbagai pertimbangan sosial, ekonomi dan psikologis tetap kita kedepankan. Yang paling penting, kita harus bisa mengambil hikmah dari tradisi mudik.
Kesederhanaan sebagai orang desa, keluguan dalam bergaul dengan sesama menyebabkan bangunan persaudaraan yang dibangun antarwarga kampung tidak dibatasi sekat-sekat. Keadaan kampung halaman yang tandus, penderitaan teman sepermainan yang hidup miskin, maupun carut-marut tanah tercinta mestinya mengingatkan elit politik untuk tidak berlaku curang, membudayakan KKN dan membuat rakyat semakin menderita. Akhirnya, tradisi mudik sebagai mukjizat budaya perlu kita lestarikan, jangan sampai punah ditelan modernitas. Selamat hari raya Idul Fitri 1428 H, mohon maaf lahir dan batin.
Agus Wibowo: Penulis adalah Pegiat Komunitas Aksara Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...