Dimuat Harian Kaltim Post, Edisi Senin, 8 Oktober
Mudik! Istilah ini menjadi kian populer menjelang berakhirnya bulan Ramadan. Setiap perantau pasti saling bertanya, “kapan hendak mudik?” Kegembiraan terpancar dari wajah mereka yang menanti saat-saat mudik.
Ya, kegembiraan yang tak tertandingi lantaran bakal menapaki kampung halaman yang menyimpan berjuta kenangan. Mereka bakal bertemu dan berkumpul dengan sanak saudara maupun rekan sepermainan sewaktu kecil. Sungguh mengharukan, menggembirakan, membahagiakan, sekaligus merepotkan dan melelahkan.
Istilah mudik barangkali hanya dikenal di Indonesia. Mengapa demikian? Karena tradisi ini tidak dijumpai di belahan bumi mana pun, termasuk negara-negara pemeluk agama Islam. Saat ini, tradisi mudik tidak lagi menjadi monopoli umat Islam semata guna merayakan hari raya Idul Fitri, tetapi telah menjadi kebutuhan semua elemen bangsa. Mudik benar-benar perilaku khas sekaligus salah satu kearifan lokal (local genius) bangsa ini yang patut dilestarikan.
Sebenarnya sejak kapan orang melaksanakan tradisi mudik (lebaran)? Sampai kini, siapa yang mula-mula menggunakan istilah mudik belum diketahui secara pasti. Yang jelas istilah ini tercatat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1976). Para penyusun kamus yang lain (Badudu-Zain, 1994 dan Abdul Chaer, 1976), termasuk Kamus Dewan (1991) terbitan Malaysia, sepakat bahwa istilah mudik berarti ’pulang ke udik’, atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari lebaran.
Menurut Umar Kayam (2002), tradisi mudik lebaran sejatinya merupakan sebuah manifestasi dialektika kultural yang sudah berjalan berabad-abad lamanya (old tradition). Secara historis, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah dikenal jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit. Pada awalnya, kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya, yang dilaksanakan secara rutin sekali dalam setahun. Sejak pengaruh Islam masuk, tradisi ini berangsur terkikis, karena dianggap syirik. Namun peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idulfitri.
Ya, kegembiraan yang tak tertandingi lantaran bakal menapaki kampung halaman yang menyimpan berjuta kenangan. Mereka bakal bertemu dan berkumpul dengan sanak saudara maupun rekan sepermainan sewaktu kecil. Sungguh mengharukan, menggembirakan, membahagiakan, sekaligus merepotkan dan melelahkan.
Istilah mudik barangkali hanya dikenal di Indonesia. Mengapa demikian? Karena tradisi ini tidak dijumpai di belahan bumi mana pun, termasuk negara-negara pemeluk agama Islam. Saat ini, tradisi mudik tidak lagi menjadi monopoli umat Islam semata guna merayakan hari raya Idul Fitri, tetapi telah menjadi kebutuhan semua elemen bangsa. Mudik benar-benar perilaku khas sekaligus salah satu kearifan lokal (local genius) bangsa ini yang patut dilestarikan.
Sebenarnya sejak kapan orang melaksanakan tradisi mudik (lebaran)? Sampai kini, siapa yang mula-mula menggunakan istilah mudik belum diketahui secara pasti. Yang jelas istilah ini tercatat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1976). Para penyusun kamus yang lain (Badudu-Zain, 1994 dan Abdul Chaer, 1976), termasuk Kamus Dewan (1991) terbitan Malaysia, sepakat bahwa istilah mudik berarti ’pulang ke udik’, atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari lebaran.
Menurut Umar Kayam (2002), tradisi mudik lebaran sejatinya merupakan sebuah manifestasi dialektika kultural yang sudah berjalan berabad-abad lamanya (old tradition). Secara historis, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah dikenal jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit. Pada awalnya, kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya, yang dilaksanakan secara rutin sekali dalam setahun. Sejak pengaruh Islam masuk, tradisi ini berangsur terkikis, karena dianggap syirik. Namun peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idulfitri.
Dahaga Batiniah
Kenaikan sembilan kebutuhan pokok (sembako), ruang kehidupan yang semakin sempit, carut-marut dunia politik dan moralitas bangsa, menyisakan persoalan yang menyesakkan dada. Secara psikologis, persoalan tersebut bakal berdampak pada dimensi kejiwaan personal. Maka sering kita jumpai banyak orang menderita tekanan mental atau “stress,” yang gejalanya bisa bermacam, seperti susah tidur (insomnia), tekanan darah tinggi (stroke), jantung dan sebagainya.
Guna mengatasi penyakit tersebut, orang harus bersunyi-sunyi dengan pergi ke daerah yang tenang, damai dan jauh dari hiruk-pikuk persoalan duniawi. Orang perlu melepaskan penat tersebut dengan rileks, “curhat” atau bersilaturrahmi/mengunjungi orang-orang terdekat. Untungnya dalam khazanah budaya kita terdapat sebuah tradisi yang khas sekaligus pengobat persoalan batin tersebut, yaitu tradisi mudik!
Menurut Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam bukunya Sedang Tuhan pun Cemburu (1994), orang beramai-ramai mudik sejatinya sedang memenuhi tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akarab kembali dengan asal-usulnya. Melalui tradisi mudik, orang berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar kehidupan: komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak-ibu, alam semesta, berpangkal (atau berujung) di Allah Swt melalui runtutan akar historisnya. Kesadaran semacam itu tampak dari mereka (para pemudik) yang berusaha untuk sedapat mungkin berada di tengah-tengah keluarga dan sanak kerabat tatkala Idulfitri tiba untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan, serta menunaikan kewajiban membayar zakat di kampung halamannya. Dengan istilah lain, mudik menjadi penanda komitmen batin manusia terhadap sangkan paran dirinya.
Memang tradisi mudik ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun, itu tak membuat para pemudik enggan mudik. Meminjam istilah budayawan Jacob Sumarjan, harta dunia ini bisa dicari, tetapi berkah rohani munggah (balik) dan mudik itu tak bisa dibeli dengan materi apapun. Segala beban yang serasa menghimpit, cair seketika lantaran menatap wajah-wajah tulus, penuh kasih sayang dan tanpa pamrih. Begitu hendak kembali ke tempat kerja, semangat telah pulih kembali. Harapan untuk bertemu kembali dengan kampung halaman di tahun berikutnya, menjadi motivasi bekerja guna mudik kembali.
Kenaikan sembilan kebutuhan pokok (sembako), ruang kehidupan yang semakin sempit, carut-marut dunia politik dan moralitas bangsa, menyisakan persoalan yang menyesakkan dada. Secara psikologis, persoalan tersebut bakal berdampak pada dimensi kejiwaan personal. Maka sering kita jumpai banyak orang menderita tekanan mental atau “stress,” yang gejalanya bisa bermacam, seperti susah tidur (insomnia), tekanan darah tinggi (stroke), jantung dan sebagainya.
Guna mengatasi penyakit tersebut, orang harus bersunyi-sunyi dengan pergi ke daerah yang tenang, damai dan jauh dari hiruk-pikuk persoalan duniawi. Orang perlu melepaskan penat tersebut dengan rileks, “curhat” atau bersilaturrahmi/mengunjungi orang-orang terdekat. Untungnya dalam khazanah budaya kita terdapat sebuah tradisi yang khas sekaligus pengobat persoalan batin tersebut, yaitu tradisi mudik!
Menurut Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam bukunya Sedang Tuhan pun Cemburu (1994), orang beramai-ramai mudik sejatinya sedang memenuhi tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akarab kembali dengan asal-usulnya. Melalui tradisi mudik, orang berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar kehidupan: komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak-ibu, alam semesta, berpangkal (atau berujung) di Allah Swt melalui runtutan akar historisnya. Kesadaran semacam itu tampak dari mereka (para pemudik) yang berusaha untuk sedapat mungkin berada di tengah-tengah keluarga dan sanak kerabat tatkala Idulfitri tiba untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan, serta menunaikan kewajiban membayar zakat di kampung halamannya. Dengan istilah lain, mudik menjadi penanda komitmen batin manusia terhadap sangkan paran dirinya.
Memang tradisi mudik ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun, itu tak membuat para pemudik enggan mudik. Meminjam istilah budayawan Jacob Sumarjan, harta dunia ini bisa dicari, tetapi berkah rohani munggah (balik) dan mudik itu tak bisa dibeli dengan materi apapun. Segala beban yang serasa menghimpit, cair seketika lantaran menatap wajah-wajah tulus, penuh kasih sayang dan tanpa pamrih. Begitu hendak kembali ke tempat kerja, semangat telah pulih kembali. Harapan untuk bertemu kembali dengan kampung halaman di tahun berikutnya, menjadi motivasi bekerja guna mudik kembali.
Pemasukan daerah
Secara ekonomis, aliran modal bakal mengalir ke kampung ketika mudik terjadi. Tentu saja ini menjadi sumber pemasukan (income) bagi daerah. Di sisi lain, tradisi mudik juga menggairahkan aspek perekonomian lainnya. Perusahaan transportasi bersaing menawarkan pelayanan, bank menyodorkan berbagai pelayanan kebutuhan uang, sementara perusahaan komunikasi berusaha memanjakan pemudik dengan berbagai fasilitas. Walhasil, perekonomian di berbagai daerah jadi bangkit dan bergairah berkat kehadiran para pemudik.
Pemerintah mestinya merespon tradisi mudik ini secara arif dengan menyediakan infra, supra-struktur, maupun berbagai aspek yang menjadi sarananya. Misalnya perbaikan sarana transportasi (perbaikan jalan, penambahan armada baik di darat, laut dan sebagainya), sarana komunikasi (informasi mudik, perbaikan rambu-rambu dan sebagaiya), serta peningkatan keamanan para pemudik. Sebab, tradisi mudik ini acap kali rawan dengan prilaku kriminal. Sayangnya, permasalahan tersebut hingga kini masih kurang dapat perhatian. Nyatanya, meski jauh-jauh hari pemerintah berjanji akan memperbaki jalan dari dan ke berbagai daerah, ketika musim mudik tiba masih banyak gangguan yang dihadapi, entah itu jalan rusak atau jembatan yang belum selesai diperbaiki.
Tradisi mudik seringkali menjadi momen unjuk diri. Para pemudik berlomba menunjukkan eksistensi keberhasilannya di perantauan pada penduduk asli. Pada gilirannya timbul kecemburuan sosial di masyarakat. Selain itu, budaya pamer ini tidak jarang menimbulkan dis-harmoni yang mengganggu kesahduan Idul Fitri.
Meski demikian, kita harus tetap mengambil hikmah dari tradisi mudik. Kesederhanaan sebagai orang desa, keluguan dalam bergaul dengan sesama menyebabkan bangunan persaudaraan yang dibangun antarwarga kampung tidak dibatasi sekat-sekat primordial. Keadaan kampung halaman yang tandus, penderitaan teman sepermainan yang hidup miskin, maupun carut-marut tanah tercinta mestinya mengingatkan elit politik untuk tidak berlaku curang, membudayakan KKN dan membuat rakyat semakin menderita. Akhirnya, tradisi mudik sebagai keistimewaan budaya perlu kita lestarikan jangan sampai punah ditelan modernitas. Selamat hari raya Idul Fitri 1428 H, mohon maaf lahir dan bathin.[] Agus Wibowo: Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Jogjakarta
Secara ekonomis, aliran modal bakal mengalir ke kampung ketika mudik terjadi. Tentu saja ini menjadi sumber pemasukan (income) bagi daerah. Di sisi lain, tradisi mudik juga menggairahkan aspek perekonomian lainnya. Perusahaan transportasi bersaing menawarkan pelayanan, bank menyodorkan berbagai pelayanan kebutuhan uang, sementara perusahaan komunikasi berusaha memanjakan pemudik dengan berbagai fasilitas. Walhasil, perekonomian di berbagai daerah jadi bangkit dan bergairah berkat kehadiran para pemudik.
Pemerintah mestinya merespon tradisi mudik ini secara arif dengan menyediakan infra, supra-struktur, maupun berbagai aspek yang menjadi sarananya. Misalnya perbaikan sarana transportasi (perbaikan jalan, penambahan armada baik di darat, laut dan sebagainya), sarana komunikasi (informasi mudik, perbaikan rambu-rambu dan sebagaiya), serta peningkatan keamanan para pemudik. Sebab, tradisi mudik ini acap kali rawan dengan prilaku kriminal. Sayangnya, permasalahan tersebut hingga kini masih kurang dapat perhatian. Nyatanya, meski jauh-jauh hari pemerintah berjanji akan memperbaki jalan dari dan ke berbagai daerah, ketika musim mudik tiba masih banyak gangguan yang dihadapi, entah itu jalan rusak atau jembatan yang belum selesai diperbaiki.
Tradisi mudik seringkali menjadi momen unjuk diri. Para pemudik berlomba menunjukkan eksistensi keberhasilannya di perantauan pada penduduk asli. Pada gilirannya timbul kecemburuan sosial di masyarakat. Selain itu, budaya pamer ini tidak jarang menimbulkan dis-harmoni yang mengganggu kesahduan Idul Fitri.
Meski demikian, kita harus tetap mengambil hikmah dari tradisi mudik. Kesederhanaan sebagai orang desa, keluguan dalam bergaul dengan sesama menyebabkan bangunan persaudaraan yang dibangun antarwarga kampung tidak dibatasi sekat-sekat primordial. Keadaan kampung halaman yang tandus, penderitaan teman sepermainan yang hidup miskin, maupun carut-marut tanah tercinta mestinya mengingatkan elit politik untuk tidak berlaku curang, membudayakan KKN dan membuat rakyat semakin menderita. Akhirnya, tradisi mudik sebagai keistimewaan budaya perlu kita lestarikan jangan sampai punah ditelan modernitas. Selamat hari raya Idul Fitri 1428 H, mohon maaf lahir dan bathin.[] Agus Wibowo: Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Jogjakarta
Komentar
Posting Komentar