Langsung ke konten utama

Peran Monumental Kaum Muda (II)

Dimuat Harian Kaltim Post, Edisi Rabu, 31 Oktober 2007
Terinfeksi Virus Negatif
Setelah reformasi berhasil digulirkan, pemuda justru kehilangan elan vital-nya sebagai agen perubahan dan pembaharuan (agent of Change). Sedikit sekali kaum muda yang peduli akan bangsanya. Memang, ada beberapa organisasi kepemudaan (OKP) maupun organisasi pergerakan di tiap-tiap perguruan tinggi (IMM, HMI, PMII, dll), yang melakukan transformasi idealisme maupun regulasi kebangsaan. Tetapi, jumlah kadernya bisa dihitung dengan jari. Sisanya, pemuda lebih banyak menjadi pengikut budaya hedonis dan matrealistis.

Fungsi pemuda juga dirasakan semakin terdegradasi. Mereka ditengarai ditumpangi banyak "ide pragmatisme". Di sini, eksistensi peran fungsi pemuda terlihat sangat rapuh untuk berhadapan dengan sistem politik negara yang korup, mereka terperangkap untuk mengusung isu-isu yang tidak populer dan kemudian cenderung memperkuat sistem korup yang berlangsung. Contohnya pemuda masuk dalam organisasi politik, birokrasi negara dan dunia usaha justru larut dalam praktik korup, tidak berdaya berhadapan arus KKN yang serba canggih. Idealisme mereka luntur dalam badai realisme dan pragmatisme. Organisasi pemuda tak lebih dari sekadar jembatan politik bagi pemuda untuk masuk dalam jaringan elite penyelenggaraan negara.

Eksistensi pemuda juga semakin menghawatirkan. Pengaruh negatif globalisasi, penyalahgunaan narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang), dan terpendarnya semangat nasionalisme yang mengarah pada disintegrasi bangsa, menyerangnya dari berbagai penjuru. Musuh yang kasat mata ini bakal terus mengancam kelengahan pemuda. Jika mereka lalai, sudah pasti pemuda bakal menjadi budak globalisasi dan narkoba. Dampaknya jelas ! penjara atau kuburan. Tidak salah jika pemuda “ngangsu kawruh” seraya meneladai sikap-sikap positif pemuda era perjuangan kemerdekaan, seperti: keberanian, perasaan tanpa pamrih, dan solidaritas nasionalisme yang kuat.
Setitik Harapan
Jika kita mencermati salah satu iklan rokok di televisi swasta, kita bakal menangkap pesan simbolis yang tersirat. Dalam iklan tersebut, seorang pemudi pemandu wisata merasa kesulitan tatkala memberikan panduan wisata. Maklum, kliennya adalah kaum tua—yang digambarkan sudah matang dalam pengetahuan, harta apalagi karir. Setiap kali hendak berbicara, kliennya berpura-pura tidur. Tetapi sang pemandu tidak kehilangan akal, ia meminta sopir bus—yang kebetulan sudah tua—untuk berdiri menggantikannya berakting seolah-olah berbicara memandu wisata. Sementara, sang pemandu sendiri yang berbicara sambil mengemudikan bus.

Iklan tersebut merupakan gambaran nyata posisi pemuda saat ini. Ada stigma kultural yang meminggirkan pemuda dari posisi penting kenegaraan. Pemuda dianggap tidak pantas menonjolkan diri dan menggantikan posisi kaum tua, selagi yang bersangkutan masih mau dan mampu. Asas kepantasan ini ternyata berlaku diberbagai lini kehidupan. Saya pernah mendengar dari seorang dosen, bahwa untuk mencapai gelar gurubesar (profesor), seseorang selain sudah memiliki beberapa karya dan penemuan ilmiah yang diakui, nilai kum yang cukup, sudah menempuh program doktor (S3), juga harus menunggu cukup umur (menjadi tua). Mestinya budaya buruk ini tidak perlu terjadi. Dan mereka yang masih sangat muda, tetapi sudah memenuhi kriteria gurubesar mestinya segera mendapatkan haknya.

Di ranah politik juga tidak berbeda. Dominasi kaum tua yang tak mau tergeser kehadiran pemuda, menjalar di berbagai tubuh partai.Boleh jadi lantaran partisipasi ruang politik sukar untuk ditembus, atau memang dunia politik lebih sarat kepentingan. Sebagian publik juga masih terpatri dalam gagasan primordial atau tradisional yang memandang sosok tua lengkap dengan nuansa romantisme mitologis, tak layak diganti generasi muda (Toto Suryaningtyas, 2007). Selain itu, sistem rekrutmen parpol yang kurang jelas serta kaderisasi yang semrawut tidak mungkin memberi ruang bagi pemuda mengekpresikan syahwat politiknya. Pada gilirannya, pemuda tidak memiliki akses berlaga dalam proses pemilihan kepemimpinan nasional. Kita dapat melihatnya dalam bursa calon presiden (capres) 2009, hampir tidak dijumpai nama capres dari kaum muda, justru lebih banyak nama golongan tua yang masih mendominasi.

Meski demikian, masih tersisa beberapa kaum muda yang berkeinginan membangun bangsa ini—yang dari mereka kita berharap banyak. Sejumlah tokoh muda, dengan ide brilliyan dan genius-nya siap dan mampu menerima estafet tongkat kepemimpinan bangsa. Sebut diantaranya: Yudi Latief, Vedi Hadiz dan Ulil Abshar Abdallah. Mereka konsen dengan wacana pembaruan Islam dan masyarakat madani (civil society). (bersambung)

*) Agus Wibowo, Penggiat Komunitas Aksara Jogjakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera