Langsung ke konten utama

Politisi Perlu Sastra

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Lampung Pos
Edisi Minggu, 22 Maret 2009

"Selain politik, politisi dan pemimpin juga perlu mendalami sastra. Politisi akan memiliki imajinasi dan ketajaman visi yang dibutuhkan untuk merancang masa depan bangsa."

-----------
Kemenangan Andre Carson, senator AS dari Partai Demokrat belum lama ini, mengundang decak kagum banyak pihak. Politisi dengan rekam jejak santun dan beretika itu ternyata penggemar berat sastra, khususnya puisi. Konon, kecintaan Carson pada sastra berawal ketika neneknya memberikan antologi puisi karya Jalaludin Rumi, ulama Sufi abad 13 dari Persia. Carson juga sejak kecil membaca kitab Injil, Talmud, dan Bhagavad Gita.

Beberapa presiden AS sebelumnya juga merupakan penulis puisi, penyair, atau setidaknya apresiator sastra ulung. Misalnya, mantan Presiden Abraham Lincoln yang dijuluki "sang penyair ulung". Persahabatan sang presiden dengan penyair Walt Whitman memberi nuansa antiperbudakan dan semangat demokrasi selama kepemimpinannya. Demikian halnya Bill Clinton dan mantan Menhan Donald Rumsfeld; di sela-sela tugas kenegaraan, mereka masih menyisakan waktu menulis puisi.

Di Cile, kita tidak asing dengan Pablo Neruda, politisi ulung, kandidat presiden sekaligus penerima hadian Nobel. Neruda merupakan apresiator sastra ulung dan menjadikannya sebagai penyeimbang hidup. Ada juga Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal yang menjadi presiden setelah merebut kemerdekaan dari Prancis. Politisi yang gigih memperjuangkan demokrasi dan kebebasan pers itu, memilih "lengser" dengan terhormat dan memberikan kekuasaan kepada perdana menterinya.

Kearifan dan jiwa besar yang ditunjukkan Senghor menimbulkan kekaguman bukan hanya rekan-rekannya bahkan Jacques Chirac, pemuka Prancis, bangsa yang pernah menjajahnya. Chirac menulis catatan saat kematian Senghor yang berbunyi: Poetry has lost a master, Senegal stateman, Africa a visionary and France a friend.


Menjadi Terapi
Ilustrasi yang saya sampaikan menunjukkan betapa pentingnya apresiasi sastra bagi para politisi dan pemimpin bangsa. Itu karena politisi dan pemimpin layaknya "penggembala", yang dituntut memiliki kepekaan menbaca keluh-kesah atau mendengar jeritan rakyat. Politisi, meminjam istilah Herry Thruman, adalah pelayan rakyat yang telah memberi mandat dan kedaulatan kepadanya.

Apresiasi terhadap sastra menjadi sebuah keniscayaan tatkala para politisi negeri ini tengah gemar membudayakan ketidakjujuran, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Banyaknya kasus yang berhasil diungkap memperlihatkan betapa para politisi membungkus tugas dan pekerjaan kenegaraan dengan kelicikan dan kemunafikan. Akibatnya, ketidakadilan menjelma dalam seluruh aspek kehidupan.

Sastra, kata Schiller (2004), mampu membentuk kepribadian seseorang, melalui penghalusan adab dan budi, kreativitas, perasaan, kepekaan, dan sensitivitas kemanusiaan sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil, dan picik. Sastra juga menjadi semacam permainan penyeimbang (balance) segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan.

Keajaiban sastra itu sudah diakui banyak klub dan organisasi terapi di dunia. Seperti yang dipopulerkan The International Association for Poetry Therapy, atau organisasi terapi internasional yang menggunakan sastra sebagai mediumnya. Organisasi itu berhasil membuktikan puisi dan sastra pada umumnya mampu menjadi pengobat stres lantaran efek relaksasi yang ditimbulkannya.

Konon, puisi juga mampu mencegah penyakit jantung dan gangguan pernapasan karena efeknya yang dapat mengendurkan denyut jantung dan irama napas menjadi harmoni. Pada konteks politik, puisi mampu membuat temperamen para politisi menjadi jinak dan santun.

Tidak salah kiranya jika saya mengusulkan agar semua politisi--selain mendalami ilmu politik--mendalami sastra. Melalui apresiasi sastra itu, politisi akan memiliki imajinasi dan ketajaman visi yang sangat dibutuhkan dalam merancang masa depan bangsa. Lebih dari itu, ketajaman visi dan imajinasi akan membuat politisi mampu membaca tantangan bangsa secara jelas, dan merumuskan solusi untuk mengatasinya.

Belajar dari sejarah, para raja dahulu meminta sastrawan atau pujangga untuk menjadi penasihatnya. Boleh jadi karena sang pujangga lebih arif memaknai persoalan lewat kehalusan sastra yang berujung pada visioner yang tajam dan kepekaan sosial yang luar biasa (linuwih), yang tidak ditangkap orang awam.

Pendek kata, kemampuan pujangga weruh sak durunge winarah atau mengetahui apa-apa sebelum terjadi, pada dasarnya karena sentuhan kehalusan dunia sastra yang dimiliki sang pujangga, bukan karena ilmu gaib atau klenik.

Pertanyaanya kemudian, bagaimana melakukan apresiasi sastra yang baik? Menurut Effendi (1994), apresiasi sastra itu bisa dilakukan dengan menggauli cipta sastra secara sungguh-sungguh, sehingga tumbuh pengertian, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap sastra.

Karena dunia sastra selalu dikitari konvensi, tradisi, sistem sastra dan sebagainya, maka dalam membaca sastra juga mesti menghayati proses dan seperangkat aturan tersebut. Pemahaman demikian, memerlukan metodologi yang diajarkan dalam bangku pendidikan.

Sayangnya, pengajaran sastra masih tetap stagnan meski beragam hujatan dan kritikan dialamatkan padanya. Pengajaran sastra kita masih beringsut pada era Orde Baru yang serba sentralistik. Hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tidak mengubah praktek metodologis pembelajaran di kelas. Pada gilirannya, pemahaman peserta didik terhadap metodologi pengungkapan makna sastra sangat rapuh. Kerapuhan metodologis ini pula yang menyababkan apresiasi mereka terhadap karya sastra sangat lemah--untuk mengatakan tidak ada. Jangankan untuk mengapresiasikan, mengetahui maknanya saja terlampau sulit.

Terlepas dari problem tersebut, agar para politisi itu semakin dekat dengan sastra, maka mereka harus membiasakan membaca karya sastra seperti novel, puisi, cerpen, cerbung, dan sebagainya. Mereka perlu membaca novel Pramoedya Ananta Toer, William Shakespeare, atau membaca puisi-puisi Hamka, Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan sastrawan-sastrawan besar lainnya. Selain menghadiri kampanye politik, politisi juga perlu mendatangi orasi-orasi budaya, pembacaan puisi dan bergaul dengan para sastrawan. Kedekatan politisi dengan sastrawan, tentu saja memiliki pengaruh signifikan atau setidaknya akan memberi nuansa lain dalam sepak terjang politiknya. Semoga![] Agus Wibowo, Esais Sastra, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...