Langsung ke konten utama

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo
Tulisan ini dimuat Harian Pelita
Edisi Rabu, 02 Desember 2009

Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II.

Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global.

Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya beberapa negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik seperti Jepang, Hong Kong, India dan Korea Selatan saja yang bisa sedikit terbebas dari dominasi China dan mampu tumbuh sebesar 6,7% selama 2009 dan 7,8% pada medio 2010.

Di sisi lain, Mongolia dan beberapa negara di kepulauan Pasifik nyaris tidak mengalami pertumbuhan ekonomi, bahkan produk domestik bruto (PDB) Kamboja, Malaysia, dan Thailand masuk ke dalam pertumbuhan negatif.

Ancaman Inflasi
Akibat ketimpangan laju pertumbuhan ekonomi global itu, Bank Dunia memprediksi beberapa negara berkembang termasuk Indonesia akan mengalami ancaman inflasi. Sebagaimana diungkapkan William Wallace, Kepala Ekonomi Bank Dunia untuk Indonesia, ketimpangan laju ekonomi global menyebabkan volatilitas dalam pasar dan ekonomi dunia menjadi tinggi. Itu tercermin pada fluktuasi harga komoditas, terutama pada komoditas energi yang masih menjadi andalan impor Indonesia.

Selain itu, inflasi inti juga belum turun signifikan sehingga tekanannya akan meningkat; karena pemulihan ekonomi dan kenaikan harga komoditas. Wallace juga menyatakan kenaikan harga komoditas dan membaiknya permintaan di satu sisi positif, tetapi di sisi yang lain akan mendorong laju inflasi hingga ke level 5,6% sepanjang 2010 dan 6,5% pada 2011.

Berdasar fenomena ekonomi global itu, Bank Dunia juga memprediksi langkah pemulihan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, belum mampu mengurangi angka kemiskinan setidaknya hingga 2010. Pertanyaannya kemudian, langkah apa yang mesti dilakukan pemerintah agar upaya pengurangan kemiskinan tetap efektif, meski angka inflasi juga mengalami kenaikan?

Pertanyaan ini menjadi penting diajukan. Pasalnya, pengurangan kemiskinan merupakan agenda utama dalam program kerja seratus hari pertama presiden SBY. Jika dalam rentang waktu yang telah ditentukan itu tidak ada hasil yang nyata, maka bisa menurunkan kridibilitas SBY di mata rakyat.

Sebagaimana disebutkan Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Maret 2009, jumlah penduduk miskin sebesar 14,15% atau sebanyak 32,53 juta jiwa. Atas dasar kenaikan inflasi, Bank Dunia memperkirakan penurunan angka kemiskinan pada tahun 2010 akan melambat dan sedikit meleset dari ekspektasi pemerintah. Berdasarkan skenario tinggi, angka kemiskinan bisa ditekan ke level 13,9% dari 14,2% tahun ini. Padahal, sebelumnya pemerintah telah memasang target penurunan kemiskinan 12%-13,5%.

Langkah Urgen
Jika dikaji dengan seksama, problem pelik yang dihadapi pemerintahan SBY sejatinya lebih kompleks dan bukan hanya ancaman inflasi saja. Apalagi, dengan belum selesainya polemik hukum antara komisi pemberantasan korupsi (KPK), Polri dan Kejaksaan Agung. Polemik penanganan hukum itu, jelas berdampak negatif pada bursa penanaman saham di Indonesia. Pasalnya, para investor asing enggan menanamkan kembali modalnya di Indonesia, lantaran tidak adanya jaminan keadilan, dan supremasi hukum.

Kepergian para investor itu, tentu saja menambah daftar panjang ancaman ekonomi kita; akibat ketimpangan laju pertumbuhan ekonomi global plus larinya para investor. Ini bukan perkara mudah, dan harus dipikirkan oleh semua pihak. Bagi pemerintah, tidak ada pilihan selain segera melakukan langkah-langkah strategis dan tepat sasaran, agar dampak ketimpangan laju ekonomi global itu tidak berlarut-larut serta meruntuhkan sendi-sendi perekonomian kita.

Yang terpenting, langkah antisipasi ini juga berkorelasi positif pada program utama SBY berupa pengurangan jumlah penduduk miskin. Langkah-langkah strategis itu diantaranya: Pertama, pemerintah harus segera merampungkan silang-sengkerut pada lembaga tinggi hukum kita; polemik KPK versus Polri dan Kejaksaan Agung harus diselesaikan dengan seadil-adilnya. Ini menyangkut komitmen pemerintah untuk menciptakan sistem hukum yang bersih dan kredibel. Lebih dari itu, dengan adanya jaminan keadilan dan supremasi hukum, kepercayaan investor akan kembali terbangun. Dengan begitu, para investor itu akan datang kembali menanamkan modal dan menggairahkan laju pertumbuhan ekonomi kita.

Kedua, pemerintah harus membuat kebijakan moneter yang tangguh dan kredibel, sehingga tidak begitu terpengaruh oleh fluktuasi moneter dunia maupun laju inflasi. Kebijakan moneter yang kuat dan kredibel, juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada komitmen pemerintah.

Ketiga, sistem Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang sudah ada, harus semakin diperkuat agar angka kemiskinan tidak melonjak. Ketiga, pemerintah tetap mempertahankan program bantuan sosial yang terbukti berhasil, seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Dan keempat, pemerintah perlu menjaga ketersediaan pasokan barang dan jasa, pengurangan biaya transportasi barang, dan pengendalian permintaan dalam batas wajar.

Akhirnya, langkah urgen itu perlu segera direalisasikan dan dilakukan dengan perhitungan yang matang. Harapan kita bersama, ancaman ekonomi yang disebabkan ketimpangan laju ekonomi global bisa kita atasi. Dan yang terpenting, program penurunan jumlah penduduk miskin bisa terus dilanjutkan, sebagai wujud komitmen pemerintah mensejahterakan rakyatnya. Semoga.[] Peneliti pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten