Langsung ke konten utama

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi Sabtu 19 September 2009
Halaman Kampus


’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT).

Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah.

Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen).

Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta, Semarang, Jakarta, dan Surabaya. Kopertis V juga menemukan kasus pemalsuan ijazah oleh perorangan. Modusnya dengan mengganti nama asli pemegang ijazah, namun dengan nomor ijazah tetap.

Pertanyaannya, mengapa jual-beli ijazah palsu bisa terjadi? Apa yang sebaiknya dilakukan pengelola dan stakeholder perguruan tinggi untuk menghentikan praktik haram itu?
Budaya Instan Fenomena jual-beli ijazah palsu dan gelar akademik itu tentu sangatlah menyedihkan.

Apalagi itu terjadi di Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pelajar dan pusat pendidikan ternama. Dampaknya bukan hanya menodai ’’kesakralan’’ dunia akademik di kota ini, tetapi juga mencoreng nama baik PTN dan PTS yang ada.

Jika dicermati, praktik jual-beli ijazah palsu disebabkan oleh tiga hal: Pertama, adanya oknum PT yang ingin mencari keuntungan material sebanyak-banyaknya, tanpa harus memberikan pelayanan pendidikan terhadap pembelinya.

Melalui prosedur normal, PT hanya memperoleh keuntungan yang sedikit, karena harus menyediakan software dan hardware pendidikan terlebih dulu.

Kedua, budaya malas dan ingin serba instan. Mereka yang sudah bekerja dan memiliki penghasilan tetap merasa malas jika harus kuliah lagi selama dua tahun atau lebih sebagai syarat penyetaraan.

Mereka pun memilih membeli ijazah palsu yang mudah dan cepat didapat, tanpa harus capek-capek kuliah.

Ketiga, lemahnya pengawasan dan penelitian ijazah khususnya dalam proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS), serta penyetaraan atau kenaikan pangkat pegawai.

Banyak instansi tidak mau repot-repot mengecek keaslian ijazah pegawainya dalam pengurusan kenaikan pangkat atau penyetaraan.

Mereka tak akan mengecek asal-usul PT yang mengeluarkan ijazah, yang penting tersedia dan memenuhi syarat. Dalam rekrutmen PNS juga begitu, panitia tidak memeriksa secara cermat keaslian ijazah peserta.

Pada sisi lain, jual-beli ijazah palsu akan melemahkan semangat mahasiswa yang semula gigih menuntut ilmu. Mereka merasa bahwa usaha dan jerih payahnya selama ini sia-sia lantaran dicurangi para pembeli ijazah palsu.

Akhirnya akan tertanam anggapan bahwa segala sesuatu ditentukan uang; bukan semangat atau kepintaran menuntut ilmu.
Jika fenomena ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin makin banyak orang yang tak layak secara keilmuan namun menenteng ijazah dan gelar kesarjanaan yang tinggi. Parahnya, jika mereka diterima sebagai PNS atau menduduki posisi-posisi penting. Bukan tidak mungkin mereka akan bekerja secara sembrono dan tidak profesional. Akibatnya, efektivitas dan kinerja birokrasi makin memburuk, lantaran dihuni para pecundang yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Tindakan Tegas Maka, tak ada pilihan bagi pengelola PT bersama stakeholder selain segera menghentikan praktik haram itu. Perguruan tinggi yang terbukti melakukan jual-beli ijazah palsu harus ditindak secara tegas dan melalui proses hukum.

Jika perlu, Kopertis bersama Ditjen Dikti bisa mencabut izin PT tersebut. Selain itu PTS bersama Kopertis harus bekerja sama dengan kepolisian agar praktik jual-beli ijazah bisa ditumpas hingga ke akar-akarnya.

Untuk mencegah agar tak menjadi korban pencatutan, PTS perlu segera memberi pengaman pada ijazah yang diterbitkan. Misalnya dengan memberi hologram atau mencetak dengan kertas khusus.

Tidak ada salahnya jika Kopertis juga bekerja sama dengan ahli teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ketika menjumpai kejanggalan dalam basis data (database). Sebab, saat ini pemalsu bisa dengan mudah memperoleh dan mengubah database sejumlah lembaga pendidikan, termasuk Kopertis V DIY.

Modusnya, dengan bantuan hacker, mereka mengubah data yang terdapat dalam jaringan situs PTS dan Kopertis. Kasus ini pernah dialami Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.

Kasus ini mencuat belum lama ini, ketika salah seorang calon taruna Akademi Kepolisian (Akpol) dicurigai menggunakan ijazah palsu dari PTS tersebut.

Beruntung salah seorang staf kampus ini melihat bahwa anak yang menggunakan ijazah paslu itu tidak ditemukan dalam data lulusan universitas. Selain itu, kertas ijazah yang digunakan berbeda dengan kertas yang biasa digunakan universitas tersebut.

Sudah saatnya praktik jual-beli ijazah palsu diakhiri. PT bersama stakeholder dan masyarakat harus bahu-membahu serta meningkatkan kewaspadaan. Perusahaan atau pihak pengguna lulusan PT diimbau tidak ragu memeriksa keaslian ijazah yang diterimanya.

Pemeriksaan bisa dilakukan langsung kepada perguruan tinggi bersangkutan, atau mengeceknya melalui situs internet www.evaluasi.or.id. Kita semua berharap, praktik haram yang mencoreng nama baik dunia akademik itu tidak terjadi lagi.

Dengan demikian, para mahasiswa tidak lagi patah semangat untuk kuliah, tanpa takut dicurangi, dan bisa menatap masa depan dengan penuh keceriaan. Semoga! (Agus Wibowo, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta-32)








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera