Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Bisnis Bali
Edisi Kamis,3 September 2009
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah.
Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%).
Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyarakat? Langkah-langkah apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah, agar tidak muncul lebih banyak perda bermasalah?
Membingungkan
Tidak dimungkiri, terjadinya perda bermasalah terutama setelah diberlakukan otonomi daerah ditengarai buruknya birokrasi daerah. Karena kualitas sumberdaya yang buruk aparat yang membidani sebuah perda sama sekali tak memahami asas-asas hukum dan teknik penyusunan peraturan.
Mereka asal membuat dan mengesahkan, tanpa memikirkan untung ruginya. Celakanya, persoalan itu makin parah karena ternyata anggota DPRD juga buta dalam hal pembuatan perda.
Selain itu memang ada unsur kesengajaan entah dari pihak pemda sendiri, atau sejumlah penguasa daerah yang tak mau tahu dan tunduk pada aturan pusat dengan dalih demi kepentingan daerah. Akibatnya, perda yang kontradiktif dengan peraturan pusat terus bermunculan.
Jika dicermati, perda ilegal atau yang dibatalkan tidak akan ada, jika birokrasi pemda berisi sumber daya yang kompeten serta memiliki sikap yang loyal terhadap pemerintah pusat. Pasalnya, sudah ada aturan dan petunjuk teknis (Juknis) mengenai mekanisme pembuatan perda.
Seperti yang tertuang dalam standar harmonisasi pembuatan peraturan antara pusat dan daerah, khususnya Undang-Undang (UU) No 32/2004 pasal 145 ayat 2. Di sana dijelaskan bahwa bila ada perda yang lebih tinggi dari peraturan pusat, maka pemerintah berhak membatalkan perda tersebut.
Sayangnya, birokrasi daerah tidak paham atau memang tidak mau tahu tentang standar harmonisasi. Akibatnya, aturan pemerintah itu lebih tercetak rapi di atas kertas atau ditumpuk dalam arsip pemda ketimbang diimplementasikan sebagaimana semestinya. Karena tidak taat pada aturan standar harmonisasi, terdapat 8.000 perda tentang pajak dan retribusi daerah yang 3.000 di antaranya kemungkinan besar bermasalah.
Selain membingungkan, adanya perda yang tidak singkron dengan aturan pusat juga bisa berpotensi menghambat sektor usaha. Misalnya, saat ini Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah meluncurkan roadmap penanaman modal. Roadmap setebal 203 halaman itu, diharapkan menjadi guideline bagi para investor untuk membuka usaha.
Tapi, roadmap itu sudah pasti mubazir bila tidak sejalan dengan perda yang dibuat pemda. Akibatnya, investor akan kebingungan karena aturan mana yang harus diikuti.
Lebih parah lagi, jika ternyata perda yang kontradiktif itu digunakan untuk tindak-tindak yang merugikan negara, seperti penambangan dan pembalakan hutan dengan alasan pemekaran wilayah.
Tingkatkan Profesionalisme
Mencermati fenomena perda bermasalah, tampaknya pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah urgen. Pertama, pemerintah perlu memberikan sanksi yang tegas terhadap pemda yang tidak mengacu pada aturan dalam membuat perda.
Karena sanksi tidak tegas pula, tidak sedikit pemda dengan sesuka hati membuat perda yang jelas-jelas melanggar ketentuan yang ada, dengan berdalih ini zaman otonomi, setiap daerah berhak mengatur dirinya sendiri. Bahkan ada pemda yang nekat tetap memberlakukan perda yang sudah dibatalkan.
Kedua, terkait perda soal pajak dan retribusi yang bermasalah, sudah selayaknya Departemen Keuangan (Depkeu) mulai memperketat pengawasan dan segera menertibkan perda yang jumlahnya tak sedikit tersebut.
Selain tindakan tegas terhadap pemda yang membandel, pihak Depkeu juga harus melakukan tindakan pembinaan, misalnya, terus menyosialisasi kan bagaimana cara pembuatan perda pajak dan retribusi daerah.
Ketiga, perlu dibentuk lembaga atau sejenisnya yang khusus mencermati setiap raperda yang ditengarai bakal menimbulkan masalah. Dengan adanya lembaga ini, pemerintah tidak akan kecolongan dengan pembuatan perda ilegal. Selain itu, pemda tak perlu buang-buang dana membuat perda yang pada akhirnya harus dibatalkan oleh pemerintah pusat.
Pada akhirnya, reformasi dan perbaikan birokrasi pemda memang harus dilakukan. Bukan hanya sikap loyal dan komitmen pada pusat yang diutamakan, tetapi pemda butuh sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan profesional terhadap bidang tugasnya.
Benar dengan kenaikan gaji birokrasi sebagaimana instruksi presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato nota RAPBN 2010, bisa sedikit memotivasi birokrasi meningkatkan profesionalisme, tetapi sifatnya hanya sementara.
Perlu diikuti langkah lebih lanjut seperti pendidikan dan pelatihan/ penataran untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme birokrasi. Jika tidak diikuti langkah-langkah itu, peningkatan profesionalisme birokrasi dalam rangka goodgovernance hanya menjadi kerja sia-sia.
Selain itu, otonomi daerah janganlah dijadikan alasan bagi pemda untuk membuat perda yang merugikan negara dan masyarakat. Kita berharap pemda yang sudah telanjur membuat perda yang bertentangan dengan peraturan pusat, hendaknya secara sukarela bisa membatalkan sendiri tanpa harus mendapat instruksi pembatalan dari Depdagri. Semoga.[] Penulis, Peneliti pada FKPP, Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Dimuat Harian Bisnis Bali
Edisi Kamis,3 September 2009
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah.
Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%).
Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyarakat? Langkah-langkah apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah, agar tidak muncul lebih banyak perda bermasalah?
Membingungkan
Tidak dimungkiri, terjadinya perda bermasalah terutama setelah diberlakukan otonomi daerah ditengarai buruknya birokrasi daerah. Karena kualitas sumberdaya yang buruk aparat yang membidani sebuah perda sama sekali tak memahami asas-asas hukum dan teknik penyusunan peraturan.
Mereka asal membuat dan mengesahkan, tanpa memikirkan untung ruginya. Celakanya, persoalan itu makin parah karena ternyata anggota DPRD juga buta dalam hal pembuatan perda.
Selain itu memang ada unsur kesengajaan entah dari pihak pemda sendiri, atau sejumlah penguasa daerah yang tak mau tahu dan tunduk pada aturan pusat dengan dalih demi kepentingan daerah. Akibatnya, perda yang kontradiktif dengan peraturan pusat terus bermunculan.
Jika dicermati, perda ilegal atau yang dibatalkan tidak akan ada, jika birokrasi pemda berisi sumber daya yang kompeten serta memiliki sikap yang loyal terhadap pemerintah pusat. Pasalnya, sudah ada aturan dan petunjuk teknis (Juknis) mengenai mekanisme pembuatan perda.
Seperti yang tertuang dalam standar harmonisasi pembuatan peraturan antara pusat dan daerah, khususnya Undang-Undang (UU) No 32/2004 pasal 145 ayat 2. Di sana dijelaskan bahwa bila ada perda yang lebih tinggi dari peraturan pusat, maka pemerintah berhak membatalkan perda tersebut.
Sayangnya, birokrasi daerah tidak paham atau memang tidak mau tahu tentang standar harmonisasi. Akibatnya, aturan pemerintah itu lebih tercetak rapi di atas kertas atau ditumpuk dalam arsip pemda ketimbang diimplementasikan sebagaimana semestinya. Karena tidak taat pada aturan standar harmonisasi, terdapat 8.000 perda tentang pajak dan retribusi daerah yang 3.000 di antaranya kemungkinan besar bermasalah.
Selain membingungkan, adanya perda yang tidak singkron dengan aturan pusat juga bisa berpotensi menghambat sektor usaha. Misalnya, saat ini Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah meluncurkan roadmap penanaman modal. Roadmap setebal 203 halaman itu, diharapkan menjadi guideline bagi para investor untuk membuka usaha.
Tapi, roadmap itu sudah pasti mubazir bila tidak sejalan dengan perda yang dibuat pemda. Akibatnya, investor akan kebingungan karena aturan mana yang harus diikuti.
Lebih parah lagi, jika ternyata perda yang kontradiktif itu digunakan untuk tindak-tindak yang merugikan negara, seperti penambangan dan pembalakan hutan dengan alasan pemekaran wilayah.
Tingkatkan Profesionalisme
Mencermati fenomena perda bermasalah, tampaknya pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah urgen. Pertama, pemerintah perlu memberikan sanksi yang tegas terhadap pemda yang tidak mengacu pada aturan dalam membuat perda.
Karena sanksi tidak tegas pula, tidak sedikit pemda dengan sesuka hati membuat perda yang jelas-jelas melanggar ketentuan yang ada, dengan berdalih ini zaman otonomi, setiap daerah berhak mengatur dirinya sendiri. Bahkan ada pemda yang nekat tetap memberlakukan perda yang sudah dibatalkan.
Kedua, terkait perda soal pajak dan retribusi yang bermasalah, sudah selayaknya Departemen Keuangan (Depkeu) mulai memperketat pengawasan dan segera menertibkan perda yang jumlahnya tak sedikit tersebut.
Selain tindakan tegas terhadap pemda yang membandel, pihak Depkeu juga harus melakukan tindakan pembinaan, misalnya, terus menyosialisasi kan bagaimana cara pembuatan perda pajak dan retribusi daerah.
Ketiga, perlu dibentuk lembaga atau sejenisnya yang khusus mencermati setiap raperda yang ditengarai bakal menimbulkan masalah. Dengan adanya lembaga ini, pemerintah tidak akan kecolongan dengan pembuatan perda ilegal. Selain itu, pemda tak perlu buang-buang dana membuat perda yang pada akhirnya harus dibatalkan oleh pemerintah pusat.
Pada akhirnya, reformasi dan perbaikan birokrasi pemda memang harus dilakukan. Bukan hanya sikap loyal dan komitmen pada pusat yang diutamakan, tetapi pemda butuh sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan profesional terhadap bidang tugasnya.
Benar dengan kenaikan gaji birokrasi sebagaimana instruksi presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato nota RAPBN 2010, bisa sedikit memotivasi birokrasi meningkatkan profesionalisme, tetapi sifatnya hanya sementara.
Perlu diikuti langkah lebih lanjut seperti pendidikan dan pelatihan/ penataran untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme birokrasi. Jika tidak diikuti langkah-langkah itu, peningkatan profesionalisme birokrasi dalam rangka goodgovernance hanya menjadi kerja sia-sia.
Selain itu, otonomi daerah janganlah dijadikan alasan bagi pemda untuk membuat perda yang merugikan negara dan masyarakat. Kita berharap pemda yang sudah telanjur membuat perda yang bertentangan dengan peraturan pusat, hendaknya secara sukarela bisa membatalkan sendiri tanpa harus mendapat instruksi pembatalan dari Depdagri. Semoga.[] Penulis, Peneliti pada FKPP, Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus