"Program kantin kejujuran ini akan lebih sempurna, jika sekolah yang bersangkutan menerapkan kurikulum antikorupsi dalam pembelajaran"
Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Jurnal Nasional,
Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Jurnal Nasional,
Edisi Sabtu,10 Januari 2008
Jika ada kantin sekolah yang ditunggui pemiliknya itu hal biasa. Yang luar biasa, jika kantin itu tidak dijaga pemiliknya, dibiarkan begitu saja, sementara pembeli bisa sesuka hatinya mengambil apa saja yang diinginkan. Demikian gambaran kantin kejujuran yang tengah dipopulerkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta mendapat dukungan penuh dari Departeman Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Hanya dalam waktu singkat, program pendirian kantin kejujuran mendapat sambutan dan respon positif dari masyarakat. Terbukti, dengan semakin banyak sekolah yang mendirikannya. Data terbaru Depdiknas (2008), menyebutkan bahwa sampai saat ini jumlah kantin kejujuran sudah mencapai lebih dari 1000 buah. Dari jumlah itu, rata-rata bisa berkembang dengan baik, hanya dua buah kantin kejujuran yang gulung tikar alias bangkrut, yaitu di Bandung dan di Medan.
Dukungan masyarakat dan pengelola sekolah, menunjukkan adanya kesadaran dan kemauan keras untuk menyelamatkan anak didik-dan generasi muda pada umumnya-dari jeratan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana upaya sekolah mengelola kantin kejujuran itu, sehingga bisa eksis dan mampu mencapai tujuan yang diharapkan? Siapa saja yang mestinya dilibatkan agar kantin kejujuran bisa memberi manfaat yang optimal bagi sekolah dan anak didik?
Hal Baru
Tidak dimungkiri, kantin kejujuran merupakan hal yang baru. Dari sisi self-service memang mirip dengan model "angkringan"-yang sama-sama menekankan kejujuran para pembelinya. Bedanya, jika angkringan masih ditunggui pemiliknya, sementara kantin kejujuran dibiarkan begitu saja.
Karakteristik yang unik dan rumit itu, tentu memerlukan pengelolaan yang baik atau manajemen yang efektif dan efisien. Artinya, mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga evaluasi, harus dilakukan diarahkan pada kemajuan dan hasil yang optimal. Proses pembukuannya pun harus cermat dan teliti, misalnya disediakan buku dan kaleng. Buku berfungsi sebagai pencatat yang memuat daftar nama pembeli, kelas, makanan/minuman yang dibeli, beserta jumlah dan harganya. Sementara, kaleng difungsikan sebagai tempat meletakkan uang, baik uang pembelian maupun uang kembalian. Jika sekolah dirasa mampu, perlu disediakan kamera tersembunyi yang akan merekam segenap aktivitas di kantin kejujuran itu.
Tidak kalah pentingnya, pihak pengelola dituntut kreatif dalam menyiasati peluang pasar. Misalnya, dari segi penataan ruangan harus sedemikian menarik, menu yang disediakan bervareasi, harga yang sesuai dengan ekonomi siswa, dan sebagainya. Selain itu, harus dijalin kerjasama yang baik dengan semua elemen sekolah, seperti guru, karyawan, organisasi siswa (OSIS), komite sekolah, dan tidak ketinggalan para pengelola kantin sekolah konvensional. Tujuannya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, pihak-pihak yang dilibatkan itu bisa bekerjasama dan cepat mengatasinya.
Jika tidak memungkinkan pendirian baru, kantin kejujuran bisa memanfaatkan kantin sekolah konvensional yang sudah ada. Tujuannya, selain untuk menghindari persaingan usaha yang tidak sehat, memanfaatkan tenaga kerja yang sudah ada, juga menghindari terjadinya pengangguran yang mungkin terjadi ketika kantin konvensional kalah bersaing dan gulung tikar.
Sisi Positif
Jika kantin kejujuran bisa berjalan secara efektif, paling tidak ada beberapa sisi positif yang bisa diambil. Pertama, menjadi media yang tepat untuk menanamkan sekaligus pembiasaan sifat-sifat luhur bagi anak didik semenjak dini. Karakteristik psikologis siswa usia SD-SMA, tulis Irwanto (2002), adalah masa-masa dominan dalam pembentukan karakter dan kepribadian. Pada fase itu, anak didik memiliki kecenderungan untuk mengikuti atau meniru tata-nilai dan prilaku di sekitarnya. Jika pada fase itu dilakukan proses penanaman nilai-nilai moralitas secara sempurna, maka akan menjadi pondasi dasar sekaligus menjadi warna kepribadian anak didik ketika dewasa kelak.
Hanya dalam waktu singkat, program pendirian kantin kejujuran mendapat sambutan dan respon positif dari masyarakat. Terbukti, dengan semakin banyak sekolah yang mendirikannya. Data terbaru Depdiknas (2008), menyebutkan bahwa sampai saat ini jumlah kantin kejujuran sudah mencapai lebih dari 1000 buah. Dari jumlah itu, rata-rata bisa berkembang dengan baik, hanya dua buah kantin kejujuran yang gulung tikar alias bangkrut, yaitu di Bandung dan di Medan.
Dukungan masyarakat dan pengelola sekolah, menunjukkan adanya kesadaran dan kemauan keras untuk menyelamatkan anak didik-dan generasi muda pada umumnya-dari jeratan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana upaya sekolah mengelola kantin kejujuran itu, sehingga bisa eksis dan mampu mencapai tujuan yang diharapkan? Siapa saja yang mestinya dilibatkan agar kantin kejujuran bisa memberi manfaat yang optimal bagi sekolah dan anak didik?
Hal Baru
Tidak dimungkiri, kantin kejujuran merupakan hal yang baru. Dari sisi self-service memang mirip dengan model "angkringan"-yang sama-sama menekankan kejujuran para pembelinya. Bedanya, jika angkringan masih ditunggui pemiliknya, sementara kantin kejujuran dibiarkan begitu saja.
Karakteristik yang unik dan rumit itu, tentu memerlukan pengelolaan yang baik atau manajemen yang efektif dan efisien. Artinya, mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga evaluasi, harus dilakukan diarahkan pada kemajuan dan hasil yang optimal. Proses pembukuannya pun harus cermat dan teliti, misalnya disediakan buku dan kaleng. Buku berfungsi sebagai pencatat yang memuat daftar nama pembeli, kelas, makanan/minuman yang dibeli, beserta jumlah dan harganya. Sementara, kaleng difungsikan sebagai tempat meletakkan uang, baik uang pembelian maupun uang kembalian. Jika sekolah dirasa mampu, perlu disediakan kamera tersembunyi yang akan merekam segenap aktivitas di kantin kejujuran itu.
Tidak kalah pentingnya, pihak pengelola dituntut kreatif dalam menyiasati peluang pasar. Misalnya, dari segi penataan ruangan harus sedemikian menarik, menu yang disediakan bervareasi, harga yang sesuai dengan ekonomi siswa, dan sebagainya. Selain itu, harus dijalin kerjasama yang baik dengan semua elemen sekolah, seperti guru, karyawan, organisasi siswa (OSIS), komite sekolah, dan tidak ketinggalan para pengelola kantin sekolah konvensional. Tujuannya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, pihak-pihak yang dilibatkan itu bisa bekerjasama dan cepat mengatasinya.
Jika tidak memungkinkan pendirian baru, kantin kejujuran bisa memanfaatkan kantin sekolah konvensional yang sudah ada. Tujuannya, selain untuk menghindari persaingan usaha yang tidak sehat, memanfaatkan tenaga kerja yang sudah ada, juga menghindari terjadinya pengangguran yang mungkin terjadi ketika kantin konvensional kalah bersaing dan gulung tikar.
Sisi Positif
Jika kantin kejujuran bisa berjalan secara efektif, paling tidak ada beberapa sisi positif yang bisa diambil. Pertama, menjadi media yang tepat untuk menanamkan sekaligus pembiasaan sifat-sifat luhur bagi anak didik semenjak dini. Karakteristik psikologis siswa usia SD-SMA, tulis Irwanto (2002), adalah masa-masa dominan dalam pembentukan karakter dan kepribadian. Pada fase itu, anak didik memiliki kecenderungan untuk mengikuti atau meniru tata-nilai dan prilaku di sekitarnya. Jika pada fase itu dilakukan proses penanaman nilai-nilai moralitas secara sempurna, maka akan menjadi pondasi dasar sekaligus menjadi warna kepribadian anak didik ketika dewasa kelak.
Lebih dari itu, kantin kejujuran akan membangun karakter dan budaya malu generasi muda. Itu karena ciri khas kantin kejujuran yang unik, yakni semuanya serba self-service, atau melayani diri sendiri. Tidak ada penjaga yang mengawasi, tidak ada yang akan menerima, dan menghitung uang kembalian. Pendek kata, semuanya dilakukan sendiri (Hendarman Supanji, 2008).
Kedua, kantin kejujuran sejalan dengan Pasal 30 UU Nomor 16 Tahun 2004, dan tiga strategi Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam memberantas korupsi; yaitu preventif, represif, dan edukatif. Langkah edukatif, misalnya dengan menumbuhkembangkan kantin kejujuran di sekolah, sebagai manifestasi kewajiban kejaksaan meningkatkan kesadaran hukum generasi muda, dan masyarakat pada umumnya.
Program kantin kejujuran ini akan lebih sempurna, jika sekolah yang bersangkutan menerapkan kurikulum antikorupsi dalam pembelajaran. Artinya, internalisasi dan pembiasaan itu akan menyentuh tiga kawasan kecerdasan anak didik, mulai dari aspek afektif, kognitif, hingga aspek psikomotorik. Hanya saja, format kurikulum tidak harus berupa mata pelajaran. Sebab, banyaknya mata pelajaran yang sudah ada, sangat membebani psikologis anak didik. Kurikulum antikorupsi cukup menjadi hidden kurikulum, dimana esensi dan keburukan yang ditimbulkan budaya KKN, diselipkan dalam berbagai mata pelajaran.
Guna mendukung program kantin kejujuran, perlu dibentuk dan dikembangkan model keluarga kejujuran. Artinya, setiap anggota keluarga, mempraktikkan nilai-nilai kejujuran, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi.
Program kantin kejujuran harus didukung semua pihak. Hal itu sebagai upaya bersama menyelamatkan anak-anak dan generasi muda dari prilaku KKN, yang bisa menghancurkan masa depan mereka dan masa depan bangsa ini. [] Peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Good Article :)
BalasHapusthanks for this information..