Langsung ke konten utama

Mata Rantai Pengangguran

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi Senin, 12 Januari 2008


Krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK) makin menambah angka pengangguran di negeri ini. Angka itu akan terus meningkat, karena bakal ditambah lulusan dunia pendidikan yang tidak terserap dunia kerja. Menurut data BPS (2007), jumlah sarjana yang menganggur terus mengalami kenaikan. Tahun 2004, jumlahnya tercatat 348.000 orang, kemudian naik menjadi 385.418 orang (2005), 673.628 orang (2006), dan 740.206 orang (2007).

Jumlah itu akan terus bertambah, karena menurut Fasli Jalal (2008), jumlah sarjana baru di Indonesia rata-rata 323.902 setiap tahun. Sebagian besar sarjana yang menganggur itu adalah lulusan program studi noneksakta (ilmu sosial, hukum, pendidikan, dan politik). Proporsinya, dari 2,2 juta mahasiswa Indonesia, sekitar 78 persen menempuh kuliah di bidang studi pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, sedangkan 12 persen di bidang teknologi, dan hanya 10 persen yang menempuh kuliah di bidang sains.

Fenomena ini tentu menimbulkan keprihatinan kita bersama. Bukan hanya karena efek domino yang ditimbulkan, seperti tingginya angka kriminalitas, tetapi juga kenyataan akan ”ketidakbergunaan” pendidikan dihadapkan dengan kehidupan nyata. Pertanyaannya, apa yang salah dalam dunia pendidikan kita, khususnya di perguruan tinggi? Upaya apa saja yang sebaiknya dilakukan anak didik agar ketika lulus tidak menjadi pengangguran?

Saling Berkaitan
Fenomena peningkatan angka pengangguran perlu dipikirkan semua pihak. Pasalnya, persoalan itu memiliki mata rantai bukan hanya pada aspek pendidikan, tetapi juga pada aspek budaya dan politik. Pada aspek pendidikan, pengangguran disebabkan adanya ketimpangan dan ketidakterkaitan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Ketimpangan artinya jenis-jenis kompetensi atau keterampilan yang disediakan perguruan tinggi tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.

Sementara ketidakterkaitan menunjukkan adanya orientasi kurikulum pembelajaran yang tidak memiliki relevansi dengan dunia kerja. Singkatnya, kurikulum yang dibuat belum mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Begitu lulus, mereka kebingungan karena ilmu yang dimilikinya tidak dapat digunakan untuk mendapatkan pekerjaan.

Karena tuntutan kompetensi pula, perguruan tinggi sering salah langkah. Kita seringkali mendengar kabar beberapa perguruan tinggi hanya membuka program / jurusan yang sesuai dengan pasar atau dunia kerja. Itu artinya, lembaga ini bukan lagi mencetak generasi ideal yang unggul dalam ilmu dan kepribadian, melainkan menjelma menjadi pemasok tenaga kerja bagi industri atau korporasi.

Pada sistem pendidikan seperti itu, dasar-dasar intelektualitas mahasiswa menjadi amat lemah. Itu ditandai dengan ketidakmampuan mereka untuk menalar secara kritis, mengungkap gagasan, kurang mandiri, dan sebagainya. Singkatnya, mereka hanya akan menjadi ”robot-robot yang terampil secara psikomotorik” saja.

Pada aspek budaya, pengangguran disebabkan rendahnya etos kerja dan degradasi mentalitas anak didik. Akibat suburnya budaya hedonisme, sebagian besar anak didik merasa gengsi kalau tidak bekerja di perkantoran, atau menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Mereka ingin hidup mulia, enak dan nyaman, tetapi ingin serba cepat atau instan.

Mereka lupa bahwa keberhasilan tidak bisa dicapai secara instan, tetapi membutuhkan laku prihatin, strategi, ketetapan visi, misi dan perjuangan yang keras. Karena mentalitas dan etos kerja yang rendah tersebut, anak didik menjadi takut menghadapi tantangan atau rintangan, bahkan mereka kalah mental sebelum bertanding.

Pada aspek politik, pengangguran hanya dijadikan sarana mengantungi suara dan dukungan masyarakat. Sebagaimana persoalan buta huruf dan kemiskinan, pengangguran adalah isu yang sensitif. Isu itu akan terus digulirkan para caleg, politisi parpol, capres dan cawapres, guna meningkatkan popularitas mereka.

Makin sering dan makin rajin para kandidat memasang iklan kemiskinan, pengangguran dan buta aksara, popularitas mereka makin tinggi dalam berbagai polling dan survei. Sayangnya, popularitas yang diraih sang kandidat itu tidak mendorongnya untuk melakukan kerja nyata dalam menurunkan angka pengangguran. Dengan demikian, problem pengangguran hanya selalu dijadikan ”kuda troya” para elit dalam meraih kedudukan dan kekuasaan.

Jiwa Kewirausahaan
Tampaknya pemerintah, masyarakat, pengelola pendidikan, dan dunia kerja perlu duduk satu meja untuk bersama-sama merumuskan solusi mengatasi pengangguran. Sementara pendidikan harus tetap menjadi pionirnya, dengan menanamkan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) kepada anak didiknya. Menurut Pinchot (1988), entrepreneurship merupakan kemampuan menginternalisasi bakat rekayasa dan peluang yang ada. Seorang entrepreneur akan berani mengambil resiko, inovatif, kreatif, pantang menyerah, dan mampu menyiasati peluang secara tepat.

Jiwa kewirausahaan yang didukung kecerdasan sosial, kata Husaini Usman (2008:11), kenyatannya justru berpengaruh signifikan terhadap kesuksesan anak didik. Itu karena kecerdasan sosial menyumbang 80 persen bagi keberhasilan, sementara kecerdasan konseptual atau kecerdasan intelektual hanya menyumbang 10-20 persen saja. Maka, sudah semestinya pihak sekolah/perguruan tinggi memberi porsi lebih pada mata pelajaran/kuliah yang mengarahkan anak didik pada aspek kecerdasan sosial, ketimbang aspek konseptual, atau paling tidak seimbang porsinya.

Fenomena pengangguran seyogianya dijadikan ”palu godam” bagi anak didik untuk memperbaiki diri. Ketika masih duduk di bangku kuliah, tidak ada salahnya jika membekali diri dengan berbagai keterampilan. Misalnya keterampilan bahasa asing (bahasa Inggris, Prancis, Jerman), komputer, keterampilan finansial, keahlian berkomunikasi, jaringan kerja (networks), dan sebagainya.

Ketika lulus sekolah atau menjadi sarjana, mereka harus memanfaatkan ilmu dan kreatifitas yang dimiliki, untuk menciptakan lapangan kerja. Langkah kreatif dan mandiri itu akan meningkatkan kredibilitas seorang sarjana, dibandingkan dengan mereka yang tak pernah mengenyam pendidikan.

Pada akhirnya, menjadi keniscayaan bagi dunia pendidikan untuk mengembangkan jiwa mandiri dan kewirausahaan pada setiap anak didiknya. Melalui model pendidikan seperti itu, diharapkan akan muncul para wirausahawan modern, yang merupakan bagian integral dari pendidikan dan transformasi ekonomi, sebagai akibat dari perkembangan industrialisasi. Semoga! (32) Penulis buku Malpraktik Pendidikan (2008), mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...