Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2008

Apresiasi Sastra dan Problem Bahasa

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Lampung Post, 28 September 2008 Sastra, kata William Henry Hudson dalam Introduction to the Study of Literature (1960), selalu menyumbangkan nilai positif bagi kemanusiaan. Itu karena anasir-anasir yang dicipta bertalian erat dengan penikmatan ragawi dan rohani manusia seperti olah rasa, cipta dan karsa. Lewat kelembutan dan kehalusannya, lanjut Hudson, sastra mampu membangkitkan emosi luhur sekaligus menjembatani sifat fitrah manusia yang cinta akan keindahan. Ketika hendak berkomunikasi dengan pembaca, sastra membutuhkan sarana atau mediasi, yaitu bahasa. Singkatnya, sastra mengguratkan hasil pencarian imajinasi itu dalam rangkaian kata dan bahasa yang tertata amat indah. Maka, peran bahasa menurut Slamet Mulyana (1964), sangat vital dan tidak bisa dianggap sepele. Pertanyaannya kemudian, apakah ada hubungan antara penguasaan bahasa, mutu bahasa, dan apresiasi seseorang terhadap karya sastra? Tentu saja ada korelasi sangat signifikan. Sebab, kedalaman d

Kesalehan Kultural Tradisi Mudik

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Suara Merdeka, Edisi Jum'at, 26 September 2008 TIDAK lama lagi, kita akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1429 H. Sebagian perantau yang bekerja di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Palembang, Medan, Bali, dan Bandung sudah atau sedang bersiap-siap pulang ke kampung halaman masing-masing. Gejala ini disebut dengan istilah mudik, dan amat populer menjelang berakhirnya bulan puasa, khususnya di kalangan perantau dari Jawa. Saat ini tradisi mudik telah menjadi kebutuhan semua elemen bangsa, bukan hanya monopoli umat Islam semata. Pendek kata, tradisi mudik benar-benar perilaku khas, sekaligus salah satu kearifan lokal adiluhung yang patut dilestarikan bangsa ini. Siapa yang mula-mula menggunakan istilah mudik, belum diketahui secara pasti. Yang jelas, istilah itu sudah lama tercatat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1976). Dalam kamus yang disusun Badudu-Zain (1994), dan Abdul Chaer (1976), dikatakan bahwa mudik ber

Rendahnya Tingkat Kepuasan Masyarakat

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bali Pos, Edisi Kamis, 25 September 2008 Hasil survei Lembaga Survey Indonesia (LSI, 2008) baru-baru ini amat mengejutkan. Pasalnya, LSI menemukan tingkat kepuasan masyarakat yang sangat rendah (hanya 51 persen) terhadap demokrasi. Temuan itu seakan menjawab teka-teki fenomena meningkatnya jumlah masyarakat golongan putih (golput) dalam pilkada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan dan sebagainya. Selain itu, hasil survei Nasional Reform Institute (2008) juga menemukan sebanyak 61,81 persen responden kecewa terhadap kinerja DPR. Fenomena sebagaimana disebutkan, menunjukkan kekecewaan masyarakat terhadap DPR dan demokrasi yang berlangsung selama ini. Alih-alih, bukannya menciptakan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan, demokrasi justru memicu kemiskinan, ketidakadilan dan ketidakmerataan dalam masyarakat. Jika mengacu pada standar Perserikatan Bangsa-Bangsa di mana setiap individu dengan 2 dolar Amerika Serikat per hari, maka lebih dari 50 perse

Sastra yang Memihak Petani

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Lampung Post, Edisi Minggu, 20 September 2008 Krisis pangan yang melanda Indonesia dalam tiga tahun terakhir, menimbulkan keprihatinan kita. Bagaimana tidak? Di bumi subur yang sering disebut ki dalang sebagai "gemah ripah loh jinawi", penduduknya kekurangan pangan. Kemudian, apa yang menyebabkan kelangkaan pangan? Bagaimana bangsa ini mengatasinya? Problem pertanian, selain disebabkan penyempitan lahan dan buruknya manajemen pertanian juga disebabkan pergeseran orientasi budaya masyarakat akar rumput (grassroot) terhadap dunia pertanian. Pergeseran orientasi itu salah-satunya dipicu stigma negatif yang diciptakan secara tidak sadar oleh literatur dan karya-karya sastra kita. Sastra kontemporer, kata Agus R. Sarjono (2001), lebih concern pada dunia percintaan yang mengharu-biru, seks, kekuasaan, agama, dan filsafat; mengesampingkan dunia pertanian. Sastra justru menciptakan stigma ganjil pada dunia pertanian. Pendek kata, dunia pertanian adalah

Saatnya Indonesia Bebas Buta Aksara

"PBH harus dilaksanakan secara sinergis dengan upaya mendorong kesadaran membangun sektor produktif, misalnya melalui gerakan pembangunan sektor riil". Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Jurnal Nasional (Jurnas), Sabtu 13 September 2008 Menurut data BPS (2007), dari total penduduk sebanyak 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8 persen dan perempuan 12,3 persen, dengan penyebaran di perkotaan 4,9 persen, dan perdesaan 12,2 persen. Dari jumlah itu, Pulau Jawa merupakan penyumbang terbesar dengan perincian Jawa Timur di peringkat pertama (10,47%), Jawa Tengah (9,42%) dan Jawa Barat. Buta huruf merupakan keadaan di mana orang tidak mampu membaca dan menulis. Padahal, kedua hal tersebut merupakan jendela untuk melihat dunia. Artinya, jika orang bisa membaca, maka dia melihat dunia baru dan segala perkembangannya, termasuk iptek. Lebih dari itu, orang yang mampu membaca akan mengembangkan kompetensinya, karen

Pendidikan dan PBH

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Pikiran Rakyat, 9 September 2008 Baru-baru ini, Majalah Time menyebut Indonesia sebagai negara yang tidak punya pengaruh atau kurang diperhitungkan sebagai kekuatan baru dalam hubungan internasional. Pemicunya, tulis Time, karena tingginya angka buta huruf di Indonesia, yang menyebabkannya tertinggal jauh tidak saja dari negara-negara Asia yang lebih dulu maju, tapi juga dari negara-negara pendatang baru seperti Vietnam, Laos, bahkan Kamboja. Kabar Time tentu saja menimbulkan keprihatinan kita, khususnya para pemangku kebijakan (stakeholder). Artinya, program pemberantasan buta huruf (PBH)-yang dimulai sejak Presiden Soekarno sekitar 1960-an-belum berperan secara efektif. Hal ini terlihat dalam data yang dikeluarkan BPS (2007), dari total penduduk 211.063.000, pengidap buta huruf pada usia 15 tahun ke atas berjumlah 15,4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8% dan perempuan 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan 4,9%, dan perdesaan 12,2%. Dari jumlah itu,

Hasthabrata dan Kepemimpinan Nasional

Oleh Agus Wibowo *) Dimuat Harian Suara Karya, Edisi Kamis, 4 September 2008 Dinamika elite politik menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) menunjukkan fenomena menarik, khususnya tarik-ulur wacana kepemimpinan kaum muda melawan kaum tua. Pihak-pihak yang merasa terancam kedudukannya mencoba membela diri dan mempertahankan posisinya. Persaingan yang timbul terasa kurang sehat lantaran terjadi saling mencari kelemahan lawan dan mengabaikan aspek persatuan dan kesatuan bangsa. Suksesi kepemimpinan, kata Azyumardi Azra (2007), harus memberikan kesempatan kepada kaum muda. Tetapi, tidak lantas menjadikan proses itu sebagai sebuah kutub yang saling berlawanan. Makna "muda" harus dipahami secara lebih luas, bukan dari aspek fisik atau jasmani semata, melainkan dimaknai sebagai visi, misi, pemikiran yang segar, dan berjiwa muda. Meski dari segi fisik dan usia tergolong tua, tetapi kalau memiliki jiwa muda dan ide-ide segar ke arah pembaruan dan perbaikan bangsa

Kearifan Tradisi Jawa atas Puasa

Oleh Agus Wibowo*) Dimuat Harian Suara Merdeka, 03 September 2008 KITA telah memasuki Ramadhan 1429 H. Bagi masyarakat Jawa, bulan puasa atau pasa merupakan bulan penuh berkah sekaligus memiliki keistimewaan tersendiri. Itu karena dalam filosofi Jawa, puasa sering dinamakan prihatin, yaitu sebuah sarana mencapai derajat jalma winilis, atau manusia pilihan, yang dekat dengan Tuhan. Maka, mereka mempersiapkan diri —baik lahir maupun batin— melalui serangkaian tradisi ritual berupa nyadran, padusan, dan megengan.Tradisi nyadran, sebagaimana tradisi Jawa lain seperti muludan, suranan, dan syawalan, merupakan ritual memanjatkan doa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan kesejahteraan. Esensi yang lain, yaitu sebagai simbolis hubungan diri orang Jawa dengan para leluhur, dengan sesama, maupun dengan Tuhan Sang Maha Pencipta. Nyadran, kata Budi Puspo Priyadi (1989), memiliki kesamaan dengan tradisi craddha yang ada pada zaman Kerajaan Majapahit (1284). Kesamaannya terletak pada kegiatan man