Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Pikiran Rakyat, 9 September 2008
Baru-baru ini, Majalah Time menyebut Indonesia sebagai negara yang tidak punya pengaruh atau kurang diperhitungkan sebagai kekuatan baru dalam hubungan internasional. Pemicunya, tulis Time, karena tingginya angka buta huruf di Indonesia, yang menyebabkannya tertinggal jauh tidak saja dari negara-negara Asia yang lebih dulu maju, tapi juga dari negara-negara pendatang baru seperti Vietnam, Laos, bahkan Kamboja.
Kabar Time tentu saja menimbulkan keprihatinan kita, khususnya para pemangku kebijakan (stakeholder). Artinya, program pemberantasan buta huruf (PBH)-yang dimulai sejak Presiden Soekarno sekitar 1960-an-belum berperan secara efektif. Hal ini terlihat dalam data yang dikeluarkan BPS (2007), dari total penduduk 211.063.000, pengidap buta huruf pada usia 15 tahun ke atas berjumlah 15,4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8% dan perempuan 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan 4,9%, dan perdesaan 12,2%. Dari jumlah itu, Pulau Jawa merupakan penyumbang terbesar dengan perincian Jawa Timur di peringkat pertama (10,47%), disusul Jawa Tengah (9,42%), dan peringkat terakhir Jawa Barat.
Pertanyaannya kemudian, apa yang menjadi penyebab kegagalan program PBH? Lantas, apa yang harus dilakukan bangsa ini agar keluar dari krisis buta huruf, yang kenyataannya menurunkan harkat dan martabat bangsa?
Baru-baru ini, Majalah Time menyebut Indonesia sebagai negara yang tidak punya pengaruh atau kurang diperhitungkan sebagai kekuatan baru dalam hubungan internasional. Pemicunya, tulis Time, karena tingginya angka buta huruf di Indonesia, yang menyebabkannya tertinggal jauh tidak saja dari negara-negara Asia yang lebih dulu maju, tapi juga dari negara-negara pendatang baru seperti Vietnam, Laos, bahkan Kamboja.
Kabar Time tentu saja menimbulkan keprihatinan kita, khususnya para pemangku kebijakan (stakeholder). Artinya, program pemberantasan buta huruf (PBH)-yang dimulai sejak Presiden Soekarno sekitar 1960-an-belum berperan secara efektif. Hal ini terlihat dalam data yang dikeluarkan BPS (2007), dari total penduduk 211.063.000, pengidap buta huruf pada usia 15 tahun ke atas berjumlah 15,4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8% dan perempuan 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan 4,9%, dan perdesaan 12,2%. Dari jumlah itu, Pulau Jawa merupakan penyumbang terbesar dengan perincian Jawa Timur di peringkat pertama (10,47%), disusul Jawa Tengah (9,42%), dan peringkat terakhir Jawa Barat.
Pertanyaannya kemudian, apa yang menjadi penyebab kegagalan program PBH? Lantas, apa yang harus dilakukan bangsa ini agar keluar dari krisis buta huruf, yang kenyataannya menurunkan harkat dan martabat bangsa?
Politik dan pendidikan
Menurut Paulo Freire (1999), persoalan buta huruf sejatinya bertalian erat dengan aspek politik, pendidikan, dan sistem budaya masyarakat. Meski demikian, aspek politik memiliki pengaruh sangat kuat sekaligus sebagai kunci utama. Itu karena politik lebih sering menjadikan problem buta huruf sebagai komoditas kampanye, yang mampu menarik dukungan rakyat di samping kemiskinan. Sebagai isu yang sensitif, buta huruf akan menutupi kualitas, kredibilitas, atau kubu asal calon. Singkatnya, asal mengusung isu atau tema-tema itu, rakyat sudah pasti akan mendukung.
Fakta itu dapat kita lihat pada rekam jejak beberapa kandidat capres yang maju pada Pilpres 2009. Mereka juga menggunakan isu buta huruf dan kemiskinan sebagai kendaraan utamanya. Pada konteks pelaksanaan PBH, terlihat jelas adanya budaya ganti rezim, ganti pula kebijakan dan model penanganannya. Akibatnya, terjadi diskontinuitas yang muaranya membuat program PBH tidak efektif, dan justru menimbulkan persoalan baru.
Kebijakan politik yang sering berubah haluan itu, berimbas pada pendidikan, khususnya pada sistem filosofi dan anggarannya. Pada aspek filosofi, pendidikan justru tidak memberikan penyadaran, tetapi justru menjadi penindas dan "penabur kata" aspek kognitif anak didik. Singkatnya, pendidikan tidak mampu menumbuhkan kesadaran bahwa buta aksara merupakan persoalan besar, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga persoalan bangsa.
Sementara, anggaran pendidikan yang belum mencapai 20 persen masih ditambah dengan kebijakan otonomi daerah yang membebankan sepenuhnya pembiayaan pendidikan pada masing-masing sekolah. Maka, muncul fenomena yang sangat memprihatinkan, di mana masing-masing sekolah saling berlomba menaikkan biaya pendidikan. Dampaknya, semakin banyak masyarakat miskin yang tidak mampu mengenyam pendidikan, yang muaranya memicu munculnya problem buta huruf. Pada konteks ini, buta huruf terjadi karena kesempatan pendidikan terampas oleh politik dan sistem pendidikan itu sendiri.
Pada pidato presiden di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 2008, disebutkan anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional pada tahun anggaran 2009 ditetapkan Rp 224,4 triliun dari Rp 1.122,2 triliun total anggaran belanja RAPBN 2009. Dengan anggaran pendidikan sebesar itu, diharapkan masing-masing komponen pendidikan mampu meraih target 50 persen bebas buta aksara pada 2010.
Menurut Paulo Freire (1999), persoalan buta huruf sejatinya bertalian erat dengan aspek politik, pendidikan, dan sistem budaya masyarakat. Meski demikian, aspek politik memiliki pengaruh sangat kuat sekaligus sebagai kunci utama. Itu karena politik lebih sering menjadikan problem buta huruf sebagai komoditas kampanye, yang mampu menarik dukungan rakyat di samping kemiskinan. Sebagai isu yang sensitif, buta huruf akan menutupi kualitas, kredibilitas, atau kubu asal calon. Singkatnya, asal mengusung isu atau tema-tema itu, rakyat sudah pasti akan mendukung.
Fakta itu dapat kita lihat pada rekam jejak beberapa kandidat capres yang maju pada Pilpres 2009. Mereka juga menggunakan isu buta huruf dan kemiskinan sebagai kendaraan utamanya. Pada konteks pelaksanaan PBH, terlihat jelas adanya budaya ganti rezim, ganti pula kebijakan dan model penanganannya. Akibatnya, terjadi diskontinuitas yang muaranya membuat program PBH tidak efektif, dan justru menimbulkan persoalan baru.
Kebijakan politik yang sering berubah haluan itu, berimbas pada pendidikan, khususnya pada sistem filosofi dan anggarannya. Pada aspek filosofi, pendidikan justru tidak memberikan penyadaran, tetapi justru menjadi penindas dan "penabur kata" aspek kognitif anak didik. Singkatnya, pendidikan tidak mampu menumbuhkan kesadaran bahwa buta aksara merupakan persoalan besar, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga persoalan bangsa.
Sementara, anggaran pendidikan yang belum mencapai 20 persen masih ditambah dengan kebijakan otonomi daerah yang membebankan sepenuhnya pembiayaan pendidikan pada masing-masing sekolah. Maka, muncul fenomena yang sangat memprihatinkan, di mana masing-masing sekolah saling berlomba menaikkan biaya pendidikan. Dampaknya, semakin banyak masyarakat miskin yang tidak mampu mengenyam pendidikan, yang muaranya memicu munculnya problem buta huruf. Pada konteks ini, buta huruf terjadi karena kesempatan pendidikan terampas oleh politik dan sistem pendidikan itu sendiri.
Pada pidato presiden di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 2008, disebutkan anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional pada tahun anggaran 2009 ditetapkan Rp 224,4 triliun dari Rp 1.122,2 triliun total anggaran belanja RAPBN 2009. Dengan anggaran pendidikan sebesar itu, diharapkan masing-masing komponen pendidikan mampu meraih target 50 persen bebas buta aksara pada 2010.
Kredibilitas bangsa
Pada peringatan hari aksara kali ini, tampaknya harus segera disusun strategi yang jitu, dalam rangka mengentaskan bangsa ini dari buta huruf. Strategi ini harus bersifat holistis dan sinergis, antara aspek politik, pendidikan, dan sistem kebudayaan masyarakat. Artinya, selain paralel dengan pemberdayaan masyarakat, PBH harus dilaksanakan secara sinergis dengan upaya mendorong kesadaran membangun sektor produktif, misalnya melalui gerakan pembangunan sektor riil.
Tidak kalah pentingnya, masyarakat harus disadarkan bahwa buta aksaralah penyebab kemiskinan yang mencapai 41,1 juta jiwa, dan posisi human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia Indonesia yang berada di peringkat 108 dari 177 negara. Maka, menjadikan buta huruf sebagai musuh bersama, merupakan langkah jitu dalam rangka kesadaran eksistensi sebagaimana dijelaskan teori Freire sebelumnya.
Strategi demikian, sejatinya memiliki kesesuaian dengan langkah Presiden SBY, khususnya dalam Inpres No. 5 Tahun 2006. Inpres ini di antaranya berisi, pemberantasan buta aksara dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan politik (vertikal) dan horizontal, mulai dari presiden, menteri terkait, gubernur, wali kota/bupati, camat, sampai kepala desa. Sedangkan pendekatan horizontal, dilakukan dengan melibatkan berbagai organisasi kebudayaan, LSM, ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.
Pendidikan harus menjadi media PBH yang transformatif, artinya selalu melibatkan siswa pada kesadaran, kehidupan nyata, atau hubungannya dengan orang lain. Singkatnya, siswa dilatih menekuni pekerjaannya sebagai sarana menemukan makna baru, sekaligus memahami karya itu sebagai objek budaya. PBH model ini justru lebih efektif, ketimbang model penyetoran kata-kata yang harus dihafal siswa, tanpa mereka ketahui maknanya.
Tidak kalah pentingnya, perusahaan-perusahaan besar sebagai penyedia dana di luar sistem, harus menyisihkan sebagian penghasilannya-misalnya tertuang dalam corporate social responsibility (CSR). Anggaran yang terkumpul, bisa digunakan untuk kegiatan pelatihan, perekrutan relawan dan pembentukan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka inilah yang akan menjadi ujung tombak pelaksanaan program PBH. Selanjutnya, masing-masing komponen harus selalu berkomunikasi secara transparan dan accountable, sampai sejauh mana program telah dilaksanakan. Dengan model ini, efektivitas program PBH bisa dicermati dan terus dipantau perkembangannya. Semoga.[]
Penulis, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Pada peringatan hari aksara kali ini, tampaknya harus segera disusun strategi yang jitu, dalam rangka mengentaskan bangsa ini dari buta huruf. Strategi ini harus bersifat holistis dan sinergis, antara aspek politik, pendidikan, dan sistem kebudayaan masyarakat. Artinya, selain paralel dengan pemberdayaan masyarakat, PBH harus dilaksanakan secara sinergis dengan upaya mendorong kesadaran membangun sektor produktif, misalnya melalui gerakan pembangunan sektor riil.
Tidak kalah pentingnya, masyarakat harus disadarkan bahwa buta aksaralah penyebab kemiskinan yang mencapai 41,1 juta jiwa, dan posisi human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia Indonesia yang berada di peringkat 108 dari 177 negara. Maka, menjadikan buta huruf sebagai musuh bersama, merupakan langkah jitu dalam rangka kesadaran eksistensi sebagaimana dijelaskan teori Freire sebelumnya.
Strategi demikian, sejatinya memiliki kesesuaian dengan langkah Presiden SBY, khususnya dalam Inpres No. 5 Tahun 2006. Inpres ini di antaranya berisi, pemberantasan buta aksara dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan politik (vertikal) dan horizontal, mulai dari presiden, menteri terkait, gubernur, wali kota/bupati, camat, sampai kepala desa. Sedangkan pendekatan horizontal, dilakukan dengan melibatkan berbagai organisasi kebudayaan, LSM, ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.
Pendidikan harus menjadi media PBH yang transformatif, artinya selalu melibatkan siswa pada kesadaran, kehidupan nyata, atau hubungannya dengan orang lain. Singkatnya, siswa dilatih menekuni pekerjaannya sebagai sarana menemukan makna baru, sekaligus memahami karya itu sebagai objek budaya. PBH model ini justru lebih efektif, ketimbang model penyetoran kata-kata yang harus dihafal siswa, tanpa mereka ketahui maknanya.
Tidak kalah pentingnya, perusahaan-perusahaan besar sebagai penyedia dana di luar sistem, harus menyisihkan sebagian penghasilannya-misalnya tertuang dalam corporate social responsibility (CSR). Anggaran yang terkumpul, bisa digunakan untuk kegiatan pelatihan, perekrutan relawan dan pembentukan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka inilah yang akan menjadi ujung tombak pelaksanaan program PBH. Selanjutnya, masing-masing komponen harus selalu berkomunikasi secara transparan dan accountable, sampai sejauh mana program telah dilaksanakan. Dengan model ini, efektivitas program PBH bisa dicermati dan terus dipantau perkembangannya. Semoga.[]
Penulis, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar