Langsung ke konten utama

Sastra yang Memihak Petani

Oleh Agus Wibowo

Dimuat Harian Lampung Post, Edisi Minggu, 20 September 2008
Krisis pangan yang melanda Indonesia dalam tiga tahun terakhir, menimbulkan keprihatinan kita. Bagaimana tidak? Di bumi subur yang sering disebut ki dalang sebagai "gemah ripah loh jinawi", penduduknya kekurangan pangan.
Kemudian, apa yang menyebabkan kelangkaan pangan? Bagaimana bangsa ini mengatasinya?
Problem pertanian, selain disebabkan penyempitan lahan dan buruknya manajemen pertanian juga disebabkan pergeseran orientasi budaya masyarakat akar rumput (grassroot) terhadap dunia pertanian. Pergeseran orientasi itu salah-satunya dipicu stigma negatif yang diciptakan secara tidak sadar oleh literatur dan karya-karya sastra kita.
Sastra kontemporer, kata Agus R. Sarjono (2001), lebih concern pada dunia percintaan yang mengharu-biru, seks, kekuasaan, agama, dan filsafat; mengesampingkan dunia pertanian. Sastra justru menciptakan stigma ganjil pada dunia pertanian.
Pendek kata, dunia pertanian adalah representasi atau simbol masyarakat kelas bawah yang tertindas, terpinggir, dan menderita. Itu dapat kita temukan, misalnya, dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Benar, novel itu mengangkat kisah dengan setting perdesaan dan tanah pertanian. Akan tetapi, kisah itu hanya berkutat pada pergulatan seorang penari ronggeng pada kondisi sosial budaya di era 60-an, sementara problem pelik dunia pertanian luput--atau memang sengaja tidak disinggung.
Novel Para Priyayi karya Umar Kayam juga demikian. Novel itu memang menjadi inspirasi kemajuan masyarakat miskin untuk mengubah statusnya. Tetapi, yang terasa justru penokohan "anak desa" dengan segenap usahanya meninggalkan tanah pertanian untuk menjadi seorang priyayi. Singkatnya, pencitraan yang muncul dari novel itu, dunia pertanian identik dengan kebodohan, keterbelakangan, berorientasi pada hal-hal mistis dan serba-"hitam" yang mesti ditinggalkan.


Kearifan Pujangga Klasik
Jika kita cermati, apa yang dilakukan sastrawan kontemporer sangat kontras dengan kearifan para pujangga dahulu. Mereka dahulu justru sangat akrab dengan dunia pertanian. Kedekatan dan keakraban itu mereka tuangkan dalam karya-karya sastra yang dibuat. Beberapa literatur sastra Jawa klasik yang diteliti P.J. Zoetmulder misalnya. Karya sastra yang dibuat pada abad ke-8 dengan bentuk kakawin dan kidung itu, menceritakan bagaimana seorang raja yang rela datang ke kawasan perdesaan, guna memotivasi rakyatnya mengolah tanah pertanian. Dikisahkan pula, bagaimana para biarawan (tokoh agama) turut serta bercocok tanam, dan membangun lumbung-lumbung padi yang besar dan tinggi.
Selain itu, dalam kitab Desawarnana atau Negarakertagama digambarkan bagaimana kemajuan sistem pertanian kala itu. Disebutkan adanya perintah sang raja agar rakyatnya membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Karena kesuburan tanah pertanian, panen yang dihasilkan melimpah, sehingga rakyat memberikan pajak kepada sang raja tanpa paksaan. Kitab itu juga menyebutkan kemajuan sistem irigasi pertanian yang sangat maju.
Beberapa bukti yang telah disebutkan, menunjukkan dunia sastra (klasik) dahulu, selain mengusung tema-tema seputar keraton juga concern mengangkat dunia pertanian. Itu tidak lepas dari peran utama sastra sebagai media komunikasi dan media penerangan masyarakat. Singkatnya, sastra dimanfaatkan sebagai satu strategi kebudayaan yang efektif untuk menggerakkan masyarakat, khususnya dalam mengembangkan dunia pertanian.
Di negara-negara dengan pertanian maju, sastra juga memiliki peran penting dan strategis. Misalnya di China, revolusi kebudayaan yang dilakukan besar-besaran berhasil membuahkan gagasan baru untuk menampilkan dinamika pertanian dalam karya sastra. Misalnya dalam kumpulan cerpen Kisah Lelaki Tua dan Anjingnya, yang merupakan terjemahan sebuah karya sastra China.
Karya sastra China yang lain mampu mengangkat sosok petani dengan dinamika pertaniannya, menjadi sastra yang indah dan menawan. Itu karena petani dengan segenap problemnya tidak diangkat secara turistik dengan semangat kaum terdidik yang penuh keinginan semu, melainkan digarap dengan penuh penghayatan. Padahal, nyaris semua cerpen itu ditulis kalangan intelektual China sendiri.
Di Malaysia juga tak jauh berbeda. Sastrawan Shahnon Ahmad, misalnya, berhasil menyuguhkan sosok petani yang khas dan hidup. Itu dapat kita lihat dalam salah satu novelnya berjudul Ranjau Sepanjang Jalan.
Dalam novel itu, digambarkan beratnya perjuangan seorang petani melawan alam dan dalam mengolah tanah pertaniannya. Juga dikisahkan bagaimana anak-anak tanpa ibu bergelut dengan buruknya musim dan cuaca, serbuan pipit dan kepiting, atau meluapnya air bah yang menggenangi sawah dan merusak panen mereka. Lewat novel itu, kita disadarkan bahwa tanah pertanian bagi petani merupakan sebuah "tanah air" yang tidak mudah dipindah-pindahkan, atau dihancurkan oleh basis relasi eksternalnya.


Memihak Petani
Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi sastrawan kontemporer, untuk belajar dan mencontoh para sastrawan negara-negara maju. Dengan kata lain, sastrawan kontemporer tidak merasa malu apalagi "tabu" jika mengangkat tema-tema pertanian. Alangkah indahnya hamparan sawah yang menghijau, buliran padi menguning, senandung seruling anak gembala, atau riuhnya burung pipit menyerbu padi, diangkut sastrawan dalam karya-karyanya. Sastrawan kontemporer melalui karyanya, juga bisa mengungkap berbagai praktik penipuan "lintah darat", yang menyengsarakan petani.
Kontribusi sastra terhadap pertanian, secara nyata dapat dimulai melalui pengajaran sastra di sekolah atau bangku perguruan tinggi. Sastra dengan tema-tema keindahan tanah pertanian itu, akan menumbuhkan kecintaan anak didik pada dunia pertanian. Dampaknya tentu saja positif karena mereka tidak akan malu atau merasa "tersisih" lagi, jika nantinya memilih profesi sebagai petani, dan lebih memilih menetap di desa. Dampak positif secara makro, usaha itu pelan tapi pasti akan mengubah orientasi masyarakat kita, untuk tidak terus-menerus melakukan urbanisasi besar-besaran ke kota.
Segenap pihak harus menyadari bahwa masyarakat petani merupakan sebuah realitas dominan dalam seluruh struktur sosial Indonesia. Mereka merupakan agen utama penjaga "saka guru" atau tiang utama penyangga perekonomian masyarakat. Maka, dengan menggeliatkan dunia pertanian melalui karya-karya sastra, sama halnya memperkokoh stabilitas perekonomian bangsa. Semoga.[] Esais Sastra, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...