Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Suara Merdeka, Edisi Jum'at, 26 September 2008
TIDAK lama lagi, kita akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1429 H. Sebagian perantau yang bekerja di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Palembang, Medan, Bali, dan Bandung sudah atau sedang bersiap-siap pulang ke kampung halaman masing-masing. Gejala ini disebut dengan istilah mudik, dan amat populer menjelang berakhirnya bulan puasa, khususnya di kalangan perantau dari Jawa.
Saat ini tradisi mudik telah menjadi kebutuhan semua elemen bangsa, bukan hanya monopoli umat Islam semata. Pendek kata, tradisi mudik benar-benar perilaku khas, sekaligus salah satu kearifan lokal adiluhung yang patut dilestarikan bangsa ini.
Siapa yang mula-mula menggunakan istilah mudik, belum diketahui secara pasti. Yang jelas, istilah itu sudah lama tercatat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1976). Dalam kamus yang disusun Badudu-Zain (1994), dan Abdul Chaer (1976), dikatakan bahwa mudik berarti ‘’pulang ke udik, atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari lebaran’’.
Tradisi mudik, kata Umar Kayam (2002), mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Kegiatan itu dulu digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, yang disertai upacara doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan. Tujuannya, agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki, sementara keluarga yang ditinggalkan tak dirundung petaka.
Tetapi setelah pengaruh agama Islam masuk ke tanah Jawa, tradisi tersebut berangsur-angsur terkikis, karena dianggap sebagai perbuatan yang sia-sia dan masuk dalam katagori syirik. Meski demikian, peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idul Fitri.
Tak Masuk Akal
Kita akan menemukan banyak hal yang unik dan tidak masuk akal dalam tradisi mudik. Pertama, secara finansial, mudik memerlukan biaya yang tidak sedikit. Anehnya, para pemudik tidak pernah mempersoalkannya. Para pemudik, kata Jacob Sumarjan (2007), berkeyakinan bahwa harta dunia bisa dicari, tetapi mukjizat atau berkah ruhani ketika munggah dan mudik itu tak bisa dibeli dengan harta benda atau tergantikan dengan materi apapun.
Kedua, mudik mampu menjadi terapi batin (psikologis) yang ampuh. Ketika masyarakat perkotaan dihadapkan pada persoalan ruang kehidupan yang makin sempit, carut-marut dunia politik dan moralitas bangsa, mereka akan mengalami tekanan psikologis. Untuk menyembuhkan penyakit itu, orang kota harus bersunyi-sunyi dengan pergi ke daerah yang tenang, damai, dan jauh dari hiruk-pikuk persoalan duniawi. Pendek kata, orang perlu melepaskan penat tersebut dengan rileks, curhat atau bersilaturahmi/mengunjungi karib dan kerabat terdekat. Untungnya, dalam khazanah budaya kita terdapat sebuah tradisi yang khas, sekaligus pengobat persoalan batin tersebut, yaitu tradisi mudik! Maka ketika mudik, segala beban itu cair seketika, karena menatap wajah-wajah lugu penduduk desa, penuh kasih sayang, dan tanpa pamrih. Begitu hendak kembali ke tempat kerja, semangat telah pulih kembali. Harapan untuk bertemu kembali dengan kampung halaman di tahun berikutnya menjadi motivasi bekerja keras dan mengumpulkan uang guna mudik kembali.
Ketiga, mudik menjadi sarana orang mengingat sangkan paraning dumadi atau asal-usulnya. Para pemudik yang berbondong-bondong itu, kata Cak Nun (1994), sedang memenuhi tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya. Singkatnya, mereka berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar kehidupan: komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak-ibu, alam semesta, serta berpangkal (dan berujung) di Allah SWT melalui runtutan akar historisnya. Kesadaran seperti itu tampak dari para pemudik yang berusaha sedapat mungkin berada di tengah-tengah keluarga, sebelum salat Idul Fitri.
Keempat, tradisi mudik acapkali menjadi momen unjuk diri. Para pemudik berlomba-lomba menunjukkan eksistensi keberhasilannya di perantauan pada penduduk asli. Pada gilirannya timbul kecemburuan sosial di masyarakat. Selain itu, budaya pamer ini tidak jarang menimbulkan disharmoni yang mengganggu kesahduan Idul Fitri itu sendiri.
Pendapatan Daerah
Ketika berlangsung tradisi mudik, aliran dana sudah pasti mengalir ke kampungnya. Para pemudik akan membelanjakan hartanya untuk keperluan apa saja, seperti berbagai kebutuhan pokok, mengunjungi tempat-tempat wisata, dan lain-lain. Lebih dari itu, mudik menjadi stimulus kegairahan aspek-aspek perekonomian lainnya. Misalnya, perusahaan transportasi bersaing menawarkan pelayanan, bank menyodorkan berbagai pelayanan kebutuhan uang, dan perusahaan komunikasi berusaha memanjakan pemudik dengan berbagai fasilitas. Walhasil, perekonomian di berbagai daerah menjadi bangkit dan bergairah berkat kehadiran para pemudik.
Pemerintah pusat dan daerah mestinya merespon positif tradisi tahunan ini. Artinya, mereka harus mampu menyediakan infrastruktur, suprastruktur, serta aspek-aspek lain yang menjadi sarana mudik dengan baik. Misalnya, perbaikan sarana transportasi (perbaikan jalan, penambahan armada darat, laut, dan udara), sarana komunikasi (informasi mudik, informasi di sepanjang jalur mudik, perbaikan rambu-rambu), dan sebagainya.
Tidak kalah pentingnya, aparat keamanan harus bekerja ekstra keras demi memberi keamanan dan kenyamanan bagi para pemudik. Pasalnya, tradisi mudik saat ini makin dihantui oleh berbagai perilaku kriminal seperti pembiusan, perampokan, penjambretan, dan sebagainya. Sayangnya, permasalahan tersebut hingga kini masih kurang mendapat perhatian. Jauh-jauh hari, pemerintah memang sudah berjanji akan memperbaki berbagai sarana dan prasarana itu. Tetapi, ketika musim mudik sudah tiba, masih banyak gangguan yang dihadapi, entah jalan rusak atau jembatan yang belum selesai diperbaiki dan sebagainya.
Pada akhirnya, kita semua harus bisa mengambil hikmah dari tradisi mudik. Misalnya, kesederhanaan sebagai orang desa, keluguan dalam bergaul dengan sesama, yang menyebabkan bangunan persaudaraan antarwarga kampung tidak dibatasi sekat-sekat primordial. Lebih dari itu, keadaan kampung halaman yang tandus, atau penderitaan teman sepermainan yang hidup miskin, mestinya mengingatkan para elit politik untuk tak berlaku curang, tak membudayakan KKN dan tak membuat rakyat makin menderita. (32)—Agus Wibowo, pemerhati budaya, penulis buku ’’Memayu Hayuning Bawono’’, tinggal di Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar