Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Bali Pos, Edisi Kamis, 25 September 2008
Hasil survei Lembaga Survey Indonesia (LSI, 2008) baru-baru ini amat mengejutkan. Pasalnya, LSI menemukan tingkat kepuasan masyarakat yang sangat rendah (hanya 51 persen) terhadap demokrasi. Temuan itu seakan menjawab teka-teki fenomena meningkatnya jumlah masyarakat golongan putih (golput) dalam pilkada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan dan sebagainya. Selain itu, hasil survei Nasional Reform Institute (2008) juga menemukan sebanyak 61,81 persen responden kecewa terhadap kinerja DPR.
Fenomena sebagaimana disebutkan, menunjukkan kekecewaan masyarakat terhadap DPR dan demokrasi yang berlangsung selama ini. Alih-alih, bukannya menciptakan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan, demokrasi justru memicu kemiskinan, ketidakadilan dan ketidakmerataan dalam masyarakat. Jika mengacu pada standar Perserikatan Bangsa-Bangsa di mana setiap individu dengan 2 dolar Amerika Serikat per hari, maka lebih dari 50 persen penduduk Indonesia, yang berjumlah lebih dari 223 juta jiwa, tergolong miskin. Sementara kekayaan sebesar 75 miliar dolar AS atau Rp 800 triliun yang beredar di Indonesia, hanya dimiliki oleh 150 orang. Pendek kata, demokrasi menjadi sistem politik yang tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat.
Penyebabnya, karena para politisi itu sering menggunakan politik sebagai mata pencaharian utama. Politik yang mestinya menjadi sarana luhur mencapai demokratisasi, kenyataannya justru bergelimang kepalsuan dan kemunafikan.
Kondisi itu masih diperparah dengan masuknya orang-orang yang belum 'melek' politik dalam ajang memperebutkan kursi legislatif dan eksekutif. Akibatnya, demokrasi kita --meminjam istilah Aristoteles -- menjadi sistem politik paling buruk yang mendorong golongan 'tidak terdidik' menjadi pemimpin.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana menyelamatkan demokrasi dari pragmatisme sempit dan 'pembajakan' elite politik? Bagaimana solusi terbaik menekan pertambahan jumlah golput yang semakin tidak terbendung? Pertanyaan ini penting diajukan, sebab jika Pemilu 2009 didominasi angka golput, bisa dipastikan demokrasi Indonesia akan tamat. Artinya, mekanisme demokrasi mulai dari pembentukan partai, pemilihan bakal caleg, pemilihan caleg hingga pilpres, menjadi gawe yang mubazir tanpa memberi pengaruh positif bagi kehidupan rakyat.
Menjadi Pelayan
Demokrasi, esensinya adalah melayani kepentingan masyarakat. Itu artinya, segala jabatan yang dihasilkan melalui proses demokrasi harus difungsikan sebagai pelayan masyarakat. Maka salah jika para pemimpin eksekutif dan legislatif yang meminta pelayanan khusus dari masyarakat. Oleh karena itu, para caleg, capres dan cawapres harus memperbaiki niat terlebih dulu sebelum terjun dalam kancah demokrasi. Artinya, mereka harus membuang jauh-jauh pragmatisme sempit untuk mencari harta dan kekuasaan itu, dengan niat mulia melayani masyarakat, meringankan penderitaan dan kesusahan, sekaligus menjadi corong aspirasi mereka.
Semua penyakit demokrasi, kata Yudi Latif (2008), bisa disembuhkan dengan menambah demokrasi. Artinya, demokrasi prosedural harus ditingkatkan dengan mengembangkan esensi demokrasi: pertanggungjawaban sistemik dan pemberdayaan rakyat. Demokrasi harus menghadirkan kerangka sistemik yang responsif terhadap tuntutan aktualisasi diri manusia dalam berbagai bidang kehidupan.
Sementara untuk mengimbangi sepak terjang 'orang-orang gagap politik' yang terjun dalam demokrasi, parpol perlu menjadi partai yang revolusioner; partai kumpulan para intelektual yang mengawal pembangunan, menjadi penasihat rakyat, dan mengarahkan transisi menuju sosialisme. Dengan begitu, partai betul-betul menjadi wadah untuk reformasi moral dan intelektual para kader dan pengurusnya. Parpol ini pun dapat menunjukkan fungsinya secara maksimal sebagai sarana mengambil alih kepemimpinan bangsa dan membangun kesadaran politik rakyat.
Selain itu, parpol harus lebih aktif lagi mengusahakan pendidikan politik rakyat, dengan memperhatikan dan memperjuangkan kebutuhan mereka. Parpol harus lebih aktif memperjuangkan dan melaksanakan sistem perekrutan dan kaderisasi yang lebih objektif dan demokratis, sehingga muncul pemimpin-pemimpin andal. Parpol juga perlu memelopori agar terjadi transformasi pola pikir masyarakat melalui kerja sama dengan berbagai lembaga dalam dan luar negeri di bidang ini.
Musuh Bersama
Tampaknya, tidak ada pilihan bagi masyarakat kecuali bersatu padu melawan 'pembajak' demokrasi, dan menjadikannya mereka sebagai musuh bersama (come enemy). Partisipasi politik dan apresiasi rakyat atas demokrasi harus semakin digalakkan, misalnya dengan memperbanyak forum debat yang efektif, memberikan kesempatan seluas-luasnya pada rakyat agar menyuarakan aspirasinya, memperkuat sistem demokrasi, dan mempercepat kemunculan figur pemimpin yang tegas dan bersih.
Para tokoh masyarakat, pemuka adat dan pemuka agama, harus menjadi teladan rakyat dalam mengawal demokrasi. Mereka harus mampu meyakinkan masyarakat, bahwa demokrasi merupakan mekanisme terbaik menciptakan negara bangsa dan masyarakat madani. Singkatnya, demokrasi dengan roh Pancasila adalah representasi kearifan lokal dari berbagai suku bangsa kita.
Komitmen rakyat demikian, harus diimbangi dengan perilaku elite dan politisi yang tidak mencla-mencle. Mereka harus mampu menunjukkan politik yang bersih, santun, dan menjadi pilar terbaik demokratisasi. Jika tidak, sudah pasti rakyat akan kecewa karena merasa dikebiri dan dibohongi. Maka, jangan salahkan rakyat jika angka golput semakin membubung tinggi.
Pengembangan dan penguatan sistem demokrasi merupakan komponen yang esensial dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, orientasi pembangunan fisik yang selama ini diutamakan, harus diimbangi dengan pembangunan pelbagai sarana pendidikan demokrasi. Forum-forum kecil di angkringan, warung kopi, pos ronda, gubuk tengah sawah, hingga institusi pendidikan, harus menjadi sarana efektif mengajarkan demokrasi yang sejati pada masyarakat. Media-media itu, harus mengubah stigma buruk masyarakat pada demokrasi, dan perlahan-lahan mengembalikan kepercayaan mereka.[] Penulis Peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar