Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2008

Bangsa Perusak Hutan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bali Pos, Edisi Senin, 14 Juli 2008 Belum lama ini, Indonesia berhasil memecahkan rekor Guinnes World Record (2007), sebagai negara perusak hutan tercepat di dunia. Sebuah prestasi yang tentunya menimbulkan keprihatinan kita. Gelar itu diberikan bukan tanpa dasar. Menurut data yang berhasil dihimpun GWR (2007), tingkat laju penghancuran hutan (deforestasi) di Indonesia mencapai 1,871 juta hektar setiap tahun, atau 51 kilometer persegi per hari. Jika dibandingkan 43 negara lain, laju deforestasi Indonesia menduduki peringkat pertama, disusul oleh Zimbabwe (1,7 persen), Myanmar (1,4 persen), dan Brazil yang hanya 0,6 persenPertanyaanya kemudian, siapa pemicu laju deforestasi hingga separah itu? Jika dilihat dari modusnya yang begitu sporadis, tentunya ada sebuah mekanisme atau sistem raksasa yang melegalkannya. Dengan kata lain, jika hanya rakyat biasa (baca: maling kelas teri), tidak akan mampu menimbulkan kerusakan secepat itu.Menurut Indonesian Center f

Meretas Sastra Interdisipliner

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Suara Karya, Sabtu, 12 Juli 2008 Nasib dunia sastra kita, dewasa ini kian memprihatinkan. Sensibilitas dan kepedulian masyarakat pada sastra, semakin pudar-untuk mengatakan tidak ada lagi. Mestinya, masyarakatlah yang bertanggungjawab pada sustainabilitas dan tumbuh-tegaknya sastra, karena masyarakat merupakan objek dan subjek sastra. Memang, absennya kesadaran melestarikan sastra tidak berakar dari masyarakat semata. Nyatanya, dunia sastra juga turut andil membidaninya. Khususnya, simbol "binatang jalang" sastrawan kita dengan penampilan fisik yang kumal, awut-awutan, berambut gondrong tak terurus, mungkin malah "tatoan" layaknya pelaku kriminal, hidup tak teratur, anti-kemapanan, mengutamakan kebebasan yang tak terbatas, dan prilaku hidup bertentangan dengan norma-norma masyarakat normal lainnya, merupakan pemicu utama. Selain itu, dalam dunia akademik -dan dunia keilmuan pada umumnya- terjadi dominasi perspektif monodisipliner. Per

Saatnya Memilih SMK

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Pikiran Rakyat, Edisi Sabtu,13 Juli 2008 Pada musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2008/2009, sekolah menegah kejuruan (SMK) dibanjiri peminat. Di Kota Bandung misalnya, berdasarkan rekapitulasi PSB online, tercatat 1.118 pendaftar, dari 360 kuota yang disediakan. Jika ditotal secara keseluruhan, pendaftar mencapai 11.066 dari 15 SMK yang ambil bagian. Jumlah itu melebihi tahun sebelumnya hanya 777 orang. Di Yogyakarta, dari 14 SMK negeri dan swasta yang membuka PSB online, telah dipenuhi pendaftar. Misalnya di SMK Negeri 6, tercatat 548 pendaftar dari 468 kursi yang tersedia. Padahal, pada PSB tahun lalu hanya tercatat 500 pendaftar. Melonjaknya jumlah peminat, menandakan kesadaran masyarakat untuk memilih SMK ketimbang SMA. Hal ini, lantaran peranan SMK yang signifikan dalam upaya mencetak tenaga terampil dan mengurangi masalah pelik pengangguran. SMK, tulis Joko Sutrisno (2008), mampu menyiapkan peserta didik yang kreatif, menguasai ilmu pen

Sekolah Mahal dan Menindas

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Suara Karya , Edisi Kamis, 10 Juli 2008 M usim penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2008/2009 dimulai. Hati orangtua mana yang tidak senang menyaksikan putra-putrinya menyandang tas dan mengenakan s eragam sekolah. Sudah terbayang di benak orangtua masa depan yang cerah bagi putra-putrinya. Sayangnya, impian itu sering pupus. Pasalnya, saat ini sangat sulit memilih sekolah yang bermutu, tetapi dengan biaya pendidikan yang "miring" alias murah. Sekolah justru menjadi ajang bisnis atau lahan pencarian laba. Sebagai gambaran, untuk memasuki SD negeri saja, uang dalam jumlah jutaan rupiah harus sudah di tangan. Untuk sekolah swasta atau sekolah favorit, biaya pendidikan bisa mencapai puluhan juta rupiah. Konon, biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN) kini mencapai Rp 100 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya operasional pendidikan (BOP), dan biaya-biaya lainnya. Selain tingginya biaya pendidikan, orangtua masih juga dipusingkan banyaknya pung

Mewaspadai Kecurangan PSB

Oleh Agus Wibowo Dilansir dari Harian Pikiran Rakyat , Kamis, 03/07/2008 Musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2008/2009, dimulai. Seperti biasanya, orang tua dan anak dipusingkan urusan memilih sekolah yang bermutu, tetapi dengan biaya pendidikan yang "miring" alias murah. Pertanyaannya kemudian, apakah ada m odel sekolah seperti itu? Tentu saja sangat jarang. Pasalnya, saat ini banyak institusi pendidikan, negeri maupun swasta, berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikannya. Sebagai gambaran, untuk memasuki SD Negeri saja, uang dalam jumlah jutaan rupiah harus sudah di tangan. Bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu calon siswa baru, tentu dana yang harus disiapkan pun menjadi berlipat ganda. Belum untuk sekolah swasta atau sekolah favorit, biaya pendidikan bisa mencapai puluhan juta rupiah. Tak mengherankan kalau setiap memasuki bulan Juni-Juli seperti sekarang ini, omzet Perum Pegadaian selalu naik, bahkan sampai 30-40%. Rupanya banyak orang tua yang menggadaik

Citra SBY di Mata Dunia

"Selain itu, strategi kebijakan khas SBY yang mengagumkan adalah taktik mundur satu langkah untuk maju sepuluh langkah." Agus Wibowo Dilansir dari Harian Jurnas, Edisi Rabu, 2 Juli 2008 Ada kabar menyejukkan bagi rakyat Indonesia pada umumnya, dan Presiden SBY khususnya, di tengah gencarnya kritik terhadap kinerjanya. Pasalnya, belum lama ini lembaga survei World Public Opinion (WPO) melansir hasil jajak pendapat yang menempatkan SBY dalam peringkat teratas sebagai pemimpin yang terpercaya atau bercitra terbaik di kawasan Asia Pasifik. Dalam survei tersebut, posisi SBY (51 persen) di atas PM Jepang Yasuo Fukuda dan PM Australia Kevin Rudd, yang masing-masing meraih 32 dan 31 persen. Sementara, peringkat di bawahnya diraih Presiden Korea Utara Kim Jong-il, PM India Manmohan Singh, dan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo, yang masing-masing memperoleh 28, 21, dan 19 persen. Pertanyaannya kemudian, mengapa justru SBY yang menerima gelar tersebut, bukan PM Yasuo Fukuda, PM