Langsung ke konten utama

Saatnya Memilih SMK

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Pikiran Rakyat, Edisi Sabtu,13 Juli 2008
Pada musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2008/2009, sekolah menegah kejuruan (SMK) dibanjiri peminat. Di Kota Bandung misalnya, berdasarkan rekapitulasi PSB online, tercatat 1.118 pendaftar, dari 360 kuota yang disediakan. Jika ditotal secara keseluruhan, pendaftar mencapai 11.066 dari 15 SMK yang ambil bagian. Jumlah itu melebihi tahun sebelumnya hanya 777 orang.
Di Yogyakarta, dari 14 SMK negeri dan swasta yang membuka PSB online, telah dipenuhi pendaftar. Misalnya di SMK Negeri 6, tercatat 548 pendaftar dari 468 kursi yang tersedia. Padahal, pada PSB tahun lalu hanya tercatat 500 pendaftar.
Melonjaknya jumlah peminat, menandakan kesadaran masyarakat untuk memilih SMK ketimbang SMA. Hal ini, lantaran peranan SMK yang signifikan dalam upaya mencetak tenaga terampil dan mengurangi masalah pelik pengangguran. SMK, tulis Joko Sutrisno (2008), mampu menyiapkan peserta didik yang kreatif, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Pendek kata, SMK tidak hanya membentuk kemampuan kognitif, lebih dari itu membentuk mentalitas peserta didik yang terintegralisasikan dengan baik kemampuan praktis, teoritis, maupun kompilasi keduanya.
Lebih mengagumkan lagi, hasil satu survei menunjukkan, di kota-kota di mana populasi SMK lebih tinggi dari SMA, daerah tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi dan produk Domestik Regional Bruto yang lebih tinggi. Wajar, jika pemerintah tahun ajaran 2008/2009, menargetkan 1,3 juta siswa lulusan SMP mendaftar SMK secara nasional, guna mencapai pertumbuhan angka partisipasi kasar (APK) SMK 62,5%, sebagaimana ditetapkan dalam Renstra Depdiknas.
Pemerintah juga akan terus memperbanyak pembangunan SMK, serta mengurangi pengembangan sekolah menengah atas (SMA), sehingga 2009 rasio perbandingan SMK dan SMA menjadi 70 berbanding 30. Tujuan memperbanyak SMK tersebut, agar lulusannya yang ingin bekerja bisa langsung masuk ke pasar kerja (Fasli Jalal, 2008).

Tak semua bermutu
Pertanyaannya kemudian, apakah semua SMK bermutu dan menghasilkan lulusan yang diterima dunia kerja? Tentu saja tidak! Di Jawa Timur, lulusan SMK baru 45% yang terserap dunia kerja, selebihnya (55%) masih menjadi pengangguran. Hal ini, lantaran belum semua SMK mampu menyiapkan lulusan yang adaptif dengan dunia kerja. Selain itu, tidak semua SMK benar-benar mampu menyediakan bengkel atau laboratorium kerja yang layak dan modern, serta membangun kerja sama yang kuat dengan dunia kerja. Akibatnya, banyak perusahaan dan industri yang mengeluhkan sulitnya mendapat teknisi tingkat menengah sesuai standar. Padahal, peluang kerja terbuka di dalam dan luar negeri yang tidak terpenuhi, karena lulusan yang ada belum mampu mencapai kompetensi yang dibutuhkan.
Dari aspek tenaga pengajar, banyak guru SMK yang ketinggalan dalam meng-update keahlian agar sesuai dengan perkembangan zaman. Akibatnya, banyak pendidikan di SMK yang dijalankan secara asal-asalan yang muaranya hanya menghasilkan lulusan tanpa kompetensi memadai.
Dari sisi efektivitas, tulis Marlock (2007), program-program yang ditawarkan SMK saat ini belum efektif dan efisien. Ini dapat dilihat dari kualitas lulusan yang belum mampu menjawab tantangan dunia industri. Dengan kata lain, belum ada kesesuaian antara SMK dan industri. Ketika lulusan SMK masuk dunia kerja, ternyata teknologi industri sudah berkembang pesat.
Jika tidak ingin ketinggalan zaman, kata Marlock, program-program yang disediakan SMK harus efektif dan efisien. Efektif artinya program-program di SMK benar-benar sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Sementara, efisien artinya program-program tersebut dilaksanakan dengan waktu, sumber daya, dan dana yang seminimal mungkin. Efektivitas SMK akan diukur seberapa jauh program di SMK relevan dengan kebutuhan dunia kerja, sehingga lulusannya memiliki kompetensi yang diperlukan oleh lapangan kerja.

Orientasi kompetensi
Tampaknya tidak ada pilihan bagi SMK, selain berbenah diri. Menurut Wardiman Djojonegoro (2007), langkah utama adalah mengubah orientasi dan paradigma pendidikan. Jika selama ini tujuan pendidikan di SMK hanya mengejar ijazah, kini harus diganti mengejar kompetensi. Konsekuensinya, sekolah harus paham standar dunia kerja dan harus membangun kerja sama yang baik dengan banyak pihak, terutama dunia industri dalam arti luas. Pendidikan yang mampu menghasilkan tenaga terampil di tingkat menengah, kata Wardiman, membutuhkan sistem pembelajaran yang tidak berjarak dengan dunia kerja dan masyarakat yang selalu berkembang dinamis. Singkatnya, SMK harus membentuk lulusan yang siap berkompetisi secara global.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan (policy maker), perlu segera membenahi sistem pendidikan SMK. Landasan filosofis harus dibuat dengan seksama. Jangan sampai filosofi pendidikan SMK, meminjam istilah Henry A. Giroux (1993), hanya memuja dunia industri. Menurut Giroux, institusi pendidikan yang menghamba pada dunia industri, gagal melihat kemungkinan bahwa proses pembelajaran menjadi salah satu pilar utama humanisasi anak didik. Pendidikan demikian, hanya melihat kapasitas intelektual anak didik sejauh memiliki kontribusi pada dunia industri dan pasar, yang bakal memberi keuntungan. Sementara, dimensi personal seperti sopan-santun, akhlak mulia, dan jiwa nasionalisme dikebiri habis-habisan. Akhirnya terjadi degradasi identitas, dari institusi yang menyelenggarakan pendidikan bangsa menjadi pabrik kuli semata.
Sebelum merancang kurikulum, perlu diproyeksikan apa yang akan terjadi dan dilakukan minimal 5-10 tahun ke depan. Selanjutnya, kurikulum disusun secara progresif dan tetap memiliki relevansi dengan kondisi global, bukan secara linier dan parsial. Tidak kalah pentingnya, instrumen ujian nasional (UN) SMK, harus dibedakan dengan SMA. Artinya, instrumen harus disusun sesuai dengan jurusan, program keahlian, kompetensi yang hendak dicapai, dan alokasi waktu yang disediakan untuk kegiatan belajar mengajar (PBM).
Karena, kualitas instrumen UN SMK yang masih sejajar dengan SMA, kejadian pahit harus dialami siswa-siswa di SMK jurusan Nautika Perikanan Laut (NPL), Kabupaten Malang. Sebenarnya, proses belajar mengajar (PBM) di SMK itu sesuai dengan jurusannya, yaitu NPL. Dimulai dari tingkat II, para siswa sudah berbulan-bulan lamanya mengikuti praktik kerja lapangan (PKL) di laut. Konsekuensinya, proses belajar mengajar dengan mata pelajaran yang di-UN-kan tidak banyak dipelajari, bahkan hampir tidak punya kesempatan dibandingkan dengan SMA biasa. Akibatnya, siswa-siswa berbakat dan sudah mengantongi beberapa sertifikasi kecakapan melaut, bahkan sudah diterima magang di Jepang terpaksa tidak lulus UN.
Pada akhirnya, SMK memang pilihan tepat di tengah tuntutan kompetensi dan life skills di segala bidang. Hanya, semua itu jangan dijadikan dasar untuk memuja kepentingan dunia industri dan pasar, sementara mengebiri esensi utama pendidikan anak bangsa. Semoga.***
Penulis, alumnus SMK, Peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...