Langsung ke konten utama

Mewaspadai Kecurangan PSB

Oleh Agus Wibowo

Dilansir dari Harian Pikiran Rakyat, Kamis, 03/07/2008
Musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2008/2009, dimulai. Seperti biasanya, orang tua dan anak dipusingkan urusan memilih sekolah yang bermutu, tetapi dengan biaya pendidikan yang "miring" alias murah. Pertanyaannya kemudian, apakah ada model sekolah seperti itu?
Tentu saja sangat jarang. Pasalnya, saat ini banyak institusi pendidikan, negeri maupun swasta, berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikannya. Sebagai gambaran, untuk memasuki SD Negeri saja, uang dalam jumlah jutaan rupiah harus sudah di tangan. Bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu calon siswa baru, tentu dana yang harus disiapkan pun menjadi berlipat ganda.
Belum untuk sekolah swasta atau sekolah favorit, biaya pendidikan bisa mencapai puluhan juta rupiah. Tak mengherankan kalau setiap memasuki bulan Juni-Juli seperti sekarang ini, omzet Perum Pegadaian selalu naik, bahkan sampai 30-40%. Rupanya banyak orang tua yang menggadaikan barang untuk menyekolahkan anak. Toko emas juga kebanjiran orang jual perhiasan.
Untuk keluarga mampu, besarnya biaya pendidikan tentu tak jadi soal. Jangankan untuk memasuki sekolah negeri yang rata-rata berbiaya lebih murah, memasuki sekolah swasta favorit yang mematok biaya tinggi sekali pun, bukan masalah. Lain halnya dengan rata-rata keadaan ekonomi keluarga di Indonesia saat ini. Naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan masyarakat, membuat angka kemiskinan terus meningkat. Di sisi lain biaya pendidikan pun semakin mahal dibanding tahun sebelumnya. Besar kemungkinan tahun ajaran baru kali ini, banyak anak miskin yang tidak bisa melanjutkan sekolah.
Diwarnai kecurangan
Belajar dari pengalaman PSB tahun 2007, banyak sekali ditemukan praktik kecurangan. Misalnya di Kalimantan Tengah (Kalteng), para orang tua diharuskan menyiapkan uang untuk membayar berbagai kewajiban dari sekolah. Apabila dalam batas waktu yang ditentukan siswa baru-yang dinyatakan lulus-tidak melakukan daftar ulang, akan dianggap mengundurkan diri dan diganti siswa lain yang sanggup membayar. Besarnya pungutan liar tersebut berkisar antara Rp 500.000,00 hingga Rp 1,5 juta. (Kalteng Pos, 16/07/07).
Di Sumatra, pungutan ilegal kepada siswa baru berkisar antara Rp 20.000,00 hingga Rp 50.000,00. Itu belum termasuk biaya registrasi, ongkos fotokopi formulir, dan sebagainya. Di Surabaya, beberapa sekolah-baik SMP maupun SMA/SMK-juga melakukan hal sama. Dengan beragam dalih dan cara, mereka memaksa siswa barunya untuk menyetorkan sejumlah uang yang sudah ditentukan nominalnya.
Calon siswa baru dengan demikian tidak punya pilihan, kecuali harus menuruti kemauan para pengelola sekolah tersebut kalau tidak ingin ada masalah di kemudian hari. Bahkan, mereka memaksa siswa membeli kelengkapan sekolah yang semestinya bisa diperoleh siswa di luar sekolah dengan harga yang masih bisa ditawar. Misalnya, seragam, topi, sabuk, kaus kaki, dasi, dan sebagainya.
Akibat banyaknya malapraktik dan kecurangan dalam PSB, banyak lulusan SMP yang tidak mampu melanjutkan ke SMA, atau lulusan SMA yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Menurut data Depdiknas (2007), jumlah lulusan SMA yang melanjutkan ke PT hanya 11%, selebihnya, 89%, memilih masuk dunia kerja.
Aji mumpung
Sejatinya, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 422.5/1919/436.5.6/2007, tentang larangan bagi sekolah terkait dengan penerimaan siswa baru (PSB). Tujuan SE ini untuk menghindari terjadinya malpraktik dan kecurangan dalam PSB. Salah satu larangan yang tertulis dalam edaran tersebut adalah sekolah tidak boleh membebani biaya apa pun pada siswa baru, kecuali sumbangan dalam bentuk donasi yang jumlahnya tidak boleh dibatasi sekolah. Bahkan di bagian yang lain, sekolah diimbau membebaskan semua biaya sekolah bagi keluarga tidak mampu.
Pertanyaannya kemudian, mengapa sekolah tetap mengenakan pungutan liar kepada calon siwa baru? Sekolah, dalam bahasa Abd. Sidiq (2007), menggunakan "aji mumpung," sehingga tidak mengindahkan aturan pemerintah tersebut. Mumpung ada siswa baru yang pasti serbatakut, dan menuruti segala persyaratan, sekolah lantas mewajibkan bermacam-macam pungutan yang mencekik leher.
Alasan klasik yang sering dipakai, sumbangan atau pungutan digunakan untuk pembiayaan dan demi kemajuan pendidikan. Menurut mereka, pendidikan bermutu mesti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal, menurut studi yang pernah dilakukan oleh Robinson (2003), diketahui bahwa hanya 35 persen hubungan antara besar kecilnya biaya pendidikan dan berbagai indikator mutu pendidikan seperti angka partisipasi, angka drop out, prestasi belajar siswa dan sampai pada outcome pendidikan.
Meski demikian, kita tidak boleh seratus persen menyalahkan sekolah atas terjadinya kecurangan dalam PSB, sebab mereka pun terjepit dilema. Apalagi sejak diberlakukan otonomi daerah dan otonomi sekolah, di mana peranan sekolah semakin besar, tetapi subsidi pendidikan dari negara kepada seluruh institusi pendidikan banyak yang dikurangi atau disunat.
Pada akhirnya, orang tua harus berhati-hati dan kritis terhadap mekanisme pelaksanaan PSB. Orang tua harus meminta keterangan dan akuntabilitas yang rinci dari sekolah, jika dikenai pungutan yang tidak sesuai dengan aturan. Jika perlu, orang tua melaporkan kepada dinas pendidikan atau pihak yang berwajib. Boleh jadi, berbagai penyimpangan yang terjadi akan luput dari pantauan karena keawaman masyarakat yang hanya bisa mengeluh tetapi tidak bisa berteriak. Marilah kita selamatkan siswa baru kita agar dapat belajar dengan tenang, dan kita siapkan mereka menjadi pewaris bangsa yang tidak gila dengan kekayaan. Semoga.[]

Penulis, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...