"Selain itu, strategi kebijakan khas SBY yang mengagumkan adalah taktik mundur satu langkah untuk maju sepuluh langkah."
Agus Wibowo
Dilansir dari Harian Jurnas, Edisi Rabu, 2 Juli 2008
Ada kabar menyejukkan bagi rakyat Indonesia pada umumnya, dan Presiden SBY khususnya, di tengah gencarnya kritik terhadap kinerjanya. Pasalnya, belum lama ini lembaga survei World Public Opinion (WPO) melansir hasil jajak pendapat yang menempatkan SBY dalam peringkat teratas sebagai pemimpin yang terpercaya atau bercitra terbaik di kawasan Asia Pasifik.
Dalam survei tersebut, posisi SBY (51 persen) di atas PM Jepang Yasuo Fukuda dan PM Australia Kevin Rudd, yang masing-masing meraih 32 dan 31 persen. Sementara, peringkat di bawahnya diraih Presiden Korea Utara Kim Jong-il, PM India Manmohan Singh, dan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo, yang masing-masing memperoleh 28, 21, dan 19 persen.
Pertanyaannya kemudian, mengapa justru SBY yang menerima gelar tersebut, bukan PM Yasuo Fukuda, PM Kevin Rudd, dan PM Manmohan Singh atau Presiden Gloria Macapagal Arroyo? Bukankah mereka merupakan pemimpin negara-negara maju yang disegani, sementara SBY sering mendapat banyak hujatan di negeri sendiri?
Hasil survei WPO jelas tidak main-main. Pasalnya, lembaga tersebut memiliki kredibilitas yang mengagumkan. Instrumen yang digunakan untuk menjaring data membahas tema-tema seputar persoalan kerakyatan atau akar rumput (grassroots), yang secara nyata dibuktikan oleh SBY. Misalnya kegigihan SBY dalam meningkatkan laju pertumbuhan (growth), penciptaan lapangan kerja baru (job), pengurangan angka kemiskinan (poverty reduction), serta peran-peran internasional (international roles) yang sering dilakukan SBY, antara lain dalam menangani masalah perubahan iklim (climate change). Poin terakhir sudah dibuktikan dengan kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah konferensi UNFCCC di Bali (3-14 Desember 2007).
Sumber penilaian tambahan yang lain seperti hasil survei, artikel-artikel tentang Presiden SBY sejak tahun 2005, pernyataan para pemimpin dunia, buku-buku tentang Presiden dan Indonesia, serta pandangan para pengamat dunia mengenai SBY. Selain itu, buku Transforming Indonesia; Indonesia on the Move serta The Spirit of Democracy, publikasi media massa Indonesia, serta surat dari warga negara Norwegia, juga menjadi referensi penilaian lainnya. Menariknya, jajak pendapat tersebut juga memotret komitmen dan keseriusan SBY melaksanakan semua program, visi, misi, dan janji-janji dalam setiap pidato kampanye 1 Juli 2004, yang 90 persen telah terpenuhi (Wim Tangkilisan, 2008)
Ada kabar menyejukkan bagi rakyat Indonesia pada umumnya, dan Presiden SBY khususnya, di tengah gencarnya kritik terhadap kinerjanya. Pasalnya, belum lama ini lembaga survei World Public Opinion (WPO) melansir hasil jajak pendapat yang menempatkan SBY dalam peringkat teratas sebagai pemimpin yang terpercaya atau bercitra terbaik di kawasan Asia Pasifik.
Dalam survei tersebut, posisi SBY (51 persen) di atas PM Jepang Yasuo Fukuda dan PM Australia Kevin Rudd, yang masing-masing meraih 32 dan 31 persen. Sementara, peringkat di bawahnya diraih Presiden Korea Utara Kim Jong-il, PM India Manmohan Singh, dan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo, yang masing-masing memperoleh 28, 21, dan 19 persen.
Pertanyaannya kemudian, mengapa justru SBY yang menerima gelar tersebut, bukan PM Yasuo Fukuda, PM Kevin Rudd, dan PM Manmohan Singh atau Presiden Gloria Macapagal Arroyo? Bukankah mereka merupakan pemimpin negara-negara maju yang disegani, sementara SBY sering mendapat banyak hujatan di negeri sendiri?
Hasil survei WPO jelas tidak main-main. Pasalnya, lembaga tersebut memiliki kredibilitas yang mengagumkan. Instrumen yang digunakan untuk menjaring data membahas tema-tema seputar persoalan kerakyatan atau akar rumput (grassroots), yang secara nyata dibuktikan oleh SBY. Misalnya kegigihan SBY dalam meningkatkan laju pertumbuhan (growth), penciptaan lapangan kerja baru (job), pengurangan angka kemiskinan (poverty reduction), serta peran-peran internasional (international roles) yang sering dilakukan SBY, antara lain dalam menangani masalah perubahan iklim (climate change). Poin terakhir sudah dibuktikan dengan kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah konferensi UNFCCC di Bali (3-14 Desember 2007).
Sumber penilaian tambahan yang lain seperti hasil survei, artikel-artikel tentang Presiden SBY sejak tahun 2005, pernyataan para pemimpin dunia, buku-buku tentang Presiden dan Indonesia, serta pandangan para pengamat dunia mengenai SBY. Selain itu, buku Transforming Indonesia; Indonesia on the Move serta The Spirit of Democracy, publikasi media massa Indonesia, serta surat dari warga negara Norwegia, juga menjadi referensi penilaian lainnya. Menariknya, jajak pendapat tersebut juga memotret komitmen dan keseriusan SBY melaksanakan semua program, visi, misi, dan janji-janji dalam setiap pidato kampanye 1 Juli 2004, yang 90 persen telah terpenuhi (Wim Tangkilisan, 2008)
Kembali Mencalonkan?
Beberapa poin yang menarik dari SBY, tulis Bagus Takwin (246:2007) adalah mampu menciptakan iklim demokrasi yang kondusif, sifat yang moderat, terbuka dan mau menerima kritik yang disertai argumentasi logis, serta kehati-hatiannya dalam melangkah dan mengambil berbagai kebijakan.
Sikap kehati-hatian dan tidak gegabah dalam melangkah ini, tidak lepas dari didikan filosofi alam kejawen yang dianut SBY selama ini. Menurut filosofi Jawa, segala sesuatu, tindakan, dan perbuatan, harus ditimbang-timbang, dihitung baik-buruknya, serta memerhatikan keselarasan kosmis. Pendek kata, benar sebuah tindakan itu harus dilakukan, akan tetapi tidak tergesa-gesa, menunggu momen atau saat yang tepat atau "ngono yo ngono, neng mbok yo ojo ngono."
Selain itu, strategi kebijakan khas SBY yang mengagumkan adalah taktik mundur satu langkah untuk maju sepuluh langkah. Beberapa kebijakan yang telah dilakukannya, lebih sering mencerminkan strategi tersebut. Sifat-sifat dan ciri khas SBY inilah yang sering dimaknai lawan-lawan politiknya, sebagai sebuah prilaku plin-plan, lamban mengambil keputusan, terkesan ragu-ragu karena menunggu banyak masukan dari pihak lain sebelum mengambil keputusan, kurang tegas dan kurang memiliki kontrol terhadap orang. Pemahaman demikian sangat wajar karena setiap orang tidak mungkin terlahir secara sempurna. Apalagi, di alam yang serba karut-marut, serba ingin cepat, dan ingin meraup keuntungan pribadi atau kelompok.
Model kepemimpinan karismatik SBY, masih tetap menemukan konteks dengan kondisi sosio-kultural bangsa ini. Pergeseran model kehidupan dari era-agraris menuju era-industrial, masih menyisakan kerinduan pada sosok yang digdaya, linuwih, dan pilih tanding. Hal sama pernah dikemukakan Philip Sadler (1997) dalam bukunya Leadership. Sadler sebagaimana Max Webber, mensinyalir konsep kepemimpinan modern (profesional dan transformasional) tidak akan cocok pada kondisi peralihan-dari agraris ke industrialis-tersebut, tetapi justru model kepemimpinan karismatik. Lebih lanjut, Sadler sampai pada satu kesimpulan bahwa corak kepemimpinan karismatik meski dihujat di kalangan akademis-karena bertumpu pada otoritas individu-tetap tumbuh subur dan menjadi pilihan di bawah kesadaran naif rakyat.
Jika mengacu pendapat Sadler tersebut, tidak aneh jika sampai saat ini SBY masih tetap menyedot kegandrungan dan loyalitas rakyat atasnya. Hal ini dapat dilihat dalam hasil penelitian yang dilakukan Toto Suryaningtyas (2007) di mana nama SBY masih merupakan preferensi utama rakyat kita terhadap sosok kepemimpinan nasional.
Jika mengacu teori Sadler dan kondisi sosio-kultural rakyat saat ini, tidak ada salahnya jika SBY kembali mencalonkan diri sebagai calon presiden pada Pemilu 2009 mendatang. Belajar dari kemenangan beberapa calon kepala daerah populer, besar kemungkinan SBY terpilih kembali. Pasalnya, dalam pilkada dan pilpres yang dilihat adalah figur atau person to person, bukan seberapa kuat aliansi partai politik pendukung.
Pada akhirnya, nama harum dan predikat SBY sebagai pemimpin terpercaya Asia Pasifik, harus dipertahankan dan dijaga sebaik-baiknya. Predikat ini juga bisa digunakan sebagai legitimasi bangsa Indonesia, menjalin kerja sama atau mengundang pemilik modal di kawasan Asia Pasifik.
Penulis, Peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Beberapa poin yang menarik dari SBY, tulis Bagus Takwin (246:2007) adalah mampu menciptakan iklim demokrasi yang kondusif, sifat yang moderat, terbuka dan mau menerima kritik yang disertai argumentasi logis, serta kehati-hatiannya dalam melangkah dan mengambil berbagai kebijakan.
Sikap kehati-hatian dan tidak gegabah dalam melangkah ini, tidak lepas dari didikan filosofi alam kejawen yang dianut SBY selama ini. Menurut filosofi Jawa, segala sesuatu, tindakan, dan perbuatan, harus ditimbang-timbang, dihitung baik-buruknya, serta memerhatikan keselarasan kosmis. Pendek kata, benar sebuah tindakan itu harus dilakukan, akan tetapi tidak tergesa-gesa, menunggu momen atau saat yang tepat atau "ngono yo ngono, neng mbok yo ojo ngono."
Selain itu, strategi kebijakan khas SBY yang mengagumkan adalah taktik mundur satu langkah untuk maju sepuluh langkah. Beberapa kebijakan yang telah dilakukannya, lebih sering mencerminkan strategi tersebut. Sifat-sifat dan ciri khas SBY inilah yang sering dimaknai lawan-lawan politiknya, sebagai sebuah prilaku plin-plan, lamban mengambil keputusan, terkesan ragu-ragu karena menunggu banyak masukan dari pihak lain sebelum mengambil keputusan, kurang tegas dan kurang memiliki kontrol terhadap orang. Pemahaman demikian sangat wajar karena setiap orang tidak mungkin terlahir secara sempurna. Apalagi, di alam yang serba karut-marut, serba ingin cepat, dan ingin meraup keuntungan pribadi atau kelompok.
Model kepemimpinan karismatik SBY, masih tetap menemukan konteks dengan kondisi sosio-kultural bangsa ini. Pergeseran model kehidupan dari era-agraris menuju era-industrial, masih menyisakan kerinduan pada sosok yang digdaya, linuwih, dan pilih tanding. Hal sama pernah dikemukakan Philip Sadler (1997) dalam bukunya Leadership. Sadler sebagaimana Max Webber, mensinyalir konsep kepemimpinan modern (profesional dan transformasional) tidak akan cocok pada kondisi peralihan-dari agraris ke industrialis-tersebut, tetapi justru model kepemimpinan karismatik. Lebih lanjut, Sadler sampai pada satu kesimpulan bahwa corak kepemimpinan karismatik meski dihujat di kalangan akademis-karena bertumpu pada otoritas individu-tetap tumbuh subur dan menjadi pilihan di bawah kesadaran naif rakyat.
Jika mengacu pendapat Sadler tersebut, tidak aneh jika sampai saat ini SBY masih tetap menyedot kegandrungan dan loyalitas rakyat atasnya. Hal ini dapat dilihat dalam hasil penelitian yang dilakukan Toto Suryaningtyas (2007) di mana nama SBY masih merupakan preferensi utama rakyat kita terhadap sosok kepemimpinan nasional.
Jika mengacu teori Sadler dan kondisi sosio-kultural rakyat saat ini, tidak ada salahnya jika SBY kembali mencalonkan diri sebagai calon presiden pada Pemilu 2009 mendatang. Belajar dari kemenangan beberapa calon kepala daerah populer, besar kemungkinan SBY terpilih kembali. Pasalnya, dalam pilkada dan pilpres yang dilihat adalah figur atau person to person, bukan seberapa kuat aliansi partai politik pendukung.
Pada akhirnya, nama harum dan predikat SBY sebagai pemimpin terpercaya Asia Pasifik, harus dipertahankan dan dijaga sebaik-baiknya. Predikat ini juga bisa digunakan sebagai legitimasi bangsa Indonesia, menjalin kerja sama atau mengundang pemilik modal di kawasan Asia Pasifik.
Penulis, Peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar