Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Suara Karya, Edisi Kamis, 10 Juli 2008
Musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2008/2009 dimulai. Hati orangtua mana yang tidak senang menyaksikan putra-putrinya menyandang tas dan mengenakan seragam sekolah. Sudah terbayang di benak orangtua masa depan yang cerah bagi putra-putrinya.
Sayangnya, impian itu sering pupus. Pasalnya, saat ini sangat sulit memilih sekolah yang bermutu, tetapi dengan biaya pendidikan yang "miring" alias murah. Sekolah justru menjadi ajang bisnis atau lahan pencarian laba. Sebagai gambaran, untuk memasuki SD negeri saja, uang dalam jumlah jutaan rupiah harus sudah di tangan.
Untuk sekolah swasta atau sekolah favorit, biaya pendidikan bisa mencapai puluhan juta rupiah. Konon, biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN) kini mencapai Rp 100 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya operasional pendidikan (BOP), dan biaya-biaya lainnya.
Selain tingginya biaya pendidikan, orangtua masih juga dipusingkan banyaknya pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh "oknum" sekolah.
Misalnya, pada PSB beberapa sekolah di Jakarta. Dengan berkedok sumbangan sukarela uang pangkal masuk SDN, para orangtua dimintai uang berkisar antara Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta per siswa dan iuran bulanan antara Rp 75.000 dan Rp 300.000 per siswa. Bahkan, di beberapa SDN favorit orangtua siswa diharuskan mengisi formulir sumbangan minimal Rp 3,5 juta.
Pungutan serupa juga terjadi di beberapa daerah. Misalnya di Kalimantan Tengah (Kalteng), para orangtua diharuskan menyiapkan uang untuk membayar berbagai kewajiban dari sekolah. Besarnya pungli berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta. Apabila dalam batas waktu yang ditentukan siswa baru (yang dinyatakan lulus) tidak melakukan daftar ulang, maka akan dianggap mengundurkan diri, dan diganti siswa lain yang sanggup membayar.
Di Sumatera, setiap siswa baru dikenakan pungli berkisar antara Rp 20.000 hingga 50.000. Itu belum termasuk biaya registrasi, ongkos fotokopi formulir, dan sebagainya. Di Surabaya, beberapa sekolah, baik SMP maupun SMA/SMK, juga melakukan hal sama.
Dengan demikian, calon siswa baru tidak punya pilihan lain kecuali harus menuruti kemauan para pengelola sekolah. Kalau tidak, pasti akan ada masalah di kemudian hari. Bahkan, mereka memaksa siswa membeli kelengkapan sekolah yang semestinya bisa diperoleh siswa di luar sekolah dengan harga yang masih bisa ditawar. Misalnya, seragam, topi, sabuk, kaus kaki, dasi, dan sebagainya.
Jika orangtua dipusingkan masalah biaya pendidikan, bagi anak lebih berat lagi. Selain ikut memikirkan biaya, anak juga harus merasakan beban psikologis berupa benturan keinginan, ego dan arogansi orangtua. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk menentukan masa depannya sendiri. Dalam memilih sekolah, misalnya, ada anak yang sebenarnya berbakat di bidang IPS, tetapi lantaran orangtuanya berkeinginan menjadi dokter, sang anak dipaksa masuk di jurusan IPA, dan sebaliknya.
Menurut Elkind (1989), secara psikologis para orangtua memang selalu berharap agar anaknya menjadi be special atau orang Jawa menyebutnya linuwih, ketimbang orang kebanyakan (be average). Harapan ini sejatinya tidak salah. Hanya saja, mereka harus menyadari bahwa anak dilahirkan dengan sifat dan ciri khas tersendiri. Pendek kata, setiap anak terlahir dengan keunikan, kelemahan dan kelebihan yang membedakan satu dengan yang lainnya.
Sayangnya, orangtua sedikit yang memahami kejiwaan dan dunia anak. Mereka lebih sering menjadi pemasung potensi dan harapan anak. Tanpa orangtua sadari, bentuk penindasan ini akan berdampak psikologis pada anak, berupa trauma yang akan terus menghantui hingga mereka dewasa kelak.
Begitu masuk bangku sekolah, beban psikologis anak justru semakin bertambah. Mereka harus mengalami beragam tindakan kekerasan, baik dari rekan maupun guru. Seperti kekerasan fisik berupa pemukulan, kekerasan emosi berupa pengabaian, kekerasan verbal berupa kata-kata yang menyakitkan, kekerasaan seksual mulai dari yang halus sampai dengan yang kasar, dan tindakan-tindakan sengaja menelantarkan lainnya.
Karena dipaksa menuruti ego orangtua, dan setelah masuk sekolah masih mengalami berbagai bentuk kekerasan, anak akan menderita trauma psikologis yang disebut Didik Darsono (2007) sebagai "fobia sekolah". Kata "fobia" menurut Baker Encyclopedia of Psychology and Counseling adalah gangguan ketakutan yang tidak rasional atau irrational fear dari objek-objek atau situasi-situasi yang tidak berbahaya. Secara singkat, Ivan Ward (1989), mendefinisikan fobia sebagai ketakutan yang tidak masuk akal, sebagai tanggapan terhadap pengalaman yang sifatnya traumatis.
Fobia sekolah adalah bentuk ketakutan yang tidak masuk akal terhadap sekolah. Gejala fobia sekolah biasanya muncul ketika akan berangkat sekolah, dan segera hilang setelah pulang dari sekolah atau hari libur. Selain itu, fobia sekolah juga ditandai dengan perilaku menolak masuk sekolah, sakit perut, sakit kepala, dan berbagai gangguan fisik lainnya. Memang, secara medis fobia sekolah ini tidak begitu kentara, tetapi bagi anak penderitanya sangat jelas terasa.
Sudah saatnya segenap pihak mengubah orientasi, demi masa depan putra-putri kita. Para orangtua perlu memahami psikologi anak seperti potensi, bakat, kelebihan, kekurangan, dan sebagainya. orangtua harus menjadi tipe ideal, atau dalam bahasa Elkind milk and cookies parents, yaitu orangtua yang mengiringi tumbuh kembang anak-anak dengan penuh dukungan, dan menyayanginya secara tulus.
Sekolah harus mengembalikan fungsinya sebagai wahana mengembangan potensi, dan mencetak anak bangsa yang unggul, bukan menjadi "lintah" penghisap rakyat miskin. Para pengelola sekolah harus sadar bahwa mereka sudah diberi fasilitas, gaji, tunjangan dan sebagainya untuk melayani masyarakat, bukan membebaninya dengan pungutan-pungutan liar. Selain itu, sekolah dan seluruh fasilitasnya disediakan negara untuk rakyat, bukan sarana memperkaya diri sendiri.
Sekolah yang baik, mestinya menjadi wahana bagi anak didik untuk mengenali jati diri, mengembangkan potensi, membina moralitas, kesantunan dan membangun kesadaran kebangsaan. Lebih jauh, meminjam istilah Paulo Fraire (1991), sekolah atau korpus pendidikan pada umumnya, harus menjadi media pembebasan rakyat dari segenap penindasan. Bukan malah menjadi diktator-diktator baru yang merampas keindahan masa remaja, anak didik, atau menjadi "lintah" yang menghisap rakyat miskin dengan berbagai pungutan liar.[] Penulis adalah Peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2008/2009 dimulai. Hati orangtua mana yang tidak senang menyaksikan putra-putrinya menyandang tas dan mengenakan seragam sekolah. Sudah terbayang di benak orangtua masa depan yang cerah bagi putra-putrinya.
Sayangnya, impian itu sering pupus. Pasalnya, saat ini sangat sulit memilih sekolah yang bermutu, tetapi dengan biaya pendidikan yang "miring" alias murah. Sekolah justru menjadi ajang bisnis atau lahan pencarian laba. Sebagai gambaran, untuk memasuki SD negeri saja, uang dalam jumlah jutaan rupiah harus sudah di tangan.
Untuk sekolah swasta atau sekolah favorit, biaya pendidikan bisa mencapai puluhan juta rupiah. Konon, biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN) kini mencapai Rp 100 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya operasional pendidikan (BOP), dan biaya-biaya lainnya.
Selain tingginya biaya pendidikan, orangtua masih juga dipusingkan banyaknya pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh "oknum" sekolah.
Misalnya, pada PSB beberapa sekolah di Jakarta. Dengan berkedok sumbangan sukarela uang pangkal masuk SDN, para orangtua dimintai uang berkisar antara Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta per siswa dan iuran bulanan antara Rp 75.000 dan Rp 300.000 per siswa. Bahkan, di beberapa SDN favorit orangtua siswa diharuskan mengisi formulir sumbangan minimal Rp 3,5 juta.
Pungutan serupa juga terjadi di beberapa daerah. Misalnya di Kalimantan Tengah (Kalteng), para orangtua diharuskan menyiapkan uang untuk membayar berbagai kewajiban dari sekolah. Besarnya pungli berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta. Apabila dalam batas waktu yang ditentukan siswa baru (yang dinyatakan lulus) tidak melakukan daftar ulang, maka akan dianggap mengundurkan diri, dan diganti siswa lain yang sanggup membayar.
Di Sumatera, setiap siswa baru dikenakan pungli berkisar antara Rp 20.000 hingga 50.000. Itu belum termasuk biaya registrasi, ongkos fotokopi formulir, dan sebagainya. Di Surabaya, beberapa sekolah, baik SMP maupun SMA/SMK, juga melakukan hal sama.
Dengan demikian, calon siswa baru tidak punya pilihan lain kecuali harus menuruti kemauan para pengelola sekolah. Kalau tidak, pasti akan ada masalah di kemudian hari. Bahkan, mereka memaksa siswa membeli kelengkapan sekolah yang semestinya bisa diperoleh siswa di luar sekolah dengan harga yang masih bisa ditawar. Misalnya, seragam, topi, sabuk, kaus kaki, dasi, dan sebagainya.
Jika orangtua dipusingkan masalah biaya pendidikan, bagi anak lebih berat lagi. Selain ikut memikirkan biaya, anak juga harus merasakan beban psikologis berupa benturan keinginan, ego dan arogansi orangtua. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk menentukan masa depannya sendiri. Dalam memilih sekolah, misalnya, ada anak yang sebenarnya berbakat di bidang IPS, tetapi lantaran orangtuanya berkeinginan menjadi dokter, sang anak dipaksa masuk di jurusan IPA, dan sebaliknya.
Menurut Elkind (1989), secara psikologis para orangtua memang selalu berharap agar anaknya menjadi be special atau orang Jawa menyebutnya linuwih, ketimbang orang kebanyakan (be average). Harapan ini sejatinya tidak salah. Hanya saja, mereka harus menyadari bahwa anak dilahirkan dengan sifat dan ciri khas tersendiri. Pendek kata, setiap anak terlahir dengan keunikan, kelemahan dan kelebihan yang membedakan satu dengan yang lainnya.
Sayangnya, orangtua sedikit yang memahami kejiwaan dan dunia anak. Mereka lebih sering menjadi pemasung potensi dan harapan anak. Tanpa orangtua sadari, bentuk penindasan ini akan berdampak psikologis pada anak, berupa trauma yang akan terus menghantui hingga mereka dewasa kelak.
Begitu masuk bangku sekolah, beban psikologis anak justru semakin bertambah. Mereka harus mengalami beragam tindakan kekerasan, baik dari rekan maupun guru. Seperti kekerasan fisik berupa pemukulan, kekerasan emosi berupa pengabaian, kekerasan verbal berupa kata-kata yang menyakitkan, kekerasaan seksual mulai dari yang halus sampai dengan yang kasar, dan tindakan-tindakan sengaja menelantarkan lainnya.
Karena dipaksa menuruti ego orangtua, dan setelah masuk sekolah masih mengalami berbagai bentuk kekerasan, anak akan menderita trauma psikologis yang disebut Didik Darsono (2007) sebagai "fobia sekolah". Kata "fobia" menurut Baker Encyclopedia of Psychology and Counseling adalah gangguan ketakutan yang tidak rasional atau irrational fear dari objek-objek atau situasi-situasi yang tidak berbahaya. Secara singkat, Ivan Ward (1989), mendefinisikan fobia sebagai ketakutan yang tidak masuk akal, sebagai tanggapan terhadap pengalaman yang sifatnya traumatis.
Fobia sekolah adalah bentuk ketakutan yang tidak masuk akal terhadap sekolah. Gejala fobia sekolah biasanya muncul ketika akan berangkat sekolah, dan segera hilang setelah pulang dari sekolah atau hari libur. Selain itu, fobia sekolah juga ditandai dengan perilaku menolak masuk sekolah, sakit perut, sakit kepala, dan berbagai gangguan fisik lainnya. Memang, secara medis fobia sekolah ini tidak begitu kentara, tetapi bagi anak penderitanya sangat jelas terasa.
Sudah saatnya segenap pihak mengubah orientasi, demi masa depan putra-putri kita. Para orangtua perlu memahami psikologi anak seperti potensi, bakat, kelebihan, kekurangan, dan sebagainya. orangtua harus menjadi tipe ideal, atau dalam bahasa Elkind milk and cookies parents, yaitu orangtua yang mengiringi tumbuh kembang anak-anak dengan penuh dukungan, dan menyayanginya secara tulus.
Sekolah harus mengembalikan fungsinya sebagai wahana mengembangan potensi, dan mencetak anak bangsa yang unggul, bukan menjadi "lintah" penghisap rakyat miskin. Para pengelola sekolah harus sadar bahwa mereka sudah diberi fasilitas, gaji, tunjangan dan sebagainya untuk melayani masyarakat, bukan membebaninya dengan pungutan-pungutan liar. Selain itu, sekolah dan seluruh fasilitasnya disediakan negara untuk rakyat, bukan sarana memperkaya diri sendiri.
Sekolah yang baik, mestinya menjadi wahana bagi anak didik untuk mengenali jati diri, mengembangkan potensi, membina moralitas, kesantunan dan membangun kesadaran kebangsaan. Lebih jauh, meminjam istilah Paulo Fraire (1991), sekolah atau korpus pendidikan pada umumnya, harus menjadi media pembebasan rakyat dari segenap penindasan. Bukan malah menjadi diktator-diktator baru yang merampas keindahan masa remaja, anak didik, atau menjadi "lintah" yang menghisap rakyat miskin dengan berbagai pungutan liar.[] Penulis adalah Peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar