Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Jogja
Edisi Senin, 22 Desember 2008
Dimuat Harian Jogja
Edisi Senin, 22 Desember 2008
Kaum ibu adalah manusia luhur dan mulia. Mereka adalah pahlawan, yang jasanya teramat besar. Sikapnya yang tegar, welas asih, penyabar dan penuh kasih sayang, mampu melahirkan para kesatria, srikandi, atau generasi pilihan yang kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos kerja andal, dan berwawasan luas.
Kaum ibu juga memiliki andil cukup besar dalam pembentukan kepribadian anak. Merekalah orang pertama yang mula-mula memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan, pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada sang anak.
Begitu agung dan mulianya sosok ibu, sampai-sampai dalam sejumlah literatur dan karya sastra klasik, mereka digambarkan punya 'tuah' atau kekuatan gaib yang bisa menghukum anak durhaka. Misalnya dalam legenda Maling Kundang, Sangkuriang, Danau Toba dan sebagainya.
Tugas Berat
Menurut Undang-undang No. 10 tahun 1992, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (PKPKS), disebutkan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dengan anaknya atau ibu dengan anaknya atau ayah dengan anaknya.
Itu artinya tugas seorang ibu dalam lingkup domestik atau dalam lingkup keluarga memiliki makna yang tinggi, karena merupakan sebuah pengabdian. Dengan kata lain, ibu merupakan inti atau 'ruh' keluarga yang akan menjadi penentu mati hidupnya batih (keluarga), dan bersama suami menjadi pembantu nahkoda mengarahkan biduk keluarga.
Seiring dengan kehadiran era globalisasi yang ditandai dengan perdagangan bebas, hadirnya teknologi komunikasi yang mahadahsyat, dan keterbukaan gelombang informasi, peran ibu dalam mendidik anak justru semakin berat.
Selain telah terjadi degradasi pandangan anak terhadap orangtua, hubungan anak dengan orangtua melulu sebagai hubungan darah 'kekerabatan' yang kehilangan basis moral dan spiritualnya. Mereka telah memiliki 'referensi' tersendiri yang cocok dengan gejolak naluri purbanya. Maka wajar jika mereka menjadi sulit menerima petuah dan nasihat luhur orangtua.
Lebih parah lagi, anak-anak menjelma menjadi 'anak teknologi'. Memang, mereka sangat canggih mentransfer berbagai bentuk kemasan informasi dan hiburan. Akan tetapi, mereka menjadi menjadi rentan terhadap imaji kekerasan, kemanjaan, kemunafikan, dan hipokrit.
Sikap-sikap luhur seperti sabar, tawakal, tabah, telaten, dan tahan uji –yang merupakan moralitas agung—telah bergeser menjadi sikap hidup instan, atau kehilangan naluri 'proses' dalam mendapatkan sesuatu. Singkatnya, anak menjadi kehilangan kepekaan terhadap makna kearifan hidup.
Kondisi seperti itu tentunya membutuhkan sosok ibu yang mumpuni. Selain mampu berperan layaknya pelita dalam kegelapan, atau pencerah bagi keluarga, kaum ibu dituntut mampu menciptakan kenyamanan dan keharmonisan dalam keluarga.
Bahkan, mereka juga diharapkan menjadi sigaraning nyowo dari suaminya; yang selalu menjadi mitra diskusi, tempat menumpahkan keluh-kesah dan kegundahan, sekaligus menjadi wasit apabila sang suami keluar dari rambu-rambu norma dan pranata agama. Oleh karena itu sikap dan prilaku yang lembut, maskulin, sabar dan jernih, harus tetap dikedepankan.
Iklim globalisasi yang kondusif, membuka peluang lebar bagi kaum ibu untuk mengembangkan potensi, aktualisasi diri, dan kesempatan berprestasi. Peluang dan kesempatan inilah, yang sering dijadikan alasan kaum ibu untuk meninggalkan tugas dan peran domestiknya. Akibatnya, masa depan anak dan keharmonisan dalam rumah tangga menjadi terbengkalai.
Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi kaum ibu. Mereka dituntut untuk lebih arif dan bijaksana menyikapi globalisasi. Benar mereka diperpolehkan mencari peran (pekerjaan tambahan), tetapi peran domestik tidak boleh dikesampingkan.
Singkatnya, antara tugas domestik yang utama dan tugas tambahan proporsinya harus seimbang. Menurut Huda Khaltab (1995), setidaknya ada tujuh bidang profesi yang bisa dipilih kaum ibu agar peran domestiknya tidak dikorbankan, yaitu bidang medis (dokter, perawat kesehatan, dan staf rumah sakit), bidang penyuluhan (pekerja sosial dan penasihat), bidang pengajaran (guru/tenaga administrasi), perancang dan penjahit, seni dan keterampilan, kesekretarisan, serta bidang media dan penerbitan.
Dengan memilih peran tambahan itu, kaum ibu akan menjadi sosok androgini. Artinya, selain bisa tampil maskulin di ranah publik dengan capaian prestasi yang seimbang dengan kaum pria, juga tidak menanggalkan sifat femininnya di ranah domestik yang tetap menjaga kelembutan, sikap keibuan, dan ketulusan kasih sayang terhadap suami dan anak-anak.
Kebijaksanaan itu dalam sejarah Islam, sudah dicontohkan oleh istri-istri Nabi Muhammad Saw. Selain terkenal dengan keterampilannya di berbagai bidang, mereka tetap mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Aisyah misalnya, selain dikenal sebagai ulama dan perawi hadis yang disegani, juga tetap mampu mewujudkan keluarga sakinah. Singkatnya, Aisyah tidak mengorbankan peran domestiknya untuk meraih peran yang lain.
Balas Jasa
Peringatan hari ibu kali ini, seyogyanya dijadikan momen untuk mengubah nasib kaum ibu. Lebih dari itu, segenap pihak harus bahu-membahu. Kaum pria mestinya tidak bersikap 'arogan', mempersempit ruang gerak kaum ibu di sektor publik, serta mau memberikan legitimasi terhadap kemampuan dan 'kekuatan' internal kaum ibu. Mitos konco wingking yang memosisikan kaum wanita (ibu) sebagai makhluk kelas dua harus dibebaskan.
Perlu keberanian kaum pria untuk mengakui posisi dan martabat kaum wanita sebagai mitra yang benar-benar sejajar dengan dirinya. Sudah bukan saatnya lagi pembagian peran semata-mata didasarkan pada bias gender dan jenis kelamin minded, melainkan pada tingkat kapabilitas dan kredibilitasnya dalam mengakses peran. Kesadaran semacam itu, melahirkan sikap untuk memahami ibu, melindungi, dan menempatkannya secara layak.
Bagi anak, membalas jasa ibu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, selagi kecil selalu mematuhi atau menuruti nasehatnya, ketika ibu sudah menjadi tua renta, merawatnya dengan kasih sayang bukannya menitipkan ke panti jompo atau lembaga sosial lainnya. Tidak kalah pentingnya, anak harus menjaga silaturrahmi atau hubungan baik, entah dengan saudara sekandung maupun saudara ibu lainnya. Selamat hari ibu.[] Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Kaum ibu juga memiliki andil cukup besar dalam pembentukan kepribadian anak. Merekalah orang pertama yang mula-mula memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan, pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada sang anak.
Begitu agung dan mulianya sosok ibu, sampai-sampai dalam sejumlah literatur dan karya sastra klasik, mereka digambarkan punya 'tuah' atau kekuatan gaib yang bisa menghukum anak durhaka. Misalnya dalam legenda Maling Kundang, Sangkuriang, Danau Toba dan sebagainya.
Tugas Berat
Menurut Undang-undang No. 10 tahun 1992, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (PKPKS), disebutkan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dengan anaknya atau ibu dengan anaknya atau ayah dengan anaknya.
Itu artinya tugas seorang ibu dalam lingkup domestik atau dalam lingkup keluarga memiliki makna yang tinggi, karena merupakan sebuah pengabdian. Dengan kata lain, ibu merupakan inti atau 'ruh' keluarga yang akan menjadi penentu mati hidupnya batih (keluarga), dan bersama suami menjadi pembantu nahkoda mengarahkan biduk keluarga.
Seiring dengan kehadiran era globalisasi yang ditandai dengan perdagangan bebas, hadirnya teknologi komunikasi yang mahadahsyat, dan keterbukaan gelombang informasi, peran ibu dalam mendidik anak justru semakin berat.
Selain telah terjadi degradasi pandangan anak terhadap orangtua, hubungan anak dengan orangtua melulu sebagai hubungan darah 'kekerabatan' yang kehilangan basis moral dan spiritualnya. Mereka telah memiliki 'referensi' tersendiri yang cocok dengan gejolak naluri purbanya. Maka wajar jika mereka menjadi sulit menerima petuah dan nasihat luhur orangtua.
Lebih parah lagi, anak-anak menjelma menjadi 'anak teknologi'. Memang, mereka sangat canggih mentransfer berbagai bentuk kemasan informasi dan hiburan. Akan tetapi, mereka menjadi menjadi rentan terhadap imaji kekerasan, kemanjaan, kemunafikan, dan hipokrit.
Sikap-sikap luhur seperti sabar, tawakal, tabah, telaten, dan tahan uji –yang merupakan moralitas agung—telah bergeser menjadi sikap hidup instan, atau kehilangan naluri 'proses' dalam mendapatkan sesuatu. Singkatnya, anak menjadi kehilangan kepekaan terhadap makna kearifan hidup.
Kondisi seperti itu tentunya membutuhkan sosok ibu yang mumpuni. Selain mampu berperan layaknya pelita dalam kegelapan, atau pencerah bagi keluarga, kaum ibu dituntut mampu menciptakan kenyamanan dan keharmonisan dalam keluarga.
Bahkan, mereka juga diharapkan menjadi sigaraning nyowo dari suaminya; yang selalu menjadi mitra diskusi, tempat menumpahkan keluh-kesah dan kegundahan, sekaligus menjadi wasit apabila sang suami keluar dari rambu-rambu norma dan pranata agama. Oleh karena itu sikap dan prilaku yang lembut, maskulin, sabar dan jernih, harus tetap dikedepankan.
Iklim globalisasi yang kondusif, membuka peluang lebar bagi kaum ibu untuk mengembangkan potensi, aktualisasi diri, dan kesempatan berprestasi. Peluang dan kesempatan inilah, yang sering dijadikan alasan kaum ibu untuk meninggalkan tugas dan peran domestiknya. Akibatnya, masa depan anak dan keharmonisan dalam rumah tangga menjadi terbengkalai.
Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi kaum ibu. Mereka dituntut untuk lebih arif dan bijaksana menyikapi globalisasi. Benar mereka diperpolehkan mencari peran (pekerjaan tambahan), tetapi peran domestik tidak boleh dikesampingkan.
Singkatnya, antara tugas domestik yang utama dan tugas tambahan proporsinya harus seimbang. Menurut Huda Khaltab (1995), setidaknya ada tujuh bidang profesi yang bisa dipilih kaum ibu agar peran domestiknya tidak dikorbankan, yaitu bidang medis (dokter, perawat kesehatan, dan staf rumah sakit), bidang penyuluhan (pekerja sosial dan penasihat), bidang pengajaran (guru/tenaga administrasi), perancang dan penjahit, seni dan keterampilan, kesekretarisan, serta bidang media dan penerbitan.
Dengan memilih peran tambahan itu, kaum ibu akan menjadi sosok androgini. Artinya, selain bisa tampil maskulin di ranah publik dengan capaian prestasi yang seimbang dengan kaum pria, juga tidak menanggalkan sifat femininnya di ranah domestik yang tetap menjaga kelembutan, sikap keibuan, dan ketulusan kasih sayang terhadap suami dan anak-anak.
Kebijaksanaan itu dalam sejarah Islam, sudah dicontohkan oleh istri-istri Nabi Muhammad Saw. Selain terkenal dengan keterampilannya di berbagai bidang, mereka tetap mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Aisyah misalnya, selain dikenal sebagai ulama dan perawi hadis yang disegani, juga tetap mampu mewujudkan keluarga sakinah. Singkatnya, Aisyah tidak mengorbankan peran domestiknya untuk meraih peran yang lain.
Balas Jasa
Peringatan hari ibu kali ini, seyogyanya dijadikan momen untuk mengubah nasib kaum ibu. Lebih dari itu, segenap pihak harus bahu-membahu. Kaum pria mestinya tidak bersikap 'arogan', mempersempit ruang gerak kaum ibu di sektor publik, serta mau memberikan legitimasi terhadap kemampuan dan 'kekuatan' internal kaum ibu. Mitos konco wingking yang memosisikan kaum wanita (ibu) sebagai makhluk kelas dua harus dibebaskan.
Perlu keberanian kaum pria untuk mengakui posisi dan martabat kaum wanita sebagai mitra yang benar-benar sejajar dengan dirinya. Sudah bukan saatnya lagi pembagian peran semata-mata didasarkan pada bias gender dan jenis kelamin minded, melainkan pada tingkat kapabilitas dan kredibilitasnya dalam mengakses peran. Kesadaran semacam itu, melahirkan sikap untuk memahami ibu, melindungi, dan menempatkannya secara layak.
Bagi anak, membalas jasa ibu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, selagi kecil selalu mematuhi atau menuruti nasehatnya, ketika ibu sudah menjadi tua renta, merawatnya dengan kasih sayang bukannya menitipkan ke panti jompo atau lembaga sosial lainnya. Tidak kalah pentingnya, anak harus menjaga silaturrahmi atau hubungan baik, entah dengan saudara sekandung maupun saudara ibu lainnya. Selamat hari ibu.[] Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusartikelnya bagus:)
BalasHapusles privat