Langsung ke konten utama

Kantin Kejujuran dan Pendidikan Moral

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi 08 November 2008

Kehadiran kantin kejujuran, yang ide awalnya berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kian mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Hal itu ditandai dengan makin banyaknya sekolah yang mendirikannya.

Menurut data Depdiknas (2008), jumlah total kantin kejujuran sudah mencapai lebih dari 1.000 buah, yang tersebar secara merata di seluruh pelosok negeri. Dari jumlah itu, hanya dua kantin yang gulung tikar alias bangkrut, yaitu di Medan dan Bandung.

Penerimaan masyarakat terhadap kantin kejujuran menandakan mulai berseminya kesadaran untuk menyelamatkan anak didik dan generasi muda pada umumnya dari jeratan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Lebih dari itu, sekolah dan institusi pendidikan pada umumnya dipercaya masyarakat sebagai sarana efektif dalam memberantas budaya buruk dan penyakit yang merugikan bangsa itu.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana upaya sekolah mengelola kantin kejujuran, sehingga bisa lebih efektif dan efisien? Bagaimana menjaga sustainabilitas kantin kejujuran, sehingga mampu memberi manfaat yang optimal bagi sekolah serta anak didik?

Membangun Karakter
Pertanyaan ini penting diajukan, sebab jika program kantin kejujuran hanya dilaksanakan secara asal-asalan, pasti hanya akan merugikan sekolah, baik secara finansial maupun secara moral. Artinya, dikhawatirkan yang terlahir bukannya anak didik dengan ketinggian moralitasnya, melainkan kader-kader yang justru memperkuat barisan dan budaya korup.

Ada beberapa keuntungan yang bisa dipetik dari keberadaan kantin kejujuran di sekolah-sekolah. Pertama, menjadi media yang tepat untuk menanamkan sifat-sifat luhur bagi anak didik semenjak dini. Secara bertahap, kata Jaksa Agung Hendarman Supanji (2008), model kantin ini akan membangun karakter dan budaya malu bagi generasi muda.

Itu karena ciri khas kantin kejujuran yang unik, yakni semuanya serba self-service, atau melayani diri sendiri. Tak ada penjaga yang mengawasi, serta tidak ada yang akan menerima dan menghitung uang kembalian. Pendek kata, semua dilakukan sendiri.

Kedua, kantin kejujuran sejalan dengan Pasal 30 UU Nomor 16/Tahun 2004, serta strategi Kejaksaan Agung dalam memberantas korupsi yaitu preventif, represif, dan edukatif. Langkah edukatif, misalnya, dengan menumbuhkembangkan kantin kejujuran di sekolah, sebagai manifestasi kewajiban kejaksaan meningkatkan kesadaran hukum bagi kawula muda dan masyarakat pada umumnya.

Ketiga, sangat relevan dengan proses perkembangan psikologis anak didik, khususnya dalam pembiasaan dan pembentukan perilaku. Menurut Irwanto (2002), karakteristik psikologis siswa usia SD-SMA adalah masa-masa dominan dalam pembentukan karakter dan kepribadian.

Fase ini mulai dari periode kanak-kanak akhir (late childhood), hingga periode dewasa awal (early adulthood). Pada fase itu, anak didik memiliki kecenderungan untuk mengikuti atau meniru tata-nilai dan perilaku orang-orang di sekitarnya, mulai masaknya organ-organ seksual, pengambilan pola perilaku dan nilai-nilai baru, serta tumbuhnya idialisme untuk pemantapan identitas diri.

Jika pada fase itu dilakukan proses penanaman nilai-nilai moralitas secara sempurna, maka akan menjadi fondasi dasar sekaligus menjadi warna kepribadian anak didik ketika dewasa kelak. Program kantin kejujuran akan lebih sempurna, jika sekolah yang bersangkutan juga menerapkan kurikulum antikorupsi dalam pembelajaran. Artinya, internalisasi dan pembiasaan itu akan menyentuh tiga kawasan kecerdasan seseorang, mulai dari aspek afektif, kognitif, hingga aspek psikomotorik.

Hanya saja, format kurikulum tidak harus diwujudkan dalam satu mata pelajaran. Sebab, mata pelajaran yang sudah ada sudah cukup membebani psikologis anak didik. Kurikulum antikorupsi cukup menjadi hidden curriculum, di mana esensi dan keburukan yang ditimbulkan budaya KKN bisa diselipkan dalam berbagai mata pelajaran.

Penerapan kurikulum ini tentu saja menuntut kreativitas yang lebih dari para guru. Mereka harus mampu mengaitkan persoalan KKN dengan tema-tema atau materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), fisika, ekonomi, sejarah, agama, dan sebagainya. Selain itu, strategi pembelajaran harus melibatkan anak didik, dengan didukung media terkait KKN (gambar-gambar, foto, kliping, dan lain-lain), ada praktik di lapangan —melalui kantin kejujuran— dan ada keteladanan dari para guru.

Manajemen yang Baik
Kantin kejujuran merupakan sesuatu yang baru. Oleh sebab itu, para pengelolanya dituntut untuk kreatif dalam menyiasati pangsa pasar. Misalnya, dari segi penataan ruangan harus diatur sedemikian menarik, menu yang disediakan bervariasi, harga yang sesuai dengan kondisi ekonomi siswa, dan sebagainya.

Selain itu, harus dijalin kerja sama yang baik dengan semua elemen sekolah seperti guru, karyawan, Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Komite Sekolah, juga dengan para pengelola kantin konvensional. Tujuannya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, pihak-pihak yang dilibatkan itu bisa bekerja sama dan cepat mengatasinya.

Kalau memungkinkan, kantin kejujuran merupakan hasil penggabungan dan peremajaan kantin konvensional yang sudah ada. Tujuannya, selain untuk menghindari persaingan usaha yang tidak sehat, juga bisa memanfaatkan tenaga kerja yang sudah ada, serta menghindari terjadinya pengangguran yang mungkin terjadi ketika kantin konvensional kalah bersaing dan gulung tikar.

Tidak kalah pentingnya, kantin kejujuran harus ditopang oleh manajemen yang efektif dan efisien. Artinya, mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, hingga evaluasi harus dilakukan dan diarahkan kepada kemajuan dan hasil yang optimal. Proses pembukuannya pun harus cermat dan teliti, sebagaimana diterapkan oleh Kantin Kejujuran SMPN 1 Bekasi dengan menyediakan empat buku dan kaleng.

Dalam buku pencatatan itu, beberapa kolom yang wajib diisi memuat daftar nama pembeli, kelas, makanan/minuman yang dibeli, beserta jumlah dan harganya. Sementara kaleng-kaleng itu difungsikan sebagai tempat meletakkan uang, baik uang pembelian maupun uang kembalian.

Jadi, keberhasilan program kantin kejujuran itu sangat ditentukan oleh dukungan pemerintah sebagai pembuat kebijakan, manajemen yang efektif dan efisien, serta kerja sama yang baik antarwarga sekolah. Oleh karena itu, ketiga aspek tersebut harus terus dicermati dan dievaluasi. Akhirnya, semua pihak harus menyadari bahwa program kantin kejujuran merupakan komitmen bersama, dan sumbangsih nyata sekolah bagi perbaikan moralitas bangsa. (32) —Agus Wibowo, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...