Oleh Agus Wibowo *)
Dimuat Harian Suara Karya, Edisi Kamis, 4 September 2008
Dinamika elite politik menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) menunjukkan fenomena menarik, khususnya tarik-ulur wacana kepemimpinan kaum muda melawan kaum tua. Pihak-pihak yang merasa terancam kedudukannya mencoba membela diri dan mempertahankan posisinya. Persaingan yang timbul terasa kurang sehat lantaran terjadi saling mencari kelemahan lawan dan mengabaikan aspek persatuan dan kesatuan bangsa.
Suksesi kepemimpinan, kata Azyumardi Azra (2007), harus memberikan kesempatan kepada kaum muda. Tetapi, tidak lantas menjadikan proses itu sebagai sebuah kutub yang saling berlawanan. Makna "muda" harus dipahami secara lebih luas, bukan dari aspek fisik atau jasmani semata, melainkan dimaknai sebagai visi, misi, pemikiran yang segar, dan berjiwa muda.
Meski dari segi fisik dan usia tergolong tua, tetapi kalau memiliki jiwa muda dan ide-ide segar ke arah pembaruan dan perbaikan bangsa, tidak ada salahnya dipilih. Sebaliknya, meski dari segi umur tergolong muda, tetapi jika visi, misi, dan ide-idenya tergolong "basi", maka sosok ini tidak layak dipilih. Pertimbangan lama bahwa jabatan diberikan berdasarkan kompromi dan akomodasi politik pun seharusnya diganti dengan pertimbangan profesionalitas, kapabilitas, dan visi kepemimpinan.
Jika kita mau belajar, sejatinya banyak kearifan budaya (local genius) yang mengajari bagaimana memilih pemimpin yang baik. Dengan demikian, wacana pemimpin muda versus tua tidak akan menjadi pendulum pertikaian antargolongan dan antarkubu, yang memicu disintegrasi bangsa. Misalnya, konsep kepemimpinan hasthabrata yang terdapat dalam cerita Ramayana atau Ramayana Kekawin.
Konsep hastabratha itu, kata Indra Tranggono (2008), merupakan standar kepemimpinan ideal yang memiliki tugas mulia menciptakan kehidupan yang harmonis dan adil antara manusia, alam, dan Tuhan. Pemimpin yang baik adalah yang mampu menerjemahkan nilai-nilai adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasih dalam praksis kehidupan.
Secara terperinci, konsep hasthabrata itu terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan, dan bintang yang dalam bahasa Jawa kuno (kawi) disebut bumi, geni, banyu, angin, langit, surya, candra, dan kartika. Menurut Sri Mulyono dalam bukunya Wayang dan Karakter Manusia (1979), makna filosofi hasthabrata meliputi, pertama, pemimpin harus memiliki watak bumi. Watak ini akan mendorong seorang pemimpin untuk selalu memberi kepada sesama. Ini berdasarkan analog bahwa bumi merupakan tempat untuk tumbuh berbagai tumbuhan yang berbuah dan berguna bagi umat manusia.
Kedua, watak geni atau api. Pemimpin harus memiliki sifat api. Api adalah energi, bukan materi. Api sanggup membakar materi apa saja menjadi musnah. Namun, api juga bisa mematangkan apa saja.
Api dalam konteks ini bukan dalam pengertian yang destruktif, melainkan konstruktif. Maknanya, pemimpin harus memiliki komitmen, kesanggupan, dan keberanian untuk membakar atau melenyapkan hal-hal yang menghambat dinamika kehidupan. Misalnya sifat angkara murka, rakus, kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Ketiga, watak air atau banyu. Maknanya, seorang pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun, serta tidak sombong dan tidak arogan. Sifat mengalir ini juga bermakna bahwa pemimpin harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak menumpuk atau menggumpal yang merangsang untuk korupsi. Seperti halnya air yang selalu menunjukkan permukaan yang rata, pemimpin harus bersikap adil.
Keempat, watak angin atau udara. Artinya, pemimpin harus memiliki watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat. Hak hidup, antara lain, meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak (sandang, pangan, papan, dan kesehatan), mengembangkan diri, mendapatkan sumber kehidupan (pekerjaan), berpendapat dan berserikat (demokrasi), dan mengembangkan kebudayaan.
Kelima, watak surya atau matahari. Maknanya, pemimpin harus mampu menjadi penerang kehidupan, sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat. Keenam, watak bulan atau candra. Sebagaimana bulan yang memiliki kelembutan menenteramkan, pemimpin harus selalu memberikan rasa tenteram dan menjadi sinar dalam kegelapan. Ia harus mampu memimpin dengan berbagai kearifan sekaligus visioner (memiliki pandangan jauh ke depan); bukan memimpin dengan gaya seorang tiran (otoriter) dan berpikiran dangkal.
Ketujuh, watak bintang atau kartika. Sebagaimana bintang menjadi panduan para musafir dan nelayan, maka pemimpin harus mampu menjadi panutan sekaligus mampu menyelami perasaan masyarakat. Seluruh polah dan tingkah laku pemimpin adalah suri teladan yang akan diikuti rakyatnya.
Kedelapan, watak langit atau angkasa. Maknanya, pemimpin harus memiliki keluasan hati, perasaan, dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan negara. Keleluasan inilah yang akan mampu menampung segenap keluh kesah, dan segala problem kehidupan yang dialami rakyat.
Pemimpin yang memiliki watak hasthabrata akan berperan bukan lagi sebagai penguasa, melainkan sebagai pengayom (songsong agung) dan figur panutan yang perlu dijunjung dan dihormati (sinuhun), serta dibela keselamatannya oleh masyarakat. Ia juga akan memperjuangkan penderitaan rakyat, sehingga dapat terjalin sinergi kepentingan yang harmonis dan kondusif, antara darma kehidupan raja atau sosok junjungan di satu sisi dengan kesetiaan bakti rakyat pada sisi yang lain (manunggaling kawula lan gusti).
Konsep ideal dalam hasthabrata perlu dijadikan alat bagi rakyat untuk menjaring calon legislatif dan calon presiden dalam pemilu mendatang. Siapa pun orangnya dan dari mana pun asalnya, jika memiliki watak ideal, paling tidak mendekati, harus didukung dan diapresiasi secara positif.
Pemimpin model itu akan menjadi "Ratu Adil" yang keberadaannya senantiasa diidolakan dan didambakan oleh rakyat lantaran kearifan, kebijaksanaan, dan darmanya. Ia dipastikan dapat membawa kemaslahatan kehidupan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Semoga.[] Penulis adalah pengamat masalah sosial dan pemerintahan.
Dinamika elite politik menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) menunjukkan fenomena menarik, khususnya tarik-ulur wacana kepemimpinan kaum muda melawan kaum tua. Pihak-pihak yang merasa terancam kedudukannya mencoba membela diri dan mempertahankan posisinya. Persaingan yang timbul terasa kurang sehat lantaran terjadi saling mencari kelemahan lawan dan mengabaikan aspek persatuan dan kesatuan bangsa.
Suksesi kepemimpinan, kata Azyumardi Azra (2007), harus memberikan kesempatan kepada kaum muda. Tetapi, tidak lantas menjadikan proses itu sebagai sebuah kutub yang saling berlawanan. Makna "muda" harus dipahami secara lebih luas, bukan dari aspek fisik atau jasmani semata, melainkan dimaknai sebagai visi, misi, pemikiran yang segar, dan berjiwa muda.
Meski dari segi fisik dan usia tergolong tua, tetapi kalau memiliki jiwa muda dan ide-ide segar ke arah pembaruan dan perbaikan bangsa, tidak ada salahnya dipilih. Sebaliknya, meski dari segi umur tergolong muda, tetapi jika visi, misi, dan ide-idenya tergolong "basi", maka sosok ini tidak layak dipilih. Pertimbangan lama bahwa jabatan diberikan berdasarkan kompromi dan akomodasi politik pun seharusnya diganti dengan pertimbangan profesionalitas, kapabilitas, dan visi kepemimpinan.
Jika kita mau belajar, sejatinya banyak kearifan budaya (local genius) yang mengajari bagaimana memilih pemimpin yang baik. Dengan demikian, wacana pemimpin muda versus tua tidak akan menjadi pendulum pertikaian antargolongan dan antarkubu, yang memicu disintegrasi bangsa. Misalnya, konsep kepemimpinan hasthabrata yang terdapat dalam cerita Ramayana atau Ramayana Kekawin.
Konsep hastabratha itu, kata Indra Tranggono (2008), merupakan standar kepemimpinan ideal yang memiliki tugas mulia menciptakan kehidupan yang harmonis dan adil antara manusia, alam, dan Tuhan. Pemimpin yang baik adalah yang mampu menerjemahkan nilai-nilai adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasih dalam praksis kehidupan.
Secara terperinci, konsep hasthabrata itu terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan, dan bintang yang dalam bahasa Jawa kuno (kawi) disebut bumi, geni, banyu, angin, langit, surya, candra, dan kartika. Menurut Sri Mulyono dalam bukunya Wayang dan Karakter Manusia (1979), makna filosofi hasthabrata meliputi, pertama, pemimpin harus memiliki watak bumi. Watak ini akan mendorong seorang pemimpin untuk selalu memberi kepada sesama. Ini berdasarkan analog bahwa bumi merupakan tempat untuk tumbuh berbagai tumbuhan yang berbuah dan berguna bagi umat manusia.
Kedua, watak geni atau api. Pemimpin harus memiliki sifat api. Api adalah energi, bukan materi. Api sanggup membakar materi apa saja menjadi musnah. Namun, api juga bisa mematangkan apa saja.
Api dalam konteks ini bukan dalam pengertian yang destruktif, melainkan konstruktif. Maknanya, pemimpin harus memiliki komitmen, kesanggupan, dan keberanian untuk membakar atau melenyapkan hal-hal yang menghambat dinamika kehidupan. Misalnya sifat angkara murka, rakus, kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Ketiga, watak air atau banyu. Maknanya, seorang pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun, serta tidak sombong dan tidak arogan. Sifat mengalir ini juga bermakna bahwa pemimpin harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak menumpuk atau menggumpal yang merangsang untuk korupsi. Seperti halnya air yang selalu menunjukkan permukaan yang rata, pemimpin harus bersikap adil.
Keempat, watak angin atau udara. Artinya, pemimpin harus memiliki watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat. Hak hidup, antara lain, meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak (sandang, pangan, papan, dan kesehatan), mengembangkan diri, mendapatkan sumber kehidupan (pekerjaan), berpendapat dan berserikat (demokrasi), dan mengembangkan kebudayaan.
Kelima, watak surya atau matahari. Maknanya, pemimpin harus mampu menjadi penerang kehidupan, sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat. Keenam, watak bulan atau candra. Sebagaimana bulan yang memiliki kelembutan menenteramkan, pemimpin harus selalu memberikan rasa tenteram dan menjadi sinar dalam kegelapan. Ia harus mampu memimpin dengan berbagai kearifan sekaligus visioner (memiliki pandangan jauh ke depan); bukan memimpin dengan gaya seorang tiran (otoriter) dan berpikiran dangkal.
Ketujuh, watak bintang atau kartika. Sebagaimana bintang menjadi panduan para musafir dan nelayan, maka pemimpin harus mampu menjadi panutan sekaligus mampu menyelami perasaan masyarakat. Seluruh polah dan tingkah laku pemimpin adalah suri teladan yang akan diikuti rakyatnya.
Kedelapan, watak langit atau angkasa. Maknanya, pemimpin harus memiliki keluasan hati, perasaan, dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan negara. Keleluasan inilah yang akan mampu menampung segenap keluh kesah, dan segala problem kehidupan yang dialami rakyat.
Pemimpin yang memiliki watak hasthabrata akan berperan bukan lagi sebagai penguasa, melainkan sebagai pengayom (songsong agung) dan figur panutan yang perlu dijunjung dan dihormati (sinuhun), serta dibela keselamatannya oleh masyarakat. Ia juga akan memperjuangkan penderitaan rakyat, sehingga dapat terjalin sinergi kepentingan yang harmonis dan kondusif, antara darma kehidupan raja atau sosok junjungan di satu sisi dengan kesetiaan bakti rakyat pada sisi yang lain (manunggaling kawula lan gusti).
Konsep ideal dalam hasthabrata perlu dijadikan alat bagi rakyat untuk menjaring calon legislatif dan calon presiden dalam pemilu mendatang. Siapa pun orangnya dan dari mana pun asalnya, jika memiliki watak ideal, paling tidak mendekati, harus didukung dan diapresiasi secara positif.
Pemimpin model itu akan menjadi "Ratu Adil" yang keberadaannya senantiasa diidolakan dan didambakan oleh rakyat lantaran kearifan, kebijaksanaan, dan darmanya. Ia dipastikan dapat membawa kemaslahatan kehidupan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Semoga.[] Penulis adalah pengamat masalah sosial dan pemerintahan.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus