Langsung ke konten utama

Makna Kemerdekaan Dalam Pendidikan

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Pikiran Rakyat, Edisi 18 Agustus 2008
Baru saja kita memperingati 63 tahun kemerdekaan Indonesia. Momentum itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya guna merefleksikan apa saja yang sudah dilakukan untuk bangsa, sembari memikirkan solusi untuk keluar dari jeratan krisis.Tidak kalah pentingnya, perlu dilakukan penyegaran sekaligus pembaruan model peringatan kemerdekaan, dari sekadar seremonial tanpa makna menjadi spirit yang membangun semangat nasionalisme dan kebangsaan.
Pembaruan dan penyegaran itu, salah satunya bisa dilakukan dengan membenahi sistem pendidikan bangsa. Mengapa demikian? Karena sistem pendidikan saat ini, telah melenceng jauh dari cita-cita para pendirinya (founding father), khususnya pada masa-masa prakemerdekaan.
Sejarah membuktikan bahwa pendidikan memberi kontribusi yang besar dalam membidani kelahiran kemerdekaan. Melalui pendidikan, tokoh seperti R.A. Kartini, R. Dewi Sartika, K.H. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, dan Teuku Moh. Syafei, menanamkan jiwa dan semangat nasionalisme kepada generasi muda. Pendek kata, para tokoh itu membangun visi dan misi pendidikan dalam bingkai kebangunan Indonesia untuk meraih kemerdekaan dan kebebasan.
Ki Hajar Dewantara, misalnya, mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, dengan tujuan ingin menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia merdeka. Ki Hajar meyakini, penyadaran melalui lembaga pendidikan adalah usaha yang manjur. Hasilnya, kesadaran sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeinginan untuk merdeka pun tumbuh.
Contoh lain, dengan didirikannya organisasi Budi Utomo (1908), Perhimpunan Indonesia (1926), dan dicetuskannya Sumpah Pemuda (1928). Pada masa perang kemerdekaan dan revolusi untuk mempertahankannya, generasi muda yang terpelajar itu tidak sekadar mampu merancang organisasi atau menjadi aktivis, tetapi mereka juga memiliki keberanian dan strategi untuk membangun kekuatan bersenjata yang dikenal dengan sebutan Tentara Pelajar (TP).
Pendidikan dikebiri
Sayangnya, model pendidikan yang menumbuhkan jiwa kebangsaan dan perasaan merdeka itu, dicerabut dan dikebiri dari sistem pendidikan saat ini. Alih-alih, bukannya menjadi sarana memerdekakan peserta didik, tetapi justru membelenggu, memenjarakan, dan menindas. Itu dapat kita lihat dengan adanya kebijakan sertifikasi guru, kebijakan membalik rasio SMK dan SMA, penyamaan ujian akhir nasional (UAN) SMK dengan SMA, dan sebagainya.
Belum lagi, biaya pendidikan yang terasa kian mahal dan hampir tak terjangkau rakyat miskin. Pada jenjang pendidikan tinggi misalnya, sejumlah perguruan tinggi negeri berubah menjadi badan hukum milik negara. Perubahan ini mendorong lembaga-lembaga pendidikan, yang seharusnya melahirkan manusia-manusia terpelajar, justru terbelenggu dengan upaya mencari uang sekaligus menjauhkan diri dari masyarakat yang seharusnya dilayani. Maka, impian untuk mendapatkan pendidikan murah, baik, dan berkualitas tidak akan pernah terwujud.
Pada aspek filosofi, pendidikan yang mestinya dimaknai secara luas, ternyata hanya dipahami sebagai proses formal, sekadar proses alih pengetahuan. Bahkan, pendidikan tidak mampu lagi menjadi sarana liberasi, yakni sebagai sebuah proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekakan dan memberdayakan pelajar. Wajar jika spirit kemerdekaan, kebebasan, dan pencerahan sulit ditemukan dalam sistem dan praktik pendidikan tersebut. Tidak ada ruang dan waktu yang memadai bagi terjadinya liberasi yang mendorong sikap mental para pelajar untuk menjadi manusia merdeka.
Hasil lulusan atau output pendidikan yang jauh dari spirit kemerdekaan dan kebangsaan, kata Amien Rais (2008), hanya menghasilkan pemimpin, pengusaha, parlemen (anggota DPR), jaksa dan sebagainya, yang bermental inlander, penjilat, dan rela dijadikan budak korporasi-korporasi besar milik Amerika dan sekutu-sekutunya. Sebagai contoh, ketika kekayaan alam berupa minyak, gas, batu bara dan emas, dijarah beberapa perusahaan Amerika, para pemimpin berjiwa inlander itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Spirit kemerdekaan
Tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini, selain mengambil semangat dan spirit kemerdekaan, untuk merancang pendidikan bangsa berjiwa merdeka. Spirit kemerdekaan dalam pendidikan ini bisa diwujudkan paling tidak dalam dua hal. Pertama, dalam sistem pendidikan yang diwujudkan dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan egalitarianisme, dalam menyusun visi dan tujuan pendidikan, desain konsep pembelajaran, metode pengajaran, kurikulum, biaya sekolah, peningkatan karier dan gaji guru.
Kedua, dalam praktik pendidikan dengan mengimplementasikan spirit kemerdekaan dalam seluruh proses pembelajaran; interaksi antara siswa dan guru, sesama guru, dan antarsiswa. Misalnya melalui pengajaran yang kontekstual, dialog, dan presentasi, pelajaran yang interaktif dan partisipatoris, penilaian yang transparan, dan sebagainya.
Pendidikan juga perlu menanamkan sikap kritis pada anak didiknya. Melalui model pendidikan seperti itu, terlahir manusia-manusia kritis yang mampu melihat aneka tantangan dari zamannya, berani membicarakan berbagai masalah lingkungan, dan ikut menangani lingkungannya.
Spirit kemerdekaan dan pendidikan kritis, kata Asep P.B. (2006), akan menumbuhkan kuriositas intelektual, kematangan emosional, dan kejernihan spiritual anak didik. Mereka akan mampu melakukan transformasi diri menjadi orang-orang yang terbebaskan, lantaran institusi pendidikan dan lingkungan memberikan ruang dan iklim yang kondusif.
Selain itu, eksistensi pendidikan yang memiliki spirit kemerdekaan akan diperhitungkan dalam konteks demokrasi. Artinya, pendidikan dipercaya punya pengaruh yang positif bagi demokratisasi, sekaligus menghasilkan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Dalam perspektif ini, pendidikan bisa dilihat sebagai sebuah institusi untuk menginternalisasikan dan menyosialisasikan kemerdekaan, prinsip kemandirian, dan nilai hak asasi manusia harus bisa dijalankan. Semoga.[]
Penulis, Peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera