Langsung ke konten utama

Kemitraan ASEAN di Era Global

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Suara Pembaruan, Edisi 6 Agustus 2008
ebentar lagi kita akan memperingati genap 41 tahun berdirinya ASEAN. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, ASEAN mestinya sudah mampu mewujudkan cita-cita para founding father, khususnya menyangkut kerja sama bilateral yang menguntungkan anggotanya. Harapan itulah yang disandarkan pada peringatan ulang tahun kali ini.
Pertanyaannya kemudian, apakah ASEAN benar-benar menjadi rumah yang nyaman sekaligus menguntungkan bagi anggotanya? Ini menjadi bahan renungan para pemangku kebijakan, jangan sampai ASEAN hanya menjadi penindas anggotanya.
Harus diakui, kawasan ASEAN dengan penduduk sekitar 580 juta, merupakan pasar potensial yang selalu diincar para investor dan korporasi-korporasi besar dunia. Tentu saja demi keuntungan finansial dan ekspansi produk-produk industrinya. Itu dapat kita lihat dengan berbagai produk Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, India, Amerika Serikat, dan sebagainya menyerbu Asia Tenggara.
Tidak dimungkiri, ASEAN bersama Tiongkok, India, dan Korea Selatan, selangkah lebih maju. Kemajuan ASEAN ini, kata Kishore Mahbubani (2008), lantaran berhasil menerapkan tujuh pilar kebijakan dunia Barat, yang salah satunya adalah meritokrasi, dan menghapus dominasi budaya feodal. Tiongkok dan India bahkan selangkah lebih maju, karena berhasil mengerahkan ratusan juta penduduk yang cerdas untuk membangun negerinya.
Sepertinya, globalisasi yang lahir dari belahan dunia barat (Amerika), menjadi sebuah imperium yang tidak satu negara pun mampu mengelakkannya. Kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, beroperasinya institusi-institusi internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, dan mekanisme pasar bebas dengan organisasi perdagangan dunianya, telah mendorong globalisasi secara masif dan ekstensif ke berbagai penjuru dunia.
Dalam konteks itu, hegemoni negara-negara adikuasa semakin terasa mengimpit negara berkembang dan menempatkannya pada posisi tidak menguntungkan. Demikian halnya dengan negara-negara di kawasan ASEAN.
Monopoli negara adikuasa, tulis Samir Amin (1997), meliputi bidang teknologi, kontrol finansial terhadap pasar-pasar keuangan seluruh dunia, akses terhadap sumber daya alam, media massa dan komunikasi, serta monopoli senjata pemusnah massal. Monopoli ini juga menentukan kerangka kerja hukum beroperasinya nilai-nilai yang diglobalisasikan. Jika dicermati dengan seksama, globalisasi tidak memiliki muatan positif dan berharga bagi negara-negara berkembang.
Pertanyaannya, siapa yang sering mengambil keuntungan dari globalisasi yang banyak menimbulkan ketidakseimbangan tersebut? Bagi para penganjurnya, kata Joseph Stiglitz (2002), globalisasi -yang secara tipikal diasosiasikan dengan penerimaan kapitalisme unggul gaya Amerika- adalah sebuah kemajuan. Sementara negara-negara berkembang harus menerimanya jika ingin tetap tumbuh dan memerangi kemiskinan secara efektif.
Ancaman globalisasi jika tidak ditangkap secara arif oleh ASEAN bisa meruntuhkan sendi-sendi kemitraan dan solidaritas yang telah lama terbangun. Memang dalam perkembangannya ASEAN telah membentuk mekanisme ASEAN Plus Three bersama Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan; East Asia Summit (EAS) hingga memiliki 11 mitra wicara, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Jepang, dan Tiongkok, yang merupakan pemain-pemain besar. Setidaknya dengan jalinan yang erat tersebut ASEAN mampu menangkal hegemoni globalisasi.
Selain itu, dibentuknya Forum Regional ASEAN (ARF) menjadi bukti bahwa ASEAN mampu menjadi driving seat dalam proses regional. Artinya, selama 40 tahun ke depan ASEAN bukan hanya mampu bertahan, tetapi terus berkembang sebagai organisasi regional yang makin efektif dan mampu menciptakan stabilitas politik, keamanan, dan sosial.
Saling Berbagi
Langkah ASEAN mendirikan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) dalam KTT ke-12 di Cebu, Filipina, Januari 2007, sejatinya merupakan ide kreatif guna menyikapi persaingan ekonomi dari India dan Tiongkok. Lebih dari itu, bertujuan melindungi kepentingan bersama sejumlah negara di kawasan tertentu dan sebagai upaya untuk mempertegas arah ASEAN, sebagaimana amanat Bali Concord II (2003).
Pada aspek ekonomi, pendirian AEC juga berupaya membangun kerja sama perdagangan, investasi, dan meningkatkan mobilitas aktivitas ekonomi, yang meliputi sektor elektronik, pariwisata, otomotif, tekstil, perikanan, pertanian, teknologi informasi, teknologi kesehatan, dan usaha berbahan dasar kayu.
Saat ini, ASEAN harus mampu mengentaskan pekerjaan pelik dan mendesaknya, serta harus mampu menjembatani perbedaan esensial dan konflik internal yang melanda anggotanya.
Misalnya, dalam kasus TKI Indonesia yang bekerja di Malaysia, pemerintah Malaysia terkesan masa bodoh dan tak mau tahu, sehingga berbagai kasus pelanggaran hukum yang dilakukan para majikan (warga Malaysia) dibiarkan begitu saja. Tetapi, giliran TKI kita yang salah mereka segera memproses secara hukum.
Persoalan pengentasan kemiskinan yang mendera sejumlah besar anggotanya, penanggulangan bencana alam bersama, penuntasan kasus korupsi, supremasi dan perlindungan hukum bagi para tenaga kerja, harus segera diwujudkan lewat langkah nyata. ASEAN juga harus mampu meredam persoalan persaingan masing-masing anggotanya.
Tidak kalah pentingnya, ASEAN harus mampu memberikan solusi atas problem individualitas anggotanya, yang tidak ingin otoritas dan ke-daulatannya diatasi sebuah sistem. []
Penulis adalah Peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...