Langsung ke konten utama

Sekolah Kejuruan BukanPabrik Kuli

Oleh Agus Wibowo
Harian Suara Karya, Jumat, 1 Agustus 2008
"Pemerintah sebagai pemegang kebijakan (policy maker) perlu segera membenahi sistem pendidikan SMK. Landasan filosofis harus dibuat dengan saksama."
Pada musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun ini, sekolah menengah kejuruan (SMK) kebanjiran peminat. Di Yogyakarta, misalnya, dari 14 SMK negeri dan swasta yang membuka PSB online, telah dipenuhi pendaftar. Misalnya di SMK Negeri 6, tercatat 548 pendaftar dari 468 kursi yang tersedia. Padahal, pada PSB tahun lalu hanya tercatat 500 pendaftar (SK, 7/7/2008).
Di Kota Bandung, berdasarkan rekapitulasi PSB online yang dilakukan dinas pendidikan setempat, tercatat sebanyak 1.118 pendaftar, dari 360 kuota yang disediakan. Jika ditotal secara keseluruhan, pendaftar mencapai 11.066 dari 15 SMK yang ambil bagian. Jumlah itu melebihi tahun sebelumnya yang hanya 777 orang.
Sebaliknya, kondisi memprihatinkan dialami sekolah menengah nonkejuruan (SMA/MA). Hingga akhir masa PSB, sekolah-sekolah ini masih kekurangan murid. Di Bandung, misalnya, lantaran kekurangan siswa, pemkab setempat menggratiskan lebih dari 50 SMP swasta dan 29 SMA swasta. Sekolah yang digratiskan ini rata-rata hanya memiliki siswa di bawah 100 orang atau dua rombongan belajar. Adapun plafon bantuan biaya pendidikan yang dikeluarkan adalah Rp 570.000 per tahun per siswa untuk SMP dan Rp 1,2 juta untuk SMA.
Kondisi serupa juga terjadi di beberapa daerah seperti Tegal, Magelang, Yogyakarta dan sebagainya. Di Tegal misalnya, pihak sekolah sampai harus melakukan berbagai cara untuk mendapatkan tambahan siswa, seperti memperpanjang waktu penerimaan siswa baru dan melakukan jemput bola ke rumah calon siswa.
Melonjaknya jumlah peminat, di satu sisi menunjukkan keberhasilan promosi yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), khususnya melalui Dirjen Dikdasmen. Di sisi lain, fenomena itu menunjukkan adanya kecenderungan pragmatis masyarakat memilih SMK. Ini tidak lepas dari peran SMK yang mampu mencetak tenaga terampil dan mengurangi masalah pelik pengangguran.
Kelebihan SMK yang lain, tulis Joko Sutrisno (2008), mampu menyiapkan peserta didik yang kreatif, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja.
Bahkan, hasil sebuah survei menunjukkan bahwa di kota-kota di mana populasi SMK lebih tinggi dari SMA, maka daerah tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi dan produk domestik regional bruto yang lebih tinggi. Wajar, jika pemerintah pada tahun ajaran 2008/2009 menargetkan 1,3 juta siswa lulusan SMP mendaftar SMK secara nasional, guna mencapai pertumbuhan angka partisipasi kasar (APK) SMK 62,5 persen, sebagaimana ditetapkan dalam Renstra Depdiknas. Selain itu, pemerintah berencana terus memperbanyak pembangunan SMK, serta mengurangi pengembangan sekolah menengah atas (SMA). Diharapkan tahun 2009 rasio perbandingan antara SMK dan SMA menjadi 70 berbanding 30 (Fasli Jalal, 2008).
Anggapan bahwa semua SMK bermutu dan menghasilkan lulusan yang siap diterima dunia kerja tidak selamanya tepat. Sebagai gambaran, di Jawa Timur, lulusan SMK baru 45 persen yang terserap dunia kerja, selebihnya (55 persen) masih menjadi pengangguran. Selain itu, banyak perusahaan dan industri yang mengeluhkan sulitnya mendapat teknisi tingkat menengah sesuai standar. Padahal, peluang kerja terbuka di dalam dan luar negeri, yang tidak terpenuhi karena lulusan yang ada belum mencapai kompetensi yang dibutuhkan.
Problem ketidakterkaitan (mismatch) antara SMK dan dunia usaha atau dunia industri, disebabkan beberapa hal. Pertama, tidak semua SMK mencetak lulusan yang adaptif dengan dunia kerja. Hal ini disebabkan ketidaktersediaan fasilitas bengkel atau laboratorium kerja yang layak dan modern, serta membangun kerja sama yang kuat dengan dunia kerja.
Kedua, dari aspek tenaga pengajar, banyak guru SMK yang ketinggalan dalam meng-update keahlian agar sesuai dengan perkembangan zaman. Akibatnya, banyak pendidikan di SMK yang dijalankan secara asal-asalan yang muaranya hanya menghasilkan lulusan tanpa kompetensi memadai.
Ketiga, program-program yang ditawarkan SMK saat ini belum efektif dan efisien. Ini dapat dilihat dari kualitas lulusan yang belum mampu menjawab tantangan dunia industri. Dengan kata lain, belum ada kesesuaian antara SMK dan industri. Ketika lulusan SMK masuk dunia kerja, ternyata teknologi industri sudah berkembang pesat.
Seperti yang dialami siswa-siswa di SMK Jurusan Nautika Perikanan Laut (NPL), Kabupaten Malang. Sebenarnya, proses belajar mengajar (PBM) di SMK itu sesuai dengan jurusannya, yaitu NPL. Dimulai dari tingkat II, para siswa sudah berbulan-bulan lamanya mengikuti praktik kerja lapangan (PKL) di laut. Konsekuensinya, proses belajar mengajar dengan mata pelajaran yang di-UN-kan tidak banyak dipelajari, bahkan hampir tidak punya kesempatan dibandingkan dengan SMA biasa. Akibatnya, siswa-siswa berbakat dan sudah mengantongi beberapa sertifikasi kecakapan melaut, bahkan sudah diterima magang di Jepang, terpaksa tidak lulus UN.
Tampaknya tidak ada pilihan bagi SMK, selain berbenah diri. Menurut Wardiman Djojonegoro (2007), langkah utama adalah mengubah orientasi dan paradigma pendidikan. Jika selama ini tujuan pendidikan di SMK hanya mengejar ijazah, kini harus diganti mengejar kompetensi. Konsekuensinya, sekolah harus paham standar dunia kerja, dan harus membangun kerja sama yang baik dengan banyak pihak, terutama dunia industri dalam arti luas. Selain itu, sekolah membutuhkan sistem pembelajaran yang tidak berjarak dengan dunia kerja dan masyarakat yang selalu berkembang dinamis.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan (policy maker) perlu segera membenahi sistem pendidikan SMK. Landasan filosofis harus dibuat dengan saksama. Jangan sampai pendidikan SMK, meminjam istilah Henry A Giroux (1993), menjadi hamba pabrik/industri. Institusi pendidikan model demikian, lanjut Giroux, akan gagal melihat kemungkinan bahwa proses pembelajaran merupakan pilar utama humanisasi anak didik. Karena, dimensi personal seperti sopan santun, akhlak mulia, dan jiwa nasionalisme dikebiri habis-habisan. Maka yang terjadi adalah degradasi identitas, dari institusi yang menyelenggarakan pendidikan bangsa menjadi pabrik kuli semata.[]
Penulis adalah peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...