Oleh: Agus Wibowo *)
Dimuat Harian Kaltim Post, Edisi Jumat, 15 Februari 2008
Bola panas yang digulirkan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi baru-baru ini, menghantam telak geliat Otonomi daerah. Pasalnya, Hasyim meminta pemerintah agar menghapus sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada). Sepintas lalu, Hasyim sangat kontradiksi dengan semangat reformasi yang mengamanatkan Pilkada sebagai pintu gerbang proses otonomi daerah. Meski demikian, permintaan Hasyim patut direnungkan. Paling tidak, bisa dijadikan evaluasi bagi pelaksanaan Pilkada sebelumnya, maupun perbaikan strategi guna mensukseskan pelaksanaan Pilkada mendatang.
Memang, selama ini pelaksanaan Pilkada hanya menjadi biang konflik berkepanjangan yang tidak urung menjurus pada disintegrasi bangsa. Berlarut-larutnya kasus kekerasan dan tindakan anarkhisme yang mewarnai Pilkada di beberapa daerah seperti Buleleng, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Banten, dan Depok, menjadi bukti kenyataan tersebut. Hasyim Muzadi melihat Pilkada banyak merugikan umat Islam. Sebab, umat Islam sering dipecah-belah demi kemenangan salah satu calon kepala daerah. Lebih dari itu, Pilkada hanya menghambur-hamburkan biaya, tanpa hasil positif sebagai manifestasi pelaksanaan otonomi daerah. Kenyataan inilah yang tampaknya membuat Hasyim Muzadi berang, dan menyarankan penghapusan Pilkada (Kompas, 30/1/2008)
Diwarnai Kekerasan
Jika dikaji dan dicermati secara kritis, Hasyim ada benarnya. Sistem Pilkada yang dimulai semenjak medio 2005, memang menjelma menjadi sebuah mega proyek demokrasi yang menyedot financial cost dan social cost amat besar. Akan tetapi, besarnya pengeluaran tersebut tidak berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh masyarakat. Sebab, Pilkada tak lebih sebagai sebuah instrumen demokrasi lokal atau proses sosial tanpa makna. Artinya, Pilkada hanya menjadi sebuah seremonial yang rutin dilakukan dalam periodisasi waktu tertentu saja, tanpa membawa perubahan sekaligus pembaharuan dari segi kultur, struktur dan proses birokrasi di level daerah.
Pilkada juga menjelma sebagai ajang perebutan kekuasaan yang sarat pragmatisme, sangat kompetitif dan juga amat menegangkan. Situasi seperti ini tentu saja menguras energi sosial politik yang tinggi, dan berpotensi mengguncangkan ketertiban dan kedamaian publik. Alih-alih, bukannya menciptakan tatanan baru yang lebih mapan, demokratis, dan akuntabel, Pilkada justru semakin memperkeruh kondisi bangsa ini.
Memang kekerasan dan anarkhisme dalam pelaksanaan Pilkada—dan kepemimpinan nasional pada umumnya—bukan hanya terjadi dalam era reformasi sekarang ini. Perjalanan panjang negara kita yang hampir berusia 63 tahun ini, sarat tindak kekerasan. Bukan hanya terjadi dalam kegiatan politik praktis, tetapi juga terkait kegiatan pemerintahan. Bukan hanya kekerasan yang berlangsung antarkelompok masyarakat, tetapi juga kekerasan aparatur pemerintah terhadap warga masyarakat.
Tindak kekerasan yang mengawali pergantian pemerintahan seperti yang sudah disebutkan, sangat dimungkinkan lantaran kondisi yang belum tertata sistemnya secara demokratis. Dalam kondisi yang demikian dikesankan bahwa pemilu, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah, hanyalah formalitas, sekadar pemanis di bibir. Demikian juga halnya dalam pemilihan pengurus organisasi politik yang berkuasa, yakni Golkar. Forum munas atau musda terkesan tinggal ketok palu. Hanya Akbar Tandjung-lah sosok Ketua Umum Golkar pertama yang dipilih dalam forum yang demokratis.
Hadirnya era reformasi, sejatinya berusaha mengoreksi kejelekan-kejelekan sistem peralihan pemerintahan tersebut. Secara bertahap pranata demokrasi dibenahi menuju ke arah kehidupan yang lebih modern, lebih sehat, dan lebih demokratis. Terwujudlah di antaranya sistem pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung.
Jika dikaji dan dicermati secara kritis, Hasyim ada benarnya. Sistem Pilkada yang dimulai semenjak medio 2005, memang menjelma menjadi sebuah mega proyek demokrasi yang menyedot financial cost dan social cost amat besar. Akan tetapi, besarnya pengeluaran tersebut tidak berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh masyarakat. Sebab, Pilkada tak lebih sebagai sebuah instrumen demokrasi lokal atau proses sosial tanpa makna. Artinya, Pilkada hanya menjadi sebuah seremonial yang rutin dilakukan dalam periodisasi waktu tertentu saja, tanpa membawa perubahan sekaligus pembaharuan dari segi kultur, struktur dan proses birokrasi di level daerah.
Pilkada juga menjelma sebagai ajang perebutan kekuasaan yang sarat pragmatisme, sangat kompetitif dan juga amat menegangkan. Situasi seperti ini tentu saja menguras energi sosial politik yang tinggi, dan berpotensi mengguncangkan ketertiban dan kedamaian publik. Alih-alih, bukannya menciptakan tatanan baru yang lebih mapan, demokratis, dan akuntabel, Pilkada justru semakin memperkeruh kondisi bangsa ini.
Memang kekerasan dan anarkhisme dalam pelaksanaan Pilkada—dan kepemimpinan nasional pada umumnya—bukan hanya terjadi dalam era reformasi sekarang ini. Perjalanan panjang negara kita yang hampir berusia 63 tahun ini, sarat tindak kekerasan. Bukan hanya terjadi dalam kegiatan politik praktis, tetapi juga terkait kegiatan pemerintahan. Bukan hanya kekerasan yang berlangsung antarkelompok masyarakat, tetapi juga kekerasan aparatur pemerintah terhadap warga masyarakat.
Tindak kekerasan yang mengawali pergantian pemerintahan seperti yang sudah disebutkan, sangat dimungkinkan lantaran kondisi yang belum tertata sistemnya secara demokratis. Dalam kondisi yang demikian dikesankan bahwa pemilu, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah, hanyalah formalitas, sekadar pemanis di bibir. Demikian juga halnya dalam pemilihan pengurus organisasi politik yang berkuasa, yakni Golkar. Forum munas atau musda terkesan tinggal ketok palu. Hanya Akbar Tandjung-lah sosok Ketua Umum Golkar pertama yang dipilih dalam forum yang demokratis.
Hadirnya era reformasi, sejatinya berusaha mengoreksi kejelekan-kejelekan sistem peralihan pemerintahan tersebut. Secara bertahap pranata demokrasi dibenahi menuju ke arah kehidupan yang lebih modern, lebih sehat, dan lebih demokratis. Terwujudlah di antaranya sistem pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung.
Pembenahan Kultur
Menurut undang-undang No. 32 tahun 2004, Pilkada diharapkan menjadi salah satu pilar utama demokrasi lokal, guna membangun check and balances kekuasaan negara pada level lokal, dan menempatkan rakyat sebagak “the king maker.” Melalui Pilkada, diharapkan bisa dihasilkan output pemimpin eksekutif lokal yang mewakili preferensi mayoritas masyarakat lokal. Pilkada juga diharapkan menghasilkan outcome berupa reformasi kultur, yang secara apik mengimbangi proses transisi kepemimpinan tersebut. Singkatnya, Pilkada mesti menjadi entry point untuk melakukan ”bedah rumah” birokrasi lokal.
Reformasi kultur tersebut selain bertujuan mengikis budaya kekerasan dan anarkhisme, juga dimaksudkan untuk transformasi visi, misi dan spirit pemerintahan yang baik (good governance). Selama ini, mentalitas pangreh praja belum terkikis habis di kalangan birokrat daerah. Mereka belum semuanya memahami hakekat tugasnya sebagai public service atau abdi dan pelayan masyarakat. Jabatan publik (terutama kepala daerah) masih sering dilihat dan dimaknai sebagai sarana kapitalisme kejayaan pribadi, dan belum dilihat sebagai tempat mengabdikan diri kepada masyarakat, sebagaimana diamanatkan melalui UU kepegawaian.
Menurut D. Julianto (2006:46), reformasi kultural yang diharapkan adalah terwujudnya susunan kelembagaan birokrasi daerah yang sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan efektivitas dan efisisensi penyelenggaraan prinsip-prinsip lokal, prinsip-prinsip mewirausahakan pemerintah (reinventing gomerment), dan prinsip keanekaragaman potensi lokal yang menjadi milik masyarakat.
Melalui reformasi kultur, diharapkan tercipta sebuah kultur birokrasi lokal yang dinamis dan tertata apik. Menurut Pierre Bourdieu (1992), kultur birokrasi lokal yang tertata apik tersebut sangat terkait dengan unsur ranah, praktik dan habitus atau kebiasaan yang makin membudaya. Selain itu, gerak ke arah penjamahan kekuasaan sangat dipengaruhi oleh praktik dan habitus individu maupun kolektif. Praktik dan habitus yang berbasis kualitas, profesional dan budaya cenderung mengantarkan ke gerbang harmoni dan kedamaian, sebaliknya basis arogansi, materialisasi dan hegemoni sangat potensial menjerumuskan ke kancah konflik dan kekerasan. Dalam struktur masyarakat yang kuat berorientasi vertikal, contoh talenta dan habitus damai seharusnya sudah mengalir secara top down dari elite dan politisi ke ranah publik. Kasus perkelahian elite politik dan sumber provokasi dari atas, sebenarnya sangat memalukan dan harus ditinggalkan sebagai representasi warga bangsa yang beradab dan bermartabat (Wayan Geriya, 2008).
Kita bisa memahami sikap berang Hasyim Muzadi dan dampak negatif Pilkada. Namun, dalam menapaki proses demokrasi ke arah yang lebih sehat, kita tidak harus melangkah mundur. Kita fokuskan perhatian pada kekerasan sebagai eksesnya yang masih terjadi di sementara daerah. Gali sumber penyebabnya dan temukan solusinya.
Sudah terbukti banyak daerah yang mampu menyelenggarakan Pilkada secara aman dan tertib, misalnya Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, beberapa daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sebagainya. Pilkada, memang tetap harus dilakukan sebagai manifestasi semangat desentralisasi atau otonomi daerah sesuai dengan amanat remormasi. Meski demikian, Pilkada harus dilakukan dengan kondisi yang aman dan tertib, serta perlu diciptakan Pilkada yang efisien dan produktif dari aspek pembiayaan.Semoga!**
*) Anggota Forum Kajian Politik dan Pendidikan (FKPP) Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Menurut undang-undang No. 32 tahun 2004, Pilkada diharapkan menjadi salah satu pilar utama demokrasi lokal, guna membangun check and balances kekuasaan negara pada level lokal, dan menempatkan rakyat sebagak “the king maker.” Melalui Pilkada, diharapkan bisa dihasilkan output pemimpin eksekutif lokal yang mewakili preferensi mayoritas masyarakat lokal. Pilkada juga diharapkan menghasilkan outcome berupa reformasi kultur, yang secara apik mengimbangi proses transisi kepemimpinan tersebut. Singkatnya, Pilkada mesti menjadi entry point untuk melakukan ”bedah rumah” birokrasi lokal.
Reformasi kultur tersebut selain bertujuan mengikis budaya kekerasan dan anarkhisme, juga dimaksudkan untuk transformasi visi, misi dan spirit pemerintahan yang baik (good governance). Selama ini, mentalitas pangreh praja belum terkikis habis di kalangan birokrat daerah. Mereka belum semuanya memahami hakekat tugasnya sebagai public service atau abdi dan pelayan masyarakat. Jabatan publik (terutama kepala daerah) masih sering dilihat dan dimaknai sebagai sarana kapitalisme kejayaan pribadi, dan belum dilihat sebagai tempat mengabdikan diri kepada masyarakat, sebagaimana diamanatkan melalui UU kepegawaian.
Menurut D. Julianto (2006:46), reformasi kultural yang diharapkan adalah terwujudnya susunan kelembagaan birokrasi daerah yang sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan efektivitas dan efisisensi penyelenggaraan prinsip-prinsip lokal, prinsip-prinsip mewirausahakan pemerintah (reinventing gomerment), dan prinsip keanekaragaman potensi lokal yang menjadi milik masyarakat.
Melalui reformasi kultur, diharapkan tercipta sebuah kultur birokrasi lokal yang dinamis dan tertata apik. Menurut Pierre Bourdieu (1992), kultur birokrasi lokal yang tertata apik tersebut sangat terkait dengan unsur ranah, praktik dan habitus atau kebiasaan yang makin membudaya. Selain itu, gerak ke arah penjamahan kekuasaan sangat dipengaruhi oleh praktik dan habitus individu maupun kolektif. Praktik dan habitus yang berbasis kualitas, profesional dan budaya cenderung mengantarkan ke gerbang harmoni dan kedamaian, sebaliknya basis arogansi, materialisasi dan hegemoni sangat potensial menjerumuskan ke kancah konflik dan kekerasan. Dalam struktur masyarakat yang kuat berorientasi vertikal, contoh talenta dan habitus damai seharusnya sudah mengalir secara top down dari elite dan politisi ke ranah publik. Kasus perkelahian elite politik dan sumber provokasi dari atas, sebenarnya sangat memalukan dan harus ditinggalkan sebagai representasi warga bangsa yang beradab dan bermartabat (Wayan Geriya, 2008).
Kita bisa memahami sikap berang Hasyim Muzadi dan dampak negatif Pilkada. Namun, dalam menapaki proses demokrasi ke arah yang lebih sehat, kita tidak harus melangkah mundur. Kita fokuskan perhatian pada kekerasan sebagai eksesnya yang masih terjadi di sementara daerah. Gali sumber penyebabnya dan temukan solusinya.
Sudah terbukti banyak daerah yang mampu menyelenggarakan Pilkada secara aman dan tertib, misalnya Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, beberapa daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sebagainya. Pilkada, memang tetap harus dilakukan sebagai manifestasi semangat desentralisasi atau otonomi daerah sesuai dengan amanat remormasi. Meski demikian, Pilkada harus dilakukan dengan kondisi yang aman dan tertib, serta perlu diciptakan Pilkada yang efisien dan produktif dari aspek pembiayaan.Semoga!**
*) Anggota Forum Kajian Politik dan Pendidikan (FKPP) Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar