Langsung ke konten utama

Sastra dan Pencerahan Umat

Dimuat Koran Seputar Indonesia
Minggu, 10/06/2007

Benarkah sastra memiliki kebebasan yang tanpa batas? Hingga setiap pencipta karya sastra bisa menuangkan gagasan indah, simbolis, dan bermakna bagi kehidupan atau gagasan jorok, sadis, vulgar, asusila, dan meresahkan pembacanya?

Jawabannya tergantung pemaknaan dan niat masingmasing sastrawan. Memang, saat karya sastra masih abstrak (kasatmata) dan belum maujud dalam deretan simbol huruf dan kata atau baru dalam proses pergulatan pemikiran antara sastrawan dan karyanya, universalitas yang trans-historis, transsosial, dan independen menjadi otoritas sastrawan sepenuhnya.Namun, setelah pergulatan berakhir dan menjelma menjadi karya sastra (puisi, cerpen, novel, cerbung, dan sebagainya) dan karya tersebut dikonsumsi masyarakat luas, maka berlakulah etika, tata-nilai adat dan budaya masyarakat pembaca.

Masyarakat pembaca yang tercipta lantaran konsensus sosial membentuk tata-nilai dan budaya baku yang menjadi panduan hidup sehari-hari. Istilah budayawan Kuntowijoyo (2005), masyarakat pembaca lewat relasi sosial yang terbingkai dalam kesejarahannya,meletakkan norma budaya dalam korpus “adiluhung”. Kehadiran karya sastra yang kontra-tradisi dan kontra-budaya pada gilirannya menimbulkan keresahan dalam komunitas masyarakat tersebut.

Dalam cerita sejarah, kita menge-tahui para empu dan pujangga kerajaan dahulu begitu piawai menggunakan keindahan, kehalusan,dan kelembutan sastra sebagai penyebar nilai-nilai utama (adiluhung) bagi masyarakatnya.Lantaran ketajaman visi dan misi imajiner,asupan sastra yang digelutinya serta kesucian hati dan niat dalam bersastra, sang pujangga dijadikan penasihat kerajaan. Para pujangga juga memiliki keistimewaan mampu menerawang kejadian masa depan atau “weruh sak durunge winarah”

Membunuh Budaya Luhur?

Kehadiran karya sastra picisan (meminjam istilah penyair Chairil Anwar) dengan tema-tema kebebasan eksploitasi seks,pembalikan logika berpikir serta kisah-kisah percintaan erotis, semakin bertebaran di masyarakat.Misalnya,karya Ayu Utami (juga Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu) dengan fiksi-fiksi seksualnya, ditambah keberhasilan Joko Pinurbo dengan tema-tema sepele dan citraan- citraan seputar sarung dan celana, di satu sisi harus diakui memang cukup menyegarkan kembali tradisi sastra Indonesia yang menampakkan tanda-tanda kejenuhan.

Tapi, pada sisi lain menjadi penanda degradasi ‘peran kepujanggaan’ bagi sastrawan guna memberikan pencerahan dan mewariskan nilai-nilai luhur kepada masyarakat pembaca (Ahmadun Yosi Herfanda,2007). Ayu Utami (dan kawan-kawan), barangkali tidak keliru menelorkan tematema tersebut dalam tatanan budaya masyarakat mapan.Tetapi,tidak dengan bangsa ini. Carut-marut krisis moral, krisis identitas dan krisis kepercayaan mendera bangsa ini. Hingga, jangankan karya sastra yang jorok dan asusila,yang terbaik dan luhur pun bakal diputarbalikkan menjadi landasan berbuat ketidak-jujuran.

Dalam panggung kaca (baca; televisi), ketidakjujuran menjelma lewat lakon-lakon sinetron yang hiperreal dan membius khazanah mental publik dalam mimpi yang jauh dari bopeng-bopeng kenyataan hidup riil manusia sehari-hari. Yah, ketidakjujuran perekaan ”kebenaran” secara sepihak lewat pemanfaatan kekuatan publikasi media massa (Limas Sutanto,2002) Dalam konteks budaya seperti ini, sangat tepat analisis Katrin Bandel dalam buku Seks,Sastra,Perempuan (2006) bahwa sensasi yang muncul atas novelnovel maupun karya sastra bernuansa asusila adalah berlebihan.Karena,karyakarya itu sebenarnya biasa-biasa saja dan sensasi berlebihan itu justru malah merugikan s a s t r a Indonesia. Sebab, sensasi itu malah mengalihkan perhatian masyarakat dan pengamat sastra dari karya-karya yang sesungguhnya lebih bagus dan lebih pantas untuk diperbincangkan.

Sastra Fiksi Religius

Ketika agama dan berbagai perangkat hukum sudah dianggap gagal mengatur kehidupan bangsa, dengan bukti semakin maraknya degradasi moral yang ditandai kasus KKN dan kejahatan di berbagai penjuru Tanah Air,apresiasi terhadap sastra sudah menjadi keniscayaan. Sastra yang menuangkan pencerahan, membimbing masyarakat pada nilainilai kejujuran dan mendepak budaya KKN dari bumi pertiwi. Salah satu produk sastra yang menurut penulis membimbing bangsa ini keluar dari krisis kejujuran adalah fiksi religius (Islami).

Fiksi Islami yang dipelopori olehpara penulisForumLingkar Pena (FLP), berhasil menjadi bacaan alternatif yang lebih sehat bagi masyarakat. Di antara karya para penulis FLP, seperti karya Asma Nadia,Pipiet Senja, dan Habiburrahman El-Shirazy, bahkan berhasil mencapai best seller. Selain itu, trilogi Makrifat Cinta karya Tafiqurrahman al-Azizy yang terdiri atas tiga novel Syahadat Cinta (2006), Musyafir Cinta (2007), dan Makrifat Cinta (2007) mampu menjadi pemandu batin menangkap semburat hidayah Ilahi.

Ketiga novel tersebut menghadirkan sosok agama Islam yang santun, anti-teroris, pluralis, kritis namun tidak kering nilai-nilai transendental.Pencarian sosok Iqbal Maulana terhadap cinta sejatinya yang agung, suci nan-indah kepada pujaan hatinya, dibalut dengan ketakwaan terhadap khaliknya, menepis jauh-jauh cinta dengan objek eksploitasi kehormatan wanita yang marak akhir-akhir ini. Tema serupa juga diangkat novel Derap-Derap Tasbih (2007) karya Hadi S Khuli.

Novel yang mampu mendialogkan budaya “kaum bersarung”(pesantren),dunia pengarang dan dunia kaum akademis.Meski dibumbui kisah percintaan ”segi tiga”, nuansa yang kental terasa lebih pada semangat perjuangan pemuda miskin (tokoh Fatih) dalam mempertahankan kesederhanaan, kejujuran, hormat terhadap guru, orang tua, serta cinta yang didasarkan atas kecintaan terhadap khaliknya. Karya sastra baik yang bernuansa religius maupun tidak, mesti menjadi transfer pendidikan yang penuh vitamin rohani, penyejuk hati, penebar kebahagiaan, dan penuntun masyarakat pada pencerahan peradaban menuju jalan Tuhan. Hingga krisis kejujuran bangsa ini bisa segera terentaskan.(*)

Agus Wibowo Esais, mahasiswa program pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...