Sastra Adiluhung, Tua dan Terlupakan
Oleh: Agus Wibowo*
Oleh: Agus Wibowo*
Bagi masyarakat jawa, sastra merupakan karya yang tertata apik dalam bahasa yang indah (basa rinengga). Tak heran jika sastra jawa klasik tak hanya mengutamakan isi, tetapi keindahan bahasa juga menjadi perhatian sang pujangga. Karya sastra Jawa yang terlahir melalui pengolahan rasa dan laku tapa, disebut sebagai sastra adiluhung atau sastra yang memiliki tingkat apresiasi tinggi.
Sastra adiluhung ini tak pernah lapuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolis, dan dikenang sepanjang masa lantaran sifat dulce et utile-nya (menyenangkan dan bermanfaat) bagi peradaban umat manusia (Rene Wellek (1955). Alam sadar manusia yang selalu haus siraman imaji, menjadi ruang ideal muara sastra adiluhung.
Sejatinya, produk sastra secara umum (puisi, syair, serat, novel, kitab dsb) tercipta bukan dari ruang hampa. Juga bukan produk instan, masif dan duplikatif. Penetrasi sosial budaya turut membangun karya sastra, Toh pada muaranya realitas sosial juga kembali dipengaruhi sastra tersebut. Alih-alih, meski sebagian besar karakternya mengambil bahasa, karya sastra tetap merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu (Gunoto Saparie, 2007).
Serat dan suluk misalnya, merupakan penetrasi budaya yang berujud akulturasi Islam dan Jawa. Jalinan dipererat dengan narasi ilmiah nilai Islam dalam bentuk kepustakaan. Ini tampak pada Serat Wulangreh, Cibolek, Wedhatama, dan Centhini, serta Suluk cipta waskitha dan Haspiya.
Sastra adiluhung ini tak pernah lapuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolis, dan dikenang sepanjang masa lantaran sifat dulce et utile-nya (menyenangkan dan bermanfaat) bagi peradaban umat manusia (Rene Wellek (1955). Alam sadar manusia yang selalu haus siraman imaji, menjadi ruang ideal muara sastra adiluhung.
Sejatinya, produk sastra secara umum (puisi, syair, serat, novel, kitab dsb) tercipta bukan dari ruang hampa. Juga bukan produk instan, masif dan duplikatif. Penetrasi sosial budaya turut membangun karya sastra, Toh pada muaranya realitas sosial juga kembali dipengaruhi sastra tersebut. Alih-alih, meski sebagian besar karakternya mengambil bahasa, karya sastra tetap merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu (Gunoto Saparie, 2007).
Serat dan suluk misalnya, merupakan penetrasi budaya yang berujud akulturasi Islam dan Jawa. Jalinan dipererat dengan narasi ilmiah nilai Islam dalam bentuk kepustakaan. Ini tampak pada Serat Wulangreh, Cibolek, Wedhatama, dan Centhini, serta Suluk cipta waskitha dan Haspiya.
Bahasa Simbol Dan Multitafsir
Sastra adiluhung (jawa klasik) hadir melampaui sejarah (trans-historis), ruang dan waktu. Demikian pula obyeknya adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sang pujangga tidak mengambilnya secara acak. Ia memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Serat Wedhatama karya Mangkunegoro IV misalnya, bertujuan mengajak umat manusia pada kemuliaan budi, dan larangan memperturutkan budi jahat. Mangkunegara menangkap realitas sosial dan pandangan jawa bahwa gejala-gejala lahiriyah, memiliki kekuatan kosmis nominus yang merupakan realitas sebenarnya. Dan realitas itu adalah batin manusia yang berakar dalam dunia nominus tersebut.
Berangkat dari konsep tersebut, wedhatama tidak hanya murni karya sastra. Tetapi, juga mengajarkan laku spiritual khususnya terkait proses kebaktian kepada sang pencipta, atau dikenal dengan sembah raga, cipta, rasa dan karsa. Tak salah jika Simuh (1995) menggolongkan wedhatama sebagai sastra profetik (kenabian) lantaran tujuan utamanya pada penghayatan sufistik tinggi.
Lain lagi jika realitas sastra adiluhung itu sebuah peristiwa sejarah, maka sang pujangga mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kecuali itu, sastra adiluhung dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah. Sebagaimana karya sejarah, sastra adiluhung merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Ini dapat dilihat dalam serat Babad baik babad tanah jawa, babad Dipanegara, babad tanah sabrang dan sebagainya.
Sastra adiluhung (jawa klasik) hadir melampaui sejarah (trans-historis), ruang dan waktu. Demikian pula obyeknya adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sang pujangga tidak mengambilnya secara acak. Ia memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Serat Wedhatama karya Mangkunegoro IV misalnya, bertujuan mengajak umat manusia pada kemuliaan budi, dan larangan memperturutkan budi jahat. Mangkunegara menangkap realitas sosial dan pandangan jawa bahwa gejala-gejala lahiriyah, memiliki kekuatan kosmis nominus yang merupakan realitas sebenarnya. Dan realitas itu adalah batin manusia yang berakar dalam dunia nominus tersebut.
Berangkat dari konsep tersebut, wedhatama tidak hanya murni karya sastra. Tetapi, juga mengajarkan laku spiritual khususnya terkait proses kebaktian kepada sang pencipta, atau dikenal dengan sembah raga, cipta, rasa dan karsa. Tak salah jika Simuh (1995) menggolongkan wedhatama sebagai sastra profetik (kenabian) lantaran tujuan utamanya pada penghayatan sufistik tinggi.
Lain lagi jika realitas sastra adiluhung itu sebuah peristiwa sejarah, maka sang pujangga mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kecuali itu, sastra adiluhung dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah. Sebagaimana karya sejarah, sastra adiluhung merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Ini dapat dilihat dalam serat Babad baik babad tanah jawa, babad Dipanegara, babad tanah sabrang dan sebagainya.
Tuntunan Budi Pekerti dan Penghalus rohani
Sastra adiluhung adalah dunia yang bersifat dinamis, relatif, dan bukan eksklusif. Nilai sastranya pasti terkait dengan kepribadian manusia. Karena ketinggian tingkat apresisasinya, sastra adiluhung sangat bermutu lantaran mampu menghaluskan rohaniah; mempertajam visi, misi dan ruang imajinasi, membuat manusia santun jiwanya, bertambah pengetahuannya, berkepribadian mulia, dan luas jiwanya.
Misalnya dalam Serat Wulang Reh Karya Pakubuwono IV tersirat ajaran menjadi orang terhormat. Menurut wulang Reh, menjadi orang terhormat tidak mudah karena mesti jauh dari sifat adigang, adigung dan adiguna, atau membanggakan kelebihan yang dimilikinya. Wulang reh juga momot aturan tingkah laku yang utama.
Apresiasi pada sastra adiluhung, memang meniscayakan wawasan yang luas, ketajaman pikiran dan kehalusan perasaan. Karena ia dikemas dalam bentuk-bentuk simbol yang multi tafsir. Misalnya ajaran manunggaling Kawula dan gusti, disimbolkan dalam lakon bima Suci. Tokoh Bima dalam serat ini digambarkan sebagai kesatria perkasa dengan kekuatan yang digdaya, dan seorang brahwana yang memiliki kearifan batin (waskita). Bima sejatinya merupakan simbol tokoh mistik jawa (Haryanto, 1990), yang bertemu dengan Tuhannya (Dewa ruci). Proses masuknya Bima ke tubuh Dewa Ruci diartikan sebagai manunggalnya hamba dengan tuhannya.
Menurut T. S. Eliot, mengukur kesastraan sebuah karya sastra adalah dengan kriteria estetik, sedangkan mengukur kebesaran karya sastra adalah dengan kriteria di luar estetik (Lubis, 1997: 15). Salah satu kriteria estetik yang bisa dipakai adalah kriteria norma sastra. Rene Wellek menyatakan bahwa norma sastra adalah tata nilai impilisit yang mesti ditarik dari karya sastra dan menunjukkan karya sastra sebagai keseluruhan. Norma karya sastra itu terdiri dari beberapa lapis; lapis suara (berupa kata), lapis arti (berupa kalimat), dan lapis obyek (berupa dunia sastrawan).
Serat Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV misalnya; lapis suara berbentuk tembang gambuh. Lapis arti berisi pendidikan budi pekerti antara manusia dengan sesama, lingkungan/makhluk hidup dan dengan tujannya. Sementara untuk menjamin martabatnya, seseorang mesti menguasai 3 syarat wirya (keberanian) yaitu: berani berkurban arta (harta), raga (badan jasmani) dan rasa (jiwa). Sosok individu hasil tempaan tiga wirya ini, adalah individu yang Tri winasis artinya cendekia yang cerdas, tangguh dan arif memaknai kehidupan. Lapisan metafisika berupa ajaran penyembahan kepada sang pencipta yang dikenal dengan
Selain itu, sastra adiluhung menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka sastra adiluhung berusaha menggambarkan dunia dan kehidupan manusia melalui kriteria utama yaitu "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
Meski demikian, Wellek dan Warren mengingatkan bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Karya sastra dapat juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas dalam masyarakat.
Menelusuri sastra adiluhung (jawa klasik) layaknya memasuki lautan makna. Pembaca dituntut tidak gegabah menangkap apa yang nampak, tetapi menggali apa yang ada di balik itu. Tetapi anehnya, nilai moral yang terkandung dalam sastra adiluhung kurang tergali dan teraktualisasi pada masa kini. Karya sastra besar yang pernah dihasilkan saat booming sastra dari Keraton Surakarta maupun Yogyakarta saat ini kurang dikenal oleh generasi muda, bahkan oleh penerus keluarga keraton sendiri. Fenomena ini layaknya pepatah jawa sastra lungset ing sampiran.[]
*) Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. E-mail; agus82wb@yaoo.com. Telp : 085292569057 Rekening : BRI Unit Mataram 3015-01-009577-53-3
Sastra adiluhung adalah dunia yang bersifat dinamis, relatif, dan bukan eksklusif. Nilai sastranya pasti terkait dengan kepribadian manusia. Karena ketinggian tingkat apresisasinya, sastra adiluhung sangat bermutu lantaran mampu menghaluskan rohaniah; mempertajam visi, misi dan ruang imajinasi, membuat manusia santun jiwanya, bertambah pengetahuannya, berkepribadian mulia, dan luas jiwanya.
Misalnya dalam Serat Wulang Reh Karya Pakubuwono IV tersirat ajaran menjadi orang terhormat. Menurut wulang Reh, menjadi orang terhormat tidak mudah karena mesti jauh dari sifat adigang, adigung dan adiguna, atau membanggakan kelebihan yang dimilikinya. Wulang reh juga momot aturan tingkah laku yang utama.
Apresiasi pada sastra adiluhung, memang meniscayakan wawasan yang luas, ketajaman pikiran dan kehalusan perasaan. Karena ia dikemas dalam bentuk-bentuk simbol yang multi tafsir. Misalnya ajaran manunggaling Kawula dan gusti, disimbolkan dalam lakon bima Suci. Tokoh Bima dalam serat ini digambarkan sebagai kesatria perkasa dengan kekuatan yang digdaya, dan seorang brahwana yang memiliki kearifan batin (waskita). Bima sejatinya merupakan simbol tokoh mistik jawa (Haryanto, 1990), yang bertemu dengan Tuhannya (Dewa ruci). Proses masuknya Bima ke tubuh Dewa Ruci diartikan sebagai manunggalnya hamba dengan tuhannya.
Menurut T. S. Eliot, mengukur kesastraan sebuah karya sastra adalah dengan kriteria estetik, sedangkan mengukur kebesaran karya sastra adalah dengan kriteria di luar estetik (Lubis, 1997: 15). Salah satu kriteria estetik yang bisa dipakai adalah kriteria norma sastra. Rene Wellek menyatakan bahwa norma sastra adalah tata nilai impilisit yang mesti ditarik dari karya sastra dan menunjukkan karya sastra sebagai keseluruhan. Norma karya sastra itu terdiri dari beberapa lapis; lapis suara (berupa kata), lapis arti (berupa kalimat), dan lapis obyek (berupa dunia sastrawan).
Serat Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV misalnya; lapis suara berbentuk tembang gambuh. Lapis arti berisi pendidikan budi pekerti antara manusia dengan sesama, lingkungan/makhluk hidup dan dengan tujannya. Sementara untuk menjamin martabatnya, seseorang mesti menguasai 3 syarat wirya (keberanian) yaitu: berani berkurban arta (harta), raga (badan jasmani) dan rasa (jiwa). Sosok individu hasil tempaan tiga wirya ini, adalah individu yang Tri winasis artinya cendekia yang cerdas, tangguh dan arif memaknai kehidupan. Lapisan metafisika berupa ajaran penyembahan kepada sang pencipta yang dikenal dengan
Selain itu, sastra adiluhung menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka sastra adiluhung berusaha menggambarkan dunia dan kehidupan manusia melalui kriteria utama yaitu "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
Meski demikian, Wellek dan Warren mengingatkan bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Karya sastra dapat juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas dalam masyarakat.
Menelusuri sastra adiluhung (jawa klasik) layaknya memasuki lautan makna. Pembaca dituntut tidak gegabah menangkap apa yang nampak, tetapi menggali apa yang ada di balik itu. Tetapi anehnya, nilai moral yang terkandung dalam sastra adiluhung kurang tergali dan teraktualisasi pada masa kini. Karya sastra besar yang pernah dihasilkan saat booming sastra dari Keraton Surakarta maupun Yogyakarta saat ini kurang dikenal oleh generasi muda, bahkan oleh penerus keluarga keraton sendiri. Fenomena ini layaknya pepatah jawa sastra lungset ing sampiran.[]
*) Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. E-mail; agus82wb@yaoo.com. Telp : 085292569057 Rekening : BRI Unit Mataram 3015-01-009577-53-3
Komentar
Posting Komentar