Langsung ke konten utama
Republik Panggung Sandiwara
Oleh : Agus Wibowo *

Negeri ini tak lebih sebuah panggung sandiwara non-realis. Masing-masing aktor politik berebut peran. Jika dalam sandiwara realis, watak-watak manusia dalam memperjuangkan kepentingan digambarkan baik melalui jalan praktis maupun jalan idealistis. Dengan cara itu, ‘daging’ realisme sandiwara bisa dikenali, dirasakan dan dihayati kehadirannya. Permainan dituntut wajar namun tetap indah, sebagai sarana transformasi estetis jagat realitas ke jagat simbol. Sang aktor konsisten dengan tokoh yang diperankannya. Tetapi dalam sandiwara non-realis ini tidak demikian. Aktor selalu tidak konsisten dengan perannya, maka alur sandiwara-pun runyam dan tak layak dinikmati. Demikian komentar Cak Nun (Emha Ainun Najib) dalam ”pengajian padang rembulan” di Sleman belum lama ini. Pengajian kali ini cukup spesial, karena dihadiri oleh beberapa pejabat tinggi RI, anggota DPR/MPR, dosen dan kaum intelektual.
Cak Nun menggugah kesadaran hadirin akan ketidak konsistenan elit politik kita. Bagaimana tidak, ketika dalam proses kampanye pemilu mereka ikut partai A, tapi manakala yang berpeluang menghantarkan ke jabatan lebih tinggi partai B, ia beralih ke partai tersebut. Dalam sekala kecil, akhirnya rakyat juga yang dibingungkan oleh prilaku politik tersebut. Sementara dalam lingkup luas, iklim perpolitikan menjadi tidak kondusif, saling curiga dan jauh dari keberpihakan terhadap kepentingan rakyat.
Prilaku elit politik yang demikian, lebih rendah dari prilaku elit politik orde baru atau bahkan orde lama. Paling tidak, dilihat dari sisi kekonsistenan idiologi. Misal, meski dalam era reformasi partai Golkar banyak dihujat, tetapi partai ini sangat konsisten terhadap idiologi yang dibangunnya. Jarang terdengar elit partai in-konsisten dengan idiologinya. Bandingkan dengan parpol lain, selalu oportunis dalam setiap langkah politiknya.
Problem lain seputar wacana reshuffle. Presiden sebagai sutradara pemerintahan, juga tak dapat berperan secara tegas. Mestinya para menteri yang sedang ”sakit”, berkinerja buruk serta tidak profesional segera diberhentikan. Tetapi, belum tentu presiden SBY berani melakukan hal itu. Jika melihat kehati-hatian presiden SBY selama ini, dan kecenderungan untuk menghindari gesekan dengan parpol besar, dimungkinkan reshuffle untuk beberapa menteri hanya sekedar rotasi posisi saja.
Drama sesungguhnya mesti membuat oposisi (polar opposite). Mana tokoh dengan karakter baik (best profil) dan tokoh karakter jahat (antagonis). Tetapi dalam republik sandiwara ini, sulit membedakan polarisasi tersebut. Semua mengaku tokoh jalan kebenaran, membela rakyat kecil dan menjunjung tinggi darma kesatria. Tetapi dari prilaku yang tampak, tak lebih sekedar karakter raksasa atau ”sang cakil” yang menebar kehancuran dalam kehidupan berbangsa. Atau dalam pewayangan, lebih identik dengan tokoh Sangkuni yang selalu oportunistik, labil pendirian dan jauh dari watak kesatria. Meminjam istilah Ichlasul Amal (pakar politik UGM), para elite politik dan pemimpin negeri ini selalu kita jumpai layaknya wajah-wajah syaitan yang berhati iblis, dan wajah malaikat yang berhati syaitan. Sehingga sulit untuk membedakan khutbah yang disuarakan oleh wajah yang bermacam-macam itu.
John Henry Newman (teolog) pernah berkata bahwa dalam suara hati, kita menyadari, kita wajib mutlak melakukan yang baik dan benar serta menolak yang tidak baik dan tidak benar. Suara hati bagai panggilan suatu realitas personal yang berkuasa atas diri kita yang, jika kita mengikutinya, membuat kita merasa bernilai, aman, dan sedia untuk menyerah (Magnis-Suseno, 2006).
Bagi orang bersuara hati, ia akan malu jika melakukan perbuatan tak bermoral. Ia akan malu jika membiarkan ada perbuatan tak bermoral di sekitarnya. Tentu bisa saja dibalik, orang yang suka perbuatan tak bermoral berarti tak bersuara hati. Atau, orang yang membiarkan perbuatan tak bermoral berlangsung di sekitarnya berarti tak bersuara hati.
Bagaimana jika dikaitkan dengan elit politik kita? Sudah pasti definisi terakhir sangat representatif. Sebagai seorang aktor ia telah melenceng jauh dari alur sekenario sang sutradara. Dan sebagai manusia lumrah, hati mereka telah menjadi pisau tumpul yang jarang digunakan atau enggan diasah.
Sandiwara realis, mesti ada akhirnya (ending). Tokoh kebenaran mengembalikan kondisi dis-harmoni atau goro-goro pada posisi semula. Masing-masing pihak berada dalam posisinya, menyadari kekeliruannya dan sang tokoh hidup bahagia menjalani masa tuanya dengan kebahagiaan. Tidak demikian dengan sandiwara republik ini. Tokoh kebenaran tidak ada. Jika diawal mencitrakan diri, tetapi setelah mendapat kamukten beralih peran. Sulit dipercaya apakah tokoh-tokoh pejuang HAM atau pejuang reformasi yang telah gugur, jika dihidupkan kembali benar-benar konsisten pada idiologinya. Tata nilai dan kultur budaya tak memungkinkan hal itu.
Saat ini, kita membutuhkan seorang sutradara politik yang tangguh, mumpuni dan digdaya. Sutradara demikian, mampu mengatur setiap aktor dalam posisi dan pencitraan perannya masing-masing. Ia juga akan selektif dalam mencari bibit-bibit aktor yang sehaluan dengan jalan pemikirannya, mampu membawa sandiwara politik yang dibuatnya bermutu, enjoy dinikmati dan ada nilai simbolis yang dapat diteladani.
Tak ubahnya negara ini, butuh presiden yang berjiwa seniman sutradara. Santun dalam membagi peran, lincah dalam memenggal alur dan paham karakteristik asli aktor-aktornya. Jika sudah demikian, sang presiden bakal membawa negara ini pada figur negara teladan yang menjadi kiblat dunia.[]
*) Pemerhati Sandiwara, Tinggal di Jogja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...