Langsung ke konten utama

Revitalisasi Pendidikan Pertanian

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Bisnis Bali
Edisi 9 September 2009

Pakar pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc., dalam satu kesempatan mengungkapkan kekhawatirannya pada masa depan pertanian kita.

Menurutnya, jika pemerintah bersama stakeholder tidak memberikan perhatian yang serius, dunia pertanian kita akan gulung tikar alias tamat.

Dampaknya pasti, kita sebagai bangsa agraris tidak lagi mampu memproduksi pangan secara optimal, sehingga harus impor dari negara lain.

Kekhawatiran Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc., itu, tentu bukan tanpa alasan. Dia melihat fenomena terputusnya mata rantai dunia pertanian dari generasi muda.

Singkatnya, dunia pertanian akan kehilangan satu generasi yang disebabkan rendahnya animo generasi muda pada dunia pertanian. Fenomena ini tampak dari menurunnya jumlah pendaftar pada fakultas pertanian sebagai salah satu jurusan yang menyiapkan tenaga-tenaga terampil di bidang pertanian.

Berdasar data Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN, 2009) terdapat 2.894 kursi kosong pada program studi bidang pertanian di 47 perguruan tinggi negeri.

Data Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2009), juga menyebutkan selama kurun 2005 sampai 2006 sebanyak 40 program studi pertanian di berbagai universitas/PT gulung tikar, dan kini tinggal 20 PT/universitas baik negeri dan swasta yang masih membuka jurusan itu.

Di tingkat pendidikan dasar juga demikian. Misalnya pada penerimaan siswa baru (PSB) tahun 2009 lalu, calon murid yang mendaftar ke sekolah menengah pertanian (SPP-SPMA) mengalami penurunan hingga 55 persen. Selain tidak gencarnya promosi yang dilakukan, para pendaftar juga lebih memilih sekolah menengah kejuruan non-pertanian.

Pertanyaannya kemudian, apa yang menyebabkan keengganan kaum muda untuk menggeluti pertanian? Langkah apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah, agar dunia pertanian kembali bergairah?

Pertanyaan ini menjadi penting. Sebab, jika fenomena itu terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan 5 sampai 10 tahun ke depan, pembangunan pertanian akan terhenti lantaran tidak ada motor penggerak dan tulang punggung yang menopangnya.

Budaya Gengsi
Jika kita cermati, dalam beberapa tahun terakhir memang terjadi perubahan paradigma yang sangat masif di kalangan generasi muda. Hadirnya kapitalisme barat, di satu sisi memang memberi dampak kemajuan dalam sektor industri, teknologi komunikasi dan perdagangan.

Hampir di berbagai penjuru kota, kita akan temukan pasar-pasar kapitalis modern; entah yang berwujud megamall, atau pusat-pusat pertokoan kecil. Masyarakat bisa berbelanja mudah, karena semua tersedia lengkap dan menarik.

Di sisi lain, kapitalisme datang membawa budaya baru yang sangat bertentangan dengan budaya asli. Bagaikan terkena “shock culture”, generasi muda terpana dengan berbagai piranti kapitalisme itu.

Mereka lebih senang pergi ke megamal, ketimbang mengurus sawah atau ladang. Mereka lebih suka ke Indomart, Alfamart dan sentra kapitalis lainnya, ketimbang ke pasar tradisional. Singkatnya, akibat pengaruh modernitas dan budaya kapitalisme, tumbuh budaya gengsi di kalangan generasi muda, termasuk gengsi bertani.

Karena budaya gengsi itu, kata Collier (1996), generasi muda di pedesaan enggan bertani. Bagi mereka, menjadi petani sama halnya menjadi rakyat kelas bawah.

Apalagi dengan adanya stigma miring tentang dunia pertanian yang sudah terbentuk selama berabad-abad lamanya; sebagai usaha kecil yang kumuh, penuh risiko, dan keuntungan amat kecil. Pelakunya juga tidak berdasi, bermobil, atau memiliki kantor megah.

Budaya di pedesaan juga menempatkan profesi pertanian amat rendah. Para orangtua tidak ingin anak gadisnya dinikahi anak petani. Mereka akan mencarikan suami yang bekerja sebagai pengusaha, PNS, tentara, POLRI dan posisi pemerintahan lainnya.

Maka wajar jika di desa --- yang dahulu menjadi gudang tenaga pertanian --- generasi muda lebih memilih merantau ke kota, dengan harapan menjadi pegawai negeri atau posisi penting lainnya.

Perbaiki Citra
Sebelum terlambat, sudah saatnya pemerintah bersama stakeholder mengeluarkan kebijakan dan langkah-langkah strategis dalam rangka revitalisai pendidikan pertanian.

Pertama, memperbaiki citra dunia pertanian dengan menanamkan pengertian pada generasi muda bahwa dunia pertanian tidak identik dengan kelas bawah yang kumuh dan terhina.

Pertanian bukan sekedar rutinitas mencangkul dan menjadi petani tidak harus miskin. Jika dikelola secara profesional dan komersial, pertanian akan menjadi pekerjaan bergengsi, selain sebagai sektor usaha yang strategis.

Kedua, kurikulum dan sistem pendidikan pada jurusan pertanian harus digeser, agar lebih adaptif dengan perkembangan teknologi. Dengan kata lain, kurikulum pertanian harus selalu gayut dengan perkembangan atau tantangan zaman.

Sebagai contoh, mata kuliah budi daya pertanian tidak sekedar mempelajari bercocok tanam di lahan, tetapi juga mempelajari bagaimana mengaplikasikan teknologi modern yang canggih, perkembangan kultur jaringan (net culture), hidroponik dengan berbagai sistem, sistem teknologi molekuler hingga mempelajari rekayasa genetika.

Selanjutnya perlu dipelajari kiat-kiat kewirausahaan (entrepreneurship) di bidang pertanian; seperti mental produktif, kreatif, inovatif, tekun, gigih, pantah menyerah dan menggunakan teknologi secara efektif dan efisien.

Jurusan pertanian juga harus menjadi pionir terdepan bagi penemuan-penemuan baru di bidang pertanian. Maka perlu dibangun berbagai sarana dan fasilitas yang mempermudah mahasiswa melakukan penelitian dan pengujian.

Akhirnya, pendidikan pertanian memang harus dihidupkan, demi menjaga masa depan dan ketahanan pangan kita. Upaya ini tentunya tidak cukup dengan instruksi atau ajakan, tetapi perlu gerakan dan langkah nyata antara pemerintah, dunia kampus, dan masyarakat.

Pemerintah sebagai pembuat sekaligus pemegang kebijakan (policy maker), perlu membuat kebijakan yang berpihak pada pertanian, kampus harus menjadi pusat penemuan baru, sementara masyarakat mendukung dan mengapresiasikannya secara positif.

Dengan adanya relasi dan timbal balik itu, diharapkan umur pendidikan pertanian pada khususnya dan dunia pertanian pada umumnya bisa diperpanjang. Semoga.[] Penulis adalah peneliti pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera