Langsung ke konten utama

Menanti Kabinet Baru

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Bisnis Bali
Edisi 31 Agustus 2009

Setelah pidato penerimaan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono mulai melakukan penjaringan calon menteri.

Konon, ratusan nama dari berbagai kalangan telah dikantongi SBY, termasuk dari lima partai utama mitra koalisi, yaitu Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Salurannya beragam, mulai dari jalur formal sampai jalur pesan singkat pribadi seperti ketika cawapres dicari.

Tampaknya, SBY-Budiono sangat cermat dan hati-hati dalam memilih calon pembantu. Mereka berusaha memenuhi keinginan rakyat agar kabinet dengan masa kerja lima tahun mendatang, terbentuk dari komposisi pribadi yang amanah, efektif, dan kredibel.

SBY-Budiono juga ingin meninggalkan warisan indah dan kokoh di akhir masa baktinya, sebuah kabinet forum bekerja bukan untuk berpolitik sendiri-sendiri.

Kearifan dan kehati-hatian SBY-Budiono itu, tidak lepas dari latar belakang mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Mereka tidak gila atau silau dengan kilauan harta dan benda duniawi.

Seperti Boediono yang dipilih Yudhoyono pertama-tama dengan dipanggil ke Cikeas, calon menteri pun demikian. Singkatnya, puri Cikeas yang menjadi awal karier politik Yudhoyono tetap menjadi pilihan.

Sementara SBY fokus menuntaskan mandat bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, Boediono ditugaskan menyusun perencanaan bersama timnya. Laporan berkala hasil perencanaan Boediono bersama timnya dijadikan bahan pertemuan dengan Yudhoyono berikutnya. Pertanyaannya, apa saja kriteria yang mestinya digunakan SBY dalam merekrut kabinet?

Kabinet Ahli
Berdasarkan pengalaman 2004, tidak mudah menyusun matriks agar semua kepentingan terwakili secara adil di kabinet. Pada 2004, janji SBY-JK membentuk kabinet pada hari pelantikan baru ditetapkan pada pukul 23.47.

Sesuai amanat UUD 1945, pembentukan kabinet merupakan kewenangan mutlak atau hak prerogatif presiden terpilih. Meski begitu, SBY seyogyanya tetap mempertimbangkan kebutuhan urgen bangsa saat ini dan yang akan datang; apa saja ancaman, tantangan dan segenap persoalan yang tengah dihadapi.

Idealnya, SBY memang harus membentuk zakenkabinet (kabinet ahli). Pelibatan pakar atau profesional pada bidang masing-masing sangat dibutuhkan untuk menganalisis berbagai persoalan bangsa yang sangat berat ini, mencari formula dan memecahkannya.

Selain keahlian di bidangnya, profesionalitas juga mempersyaratkan kemampuan manajerial yang tinggi, networking luas, serta pengalaman bersinggungan dengan dunia pemerintahan.

Hanya dengan dibantu zakenkabinet, SBY bisa memahami persoalan rakyatnya dengan tepat. Sebagaimana pengalaman Lyndon B Johnson, Presiden Amerika Serikat ke-36 (1908-1973). Sebaliknya jika menyerahkan urusan kepada bukan ahlinya, berarti tinggal menunggu saat kegagalan, bahkan kehancuran.

SBY juga harus menekankan pentingnya “The right man on the right place” atau menempatkan orang terbaik pada kedudukan yang tepat. Kehati-hatian SBY dalam memilih calon pembantu ini, selain demi keefektifan roda pemerintahan mendatang, juga untuk menjaga kredibilitas dan kewibawaannya di mata rakyat.

Usulan parpol koalisi memang patut didengar sebagai konsekuensi “balas jasa”, tetapi hendaknya dicermati betul. Dengan kata lain, bukan berarti calon yang diajukan parpol koalisi tidak diperhitungkan, tetapi sedapat mungkin tetap mengedepankan unsur dan kriteria profesionalisme.

Kepentingan Rakyat

Bukan waktunya lagi SBY memilih kalangan non-ahli demi alasan kompromi atau politik dagang sapi. Pasalnya, sudah banyak bukti para menteri yang berasal dari kalangan profesional lebih kecil tingkat resistensinya terhadap konflik kepentingan yang ada, di samping kaya dengan inovasi dan langkah-langkah kreatif.


Sebaliknya, menteri yang hanya “titipan” parpol terbukti kurang peka dan kurang cepat mengambil keputusan terhadap perubahan yang terjadi. Bisa dibayangkan bila menteri yang berada di tim ekonomi atau yang mengurusi bidang perekonomian nanti, adalah titipan parpol yang notabene tidak ahli di bidangnya; bisa jadi mereka tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik, efektif dan efisien. Bahkan, mereka harus belajar terlebih dahulu dalam waktu yang sangat lama sebelum bekerja, sementara masa baktinya amat singkat.

Maka, SBY tak perlu ragu untuk mengambil keputusan. Para profesional yang memang diyakini bisa membuat terobosan dalam memutar roda perekonomian, harus segera diangkat sebagai pembantunya. SBY juga tidak perlu takut jika ada pihak-pihak yang kecewa lantaran tidak terakomodasi kepentingannya.

Singkatnya, atas nama dan demi kepentingan bangsa yang lebih besar, SBY tidak perlu menghiraukan kekecewan yang mungkin timbul.
Akhirnya, pemilik puri Cikeas memang bisa menelpon siapa saja. Mereka yang profesional, amanah, jujur, mau bekerja keras, dan sanggup mengabdi kepada rakyat, siap-siap menerima telepon itu.

Yang terpilih, harus melaksanakan tugas dengan kesungguhan dan rasa tanggung jawab. Meski berbeda partai, ketika bersama dalam bahtera kabinet, mereka harus saling memahami, bekerja sama, setia, dan patuh pada komando SBY.

Jangan sampai dalam satu kabinet terjadi ketidakharmonisan; antarmenteri saling jegal, menggunting dalam lipatan, bahkan sampai tidak kompak pada komitmen bersama.

Bagi parpol, benar menteri terpilih itu kader terbaiknya. Akan tetapi, tidak lantas parpol dengan semaunya memanfaatkan menteri itu demi memenuhi ambisi dan syahwat politik kelompok. Ketika terpilih dan bergabung dengan kabinet SBY, para menteri itu bukan milik parpol sepenuhnya, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Maka, kepentingan rakyat harus diletakkan di atas kepentingan pribadi, golongan, maupun parpol.

Kesadaran dan mawas diri, sangat diperlukan di saat suhu politik tengah memanas; dan masing-masing parpol saling bersaing memperebutkan kursi kabinet.

Parpol yang kadernya terpilih, memang harus menjadi pendukung, tetapi tidak serta-merta melepas fungsi kontrol terhadap kinerja pemerintah. Artinya, sewaktu kadernya menyimpang, maka parpol yang pertamakali mengingatkan; jika perlu mengusulkan pada presiden untuk memberhentikan kadernya.

Demikian juga parpol yang tidak kebagian kursi kabinet, tidak perlu sakit hati apalagi sampai menjegal pemerintahan SBY mendatang. Semua harus legowo, mawas diri dan bersama-sama mengabdi kepada rakyat. Semoga.[] Penulis, adalah Peneliti pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...