Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Bisnis Bali
Edisi Senin,7 September 2009
Ada kabar gembira dari dunia pangan kita. Menurut laporan pemerintah, selama kurun waktu 2001-2008 sektor pertanian tumbuh rata-rata sebesar 3,5. Pencapaian ini tentu saja lebih baik ketimbang pada periode sebelum krisis (1991-1996) yang hanya sebesar 3 persen.
Pertumbuhan yang paling mengagumkan adalah subsektor tanaman pangan, yang tumbuh dari 1,8 persen pada periode sebelum krisis menjadi 3 persen pada periode setelah krisis.
Sementara, subsektor perkebunan, peternakan, dan kehutanan justru mengalami pelambatan laju pertumbuhan. Satu subsektor lainnya, yakni perikanan, naik tipis dari 5,3 persen menjadi 5,4 persen.
Laju pertumbuhan sebesar 3 persen bagi tanaman pangan tergolong cukup ideal karena dua kali lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk. Mengingat peranan subsektor ini sangat dominan, yaitu sekitar separuh dari sektor pertanian.
Itu artinya dalam beberapa tahun terakhir sektor pertanian bisa berperan sebagai penyumbang terbesar kedua bagi pertumbuhan ekonomi nasional, setelah sektor jasa.
Meski sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan, tetapi para ahli pangan justru merasa khawatir dan waswas. Mereka menilai pertumbuhan yang terjadi saat ini, jika tidak diwaspadai, bisa menjadi semacam umpan jebakan krisis pangan yang menyedihkan.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apa pemicu terjadinya krisis pangan itu? Bagaimana strategi menanggulanginya, sehingga kita tidak perlu melakukan impor?
Kesalahan Pemerintah?
Kekhawatiran para ahli pangan itu, mestinya menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah mendatang. Presiden bersama kabinet harus meresponsnya secara arif, bukan malah mengabaikannya.
Belajar dari pengalaman, prediksi serupa pernah dikemukakan menteri keuangan, Sri Mulyani. Alumnus terbaik UGM itu pernah memprediksi akan adanya krisis finansial global dan pangan yang mengancam bangsa ini. Dua tahun kemudian, prediksi itu menjadi kenyataan.
Beruntung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), merespons prediksi itu secara positif dan dengan sigap mengeluarkan beberapa langkah strategis; sehingga krisis yang terjadi tidak begitu berdampak pada perekonomian kita.
Jika kita cermati, kekhawatiran para ahli pangan itu ada benarnya. Di era reformasi ini, iklim kebebasan yang muncul memang menumbuhkan kegairahan baru bagi petani untuk memilih tanaman yang mereka pandang paling menguntungkan. Itulah sebabnya mereka enggan menanam kedelai, karena kalah menarik daya jualnya dibandingkan dengan tanaman padi atau jagung.
Petani lupa bahwa kedelai juga diperlukan dalam kebutuhan pangan. Ketika suatu saat permintaan kedelai meningkat, petani tidak bisa berbuat apa-apa karena seluruh lahan ditanami padi dan jagung. Akibatnya, pemerintah harus melakukan impor meski dengan biaya yang amat mahal.
Mestinya, jika petani tidak terjebak pada eforia kebebasan itu, mereka tetap melakukan pola tanam yang seimbang; baik tanaman padi, jagung, kedelai dan palawija lainnya. Sehingga ketika permintaan pada salah satu subsektor naik tajam, petani tidak perlu melakukan impor.
Ketika petani asyik dalam kebebasan yang menjerumuskan, pemerintah justru membuat kebijakan yang tidak populis; yaitu melakukan liberalisasi produk-produk pertanian secara besar-besaran. Misalnya cabai merah, buah-buahan dan sayur-mayur dari Cina yang bebas masuk tanpa hambatan. Sudah bisa dipastikan, produk lokal tersisih dengan produk impor itu.
Pemerintah memang berjanji tidak akan melakukan impor ketika produksi lokal mengalami kenaikan. Tetapi kenyataannya, ketika produksi lokal mengalami kenaikan yang menggembirakan, pemerintah tetap melakukan impor.
Akibatnya, kenaikan produksi lokal itu tidak begitu berdampak positif bagi petani. Ambil contoh ketika terjadi kenaikan produksi jagung. Di atas kertas produksi jagung nasional jauh lebih besar daripada konsumsi dalam negeri. Namun, masih tetap ada jagung impor.
Pemerintah kenyataanya juga melakukan segmentasi pada perekonomian kita. Akibatnya, pelaku usaha lebih memilih produk impor ketimbang produk domestik.
Apalagi sistem transportasi laut kita yang sangat buruk, kondisi pelabuhan-pelabuhan yang merana, serta berbagai pungutan yang legal maupun ilegal, membuat produk-produk yang dihasilkan suatu daerah menjadi non-tradable atau non-traded; sehingga daerah lain lebih baik mendapatkannya dari luar negeri.
Perlu Belajar
Sebelum krisis pangan terjadi, kita harus bersiap-siaga. Sudah saatnya kita menata ulang pembangunan pertanian, dengan paradigma dan mindset baru. Tujuannya, bukan hanya untuk mewujudkan kedaulatan pangan, tetapi juga agar bangsa ini menjadi pemasok pangan dunia yang disegani.
Langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah secepatnya menghentikan liberalisasi produk pertanian. Impor produk pertanian harus melalui mekanisme yang ketat, serta melihat potensi domestik. Sebagai contoh jika produksi padi dalam negeri mengalami surplus, pemerintah tidak perlu melakukan impor padi lagi. Syukur-syukur, pemerintah justru mendorong masyarakat domestik untuk melakukan ekspor.
Selanjutnya, sarana-prasarana dan keamanan transportasi harus diperbaiki --- dengan bertahap menghapus berbagai upeti atau pungutan liar (pungli) ---sehingga petani lokal bisa mudah menjual produknya untuk kebutuhan domestik dan ekspor. Terjaminnya keamanan transportasi, juga akan memangkas ongkos yang harus dikeluarkan oleh petani.
Pemerintah pusat seyogyanya belajar dari kepala daerah atau masyarakat lokal yang terbukti “kreatif” menyiasati masa depan pangan. Seperti Pemda Sumatera Barat yang berani “memboikot” pengadaan benih padi hibrida impor yang dipasok oleh pusat.
Kota Padang Panjang ---- yang beberapa bulan lalu dideklarasikan sebagai kota organic ---telah mempelopori gerakan petani lokal yang mandiri dari subsidi pupuk karena telah bertekad mengembangkan sistem pertanian organik (bukan cuma menggunakan pupuk organik).
Belajar dari Pemda Sumatera Barat, mestinya pemerintah lebih mendengar aspirasi petani lokal. Maka proyek-proyek besar pusat seperti pengadaan benih dan pupuk yang kenyataannya tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan petani harus dialihkan. Pada kasus Sumatera Barat, subsidi pupuk mestinya dialihkan menjadi bantuan ternak sapi dan kambing.
Tujuannya, selain bisa mendukung sistem pertanian organik mereka, juga bisa mendongkrak produksi daging dan susu yang impornya kian membengkak. Akhirnya, respons positif pemerintah terhadap prediksi krisis pangan, akan menyelamatkan bangsa ini dari krisis yang berkepanjangan. Semoga.[] Penulis, Peneliti pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Dimuat Harian Bisnis Bali
Edisi Senin,7 September 2009
Ada kabar gembira dari dunia pangan kita. Menurut laporan pemerintah, selama kurun waktu 2001-2008 sektor pertanian tumbuh rata-rata sebesar 3,5. Pencapaian ini tentu saja lebih baik ketimbang pada periode sebelum krisis (1991-1996) yang hanya sebesar 3 persen.
Pertumbuhan yang paling mengagumkan adalah subsektor tanaman pangan, yang tumbuh dari 1,8 persen pada periode sebelum krisis menjadi 3 persen pada periode setelah krisis.
Sementara, subsektor perkebunan, peternakan, dan kehutanan justru mengalami pelambatan laju pertumbuhan. Satu subsektor lainnya, yakni perikanan, naik tipis dari 5,3 persen menjadi 5,4 persen.
Laju pertumbuhan sebesar 3 persen bagi tanaman pangan tergolong cukup ideal karena dua kali lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk. Mengingat peranan subsektor ini sangat dominan, yaitu sekitar separuh dari sektor pertanian.
Itu artinya dalam beberapa tahun terakhir sektor pertanian bisa berperan sebagai penyumbang terbesar kedua bagi pertumbuhan ekonomi nasional, setelah sektor jasa.
Meski sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan, tetapi para ahli pangan justru merasa khawatir dan waswas. Mereka menilai pertumbuhan yang terjadi saat ini, jika tidak diwaspadai, bisa menjadi semacam umpan jebakan krisis pangan yang menyedihkan.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apa pemicu terjadinya krisis pangan itu? Bagaimana strategi menanggulanginya, sehingga kita tidak perlu melakukan impor?
Kesalahan Pemerintah?
Kekhawatiran para ahli pangan itu, mestinya menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah mendatang. Presiden bersama kabinet harus meresponsnya secara arif, bukan malah mengabaikannya.
Belajar dari pengalaman, prediksi serupa pernah dikemukakan menteri keuangan, Sri Mulyani. Alumnus terbaik UGM itu pernah memprediksi akan adanya krisis finansial global dan pangan yang mengancam bangsa ini. Dua tahun kemudian, prediksi itu menjadi kenyataan.
Beruntung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), merespons prediksi itu secara positif dan dengan sigap mengeluarkan beberapa langkah strategis; sehingga krisis yang terjadi tidak begitu berdampak pada perekonomian kita.
Jika kita cermati, kekhawatiran para ahli pangan itu ada benarnya. Di era reformasi ini, iklim kebebasan yang muncul memang menumbuhkan kegairahan baru bagi petani untuk memilih tanaman yang mereka pandang paling menguntungkan. Itulah sebabnya mereka enggan menanam kedelai, karena kalah menarik daya jualnya dibandingkan dengan tanaman padi atau jagung.
Petani lupa bahwa kedelai juga diperlukan dalam kebutuhan pangan. Ketika suatu saat permintaan kedelai meningkat, petani tidak bisa berbuat apa-apa karena seluruh lahan ditanami padi dan jagung. Akibatnya, pemerintah harus melakukan impor meski dengan biaya yang amat mahal.
Mestinya, jika petani tidak terjebak pada eforia kebebasan itu, mereka tetap melakukan pola tanam yang seimbang; baik tanaman padi, jagung, kedelai dan palawija lainnya. Sehingga ketika permintaan pada salah satu subsektor naik tajam, petani tidak perlu melakukan impor.
Ketika petani asyik dalam kebebasan yang menjerumuskan, pemerintah justru membuat kebijakan yang tidak populis; yaitu melakukan liberalisasi produk-produk pertanian secara besar-besaran. Misalnya cabai merah, buah-buahan dan sayur-mayur dari Cina yang bebas masuk tanpa hambatan. Sudah bisa dipastikan, produk lokal tersisih dengan produk impor itu.
Pemerintah memang berjanji tidak akan melakukan impor ketika produksi lokal mengalami kenaikan. Tetapi kenyataannya, ketika produksi lokal mengalami kenaikan yang menggembirakan, pemerintah tetap melakukan impor.
Akibatnya, kenaikan produksi lokal itu tidak begitu berdampak positif bagi petani. Ambil contoh ketika terjadi kenaikan produksi jagung. Di atas kertas produksi jagung nasional jauh lebih besar daripada konsumsi dalam negeri. Namun, masih tetap ada jagung impor.
Pemerintah kenyataanya juga melakukan segmentasi pada perekonomian kita. Akibatnya, pelaku usaha lebih memilih produk impor ketimbang produk domestik.
Apalagi sistem transportasi laut kita yang sangat buruk, kondisi pelabuhan-pelabuhan yang merana, serta berbagai pungutan yang legal maupun ilegal, membuat produk-produk yang dihasilkan suatu daerah menjadi non-tradable atau non-traded; sehingga daerah lain lebih baik mendapatkannya dari luar negeri.
Perlu Belajar
Sebelum krisis pangan terjadi, kita harus bersiap-siaga. Sudah saatnya kita menata ulang pembangunan pertanian, dengan paradigma dan mindset baru. Tujuannya, bukan hanya untuk mewujudkan kedaulatan pangan, tetapi juga agar bangsa ini menjadi pemasok pangan dunia yang disegani.
Langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah secepatnya menghentikan liberalisasi produk pertanian. Impor produk pertanian harus melalui mekanisme yang ketat, serta melihat potensi domestik. Sebagai contoh jika produksi padi dalam negeri mengalami surplus, pemerintah tidak perlu melakukan impor padi lagi. Syukur-syukur, pemerintah justru mendorong masyarakat domestik untuk melakukan ekspor.
Selanjutnya, sarana-prasarana dan keamanan transportasi harus diperbaiki --- dengan bertahap menghapus berbagai upeti atau pungutan liar (pungli) ---sehingga petani lokal bisa mudah menjual produknya untuk kebutuhan domestik dan ekspor. Terjaminnya keamanan transportasi, juga akan memangkas ongkos yang harus dikeluarkan oleh petani.
Pemerintah pusat seyogyanya belajar dari kepala daerah atau masyarakat lokal yang terbukti “kreatif” menyiasati masa depan pangan. Seperti Pemda Sumatera Barat yang berani “memboikot” pengadaan benih padi hibrida impor yang dipasok oleh pusat.
Kota Padang Panjang ---- yang beberapa bulan lalu dideklarasikan sebagai kota organic ---telah mempelopori gerakan petani lokal yang mandiri dari subsidi pupuk karena telah bertekad mengembangkan sistem pertanian organik (bukan cuma menggunakan pupuk organik).
Belajar dari Pemda Sumatera Barat, mestinya pemerintah lebih mendengar aspirasi petani lokal. Maka proyek-proyek besar pusat seperti pengadaan benih dan pupuk yang kenyataannya tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan petani harus dialihkan. Pada kasus Sumatera Barat, subsidi pupuk mestinya dialihkan menjadi bantuan ternak sapi dan kambing.
Tujuannya, selain bisa mendukung sistem pertanian organik mereka, juga bisa mendongkrak produksi daging dan susu yang impornya kian membengkak. Akhirnya, respons positif pemerintah terhadap prediksi krisis pangan, akan menyelamatkan bangsa ini dari krisis yang berkepanjangan. Semoga.[] Penulis, Peneliti pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar