Oleh Agus Wibowo
Dimuah Harian Surabaya Post
Edisi Jumat, 7 Agustus 2009
Pada bulan Agustus ini, kita memperingati empat tahun wafatnya Cak Nur (Nurcholish Madjid). Momentum ini, mestinya kita manfaatkan untuk mendiskusikan kembali ide, dan pemikiran bapak bangsa—demikian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberinya gelar—demi memperbaiki kualitas kehidupan bangsa.
Pemikiran dan ide pluralisme Cak Nur, seakan menemukan momentum tatkala bangsa ini kembali didera berbagai berbagai kasus kekerasan dan terorisme atas nama agama, konflik suku, ras, agama dan golongan (SARA).
Sejarah mencatat, separuh hidup Cak Nur diabdikan untuk dunia keilmuan, khususnya konsep pluralisme antar agama dan pembaharuan Islam. Itu juga bisa kita baca dari karya-karya yang telah dihasilkannya. Pemikiran Cak Nur, kata Komarudin Hidayat (1995), sejatinya ingin memberikan gambaran atau pencitraan agama Islam sebagai agama yang sejuk, segar, toleran, humanis dan anti-teror.
Pemikiran demikian, lanjut Komarudin Hidayat, tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi karena tempaan lingkungan serta pendidikannya. Terlahir 17 Maret 1939, dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, tidak membuat Cak Nur tinggi hati. Kerendahan hatinya yang tidak mau diagung-agungkan apalagi dikultuskan, memberi tauladan agar kita tidak sombong dengan setitik ilmu agama dalam luasnya samudra ilmu Tuhan.
Selain itu, didikan pesantren Gontor dengan iklim kebebasan berpikir kritis, penguasaan bahasa Arab dan Inggris yang mendalam, lingkungan kerja di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), serta iklim dunia barat sewaktu kuliah di Chicago, membentuk corak berpikir yang khas, filosofis dan inklusivistik terhadap ajaran Islam. Singkatnya, Cak Nur berusaha mempertemukan komiten, wacana keislaman, keindonesiaan dan kemodernan
Ketika membahas pemikiran Cak Nur, kita akan menemukan paling tidak dua ide beliau yang sangat relevan dengan konteks kekinian. Pertama, konsep pluralisme. Terkait pluralisme ini, Cak Nur memimpikan nilai-nilai Islam universal yang menaungi dan membingkai relasi antar agama dan kepercayaan yang berlainan.
Dengan pluralisme model itu, akan tercipta dunia yang adil dan ramah, tanpa diskriminasi dan eksploitasi. Sayangnya, pemahaman itu masih dipahami sebagian masyarakat dan tokoh agama keliru. Dengan kata lain, mereka memahami pluralisme sebagai sikap atau gagasan, yang meyakini kebenaran semua agama. Maka wajar, jika mereka menuduh Cak Nur dan para pendukung gagasan pluralisme sebagai penganut relativisme agama yang sesat dan murtad.
Pandangan seperti itu, gilirannya akan berdampak luas serta memengaruhi cara pandang masyarakat untuk memusuhi, dan menolak kelompok lain agama atau kepercayaan. Tentu saja, konsep pluralisme sempit itu akan bertolak-belakang dengan nasionalisme bangsa, yang mengedepankan rasa toleransi, saling memahami dan menghargai kepercayaan lain.
Kedua, relasi Islam terhadap konsep negara dan politik. Cak Nur adalah orang pertama yang kurang sepakat dengan pendirian negara Islam (daulah Islam). Bagi Cak Nur, negara ini dibangun atas partisipasi seluruh elemen bangsa, suku, ras dan agama.
Maka, akan sangat tidak adil jika umat Islam memaksakan kehendak dan mengklaim dirinya, sebagai pemilik sah negeri ini. Kemenangan Islam, kata Cak Nur, tidak sama dengan kemenangan umat Islam, apalagi pribadi-pribadi. Akan tetapi, sebagai kemenangan sebuah ide yang memberi kebahagiaan, ketentraman bagi setiap orang, bahkan seluruh makhluk di alam semesta ini.
Politisasi Agama
Pada era 70-an orang tidak asing dengan ide Cak Nur, “Islam, yes ! partai Islam, No !” Lewat jargon ini, Cak Nur berusaha memperbaiki citra Islam yang memburuk lantaran terjebak dalam kancah politik praktis, khususnya dengan Partai Masyumi. Akibat seringnya dipolitisasi, agama Islam tidak lagi berperan sebagai pengayom seluruh alam semesta, tetapi sangat sempit dan hanya menjadi pengayom anggota partai. Berangkat dari pemikiran tersebut, Cak Nur ingin membebaskan Islam dari nafsu-nafsu individu, duniawi dan sektarian.
Lewat gagasan itu, seolah-olah Cak Nur ingin “menggugat” kemapanan pemahaman keagamaan masyarakat, yang selama ini cenderung konvensional, ortodoks dan tidak membumi dengan konteks masyarakat. Maka tidak heran, jika banyak yang tidak menyukainya, termasuk sebagian umat Islam sendiri. Sebagian elit keagamaan bahkan merasa risih dan terancam posisinya lantaran gagasan Cak Nur tersebut. Akibatnya, tak jarang Cak Nur bersilang pendapat dengan golongan tua. Misalnya, dalam jargon “Islam, Yes ! Partai Islam, No!”, Cak Nur sempat dituduh HM Rasjidi sebagai kaki tangan Ali Mortopo maupun penguasa Orde Baru saat itu.
Jika ditarik dalam konteks saat ini, jargon “Islam, Yes ! Partai Islam, No!” masih sangat relevan. Apalagi, semakin banyaknya partai politik (parpol) peserta pemilu yang mengatas namakan partai Islam. Jika kita belajar dari pemilu sebelumnya, terlihat sekali bagaimana parpol Islam justru tidak mewakili kepentingan umat Islam.
Bahkan, rekam jejak elit parpol itu justru menampilkan prilaku yang sangat tercela dan bertentangan dengan Islam. Pendek kata, parpol itu hanya memakai Islam sebagai sarana meraup suara rakyat dan kendaraan politik elit parpol mengejar syahwat dan nafsu kekuasaan. Lebih kejam lagi, tidak jarang elit parpol menggunakan determinisme itu (partai Islam Vs Non-Islam), sebagai strategi menggemboskan basis massa partai lain, yang kebetulan tidak sehaluan.
Sudah saatnya rakyat kita dituntut kritis, khususnya dalam memilih parpol. Singkatnya, rakyat harus jeli dan seksama dalam mencermati visi, misi dan elit sebuah parpol. Jika meminjam konsep Cak Nur, partai apa saja jika membawa visi, misi dan nilai-nilai universal Islam, harus didukung. Sebaliknya, meski mengaku partai Islam, tetapi visi, misi dan prilaku elitnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, patut ditinggalkan dan dijauhi. Kearifan inilah yang mesti dikedepankan umat Islam dalam konteks relasi agama, politik dan negara.
Pada akhirnya, Cak Nur memang boleh tiada badan wadaknya. Tetapi, buah pemikirannya akan terus hidup. Pemahaman kita yang arif dan holistik pada pemikiran Cak Nur, diharapkan membawa angin segar dalam kehidupan kebangsaan. Semoga.[]
Dimuah Harian Surabaya Post
Edisi Jumat, 7 Agustus 2009
Pada bulan Agustus ini, kita memperingati empat tahun wafatnya Cak Nur (Nurcholish Madjid). Momentum ini, mestinya kita manfaatkan untuk mendiskusikan kembali ide, dan pemikiran bapak bangsa—demikian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberinya gelar—demi memperbaiki kualitas kehidupan bangsa.
Pemikiran dan ide pluralisme Cak Nur, seakan menemukan momentum tatkala bangsa ini kembali didera berbagai berbagai kasus kekerasan dan terorisme atas nama agama, konflik suku, ras, agama dan golongan (SARA).
Sejarah mencatat, separuh hidup Cak Nur diabdikan untuk dunia keilmuan, khususnya konsep pluralisme antar agama dan pembaharuan Islam. Itu juga bisa kita baca dari karya-karya yang telah dihasilkannya. Pemikiran Cak Nur, kata Komarudin Hidayat (1995), sejatinya ingin memberikan gambaran atau pencitraan agama Islam sebagai agama yang sejuk, segar, toleran, humanis dan anti-teror.
Pemikiran demikian, lanjut Komarudin Hidayat, tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi karena tempaan lingkungan serta pendidikannya. Terlahir 17 Maret 1939, dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, tidak membuat Cak Nur tinggi hati. Kerendahan hatinya yang tidak mau diagung-agungkan apalagi dikultuskan, memberi tauladan agar kita tidak sombong dengan setitik ilmu agama dalam luasnya samudra ilmu Tuhan.
Selain itu, didikan pesantren Gontor dengan iklim kebebasan berpikir kritis, penguasaan bahasa Arab dan Inggris yang mendalam, lingkungan kerja di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), serta iklim dunia barat sewaktu kuliah di Chicago, membentuk corak berpikir yang khas, filosofis dan inklusivistik terhadap ajaran Islam. Singkatnya, Cak Nur berusaha mempertemukan komiten, wacana keislaman, keindonesiaan dan kemodernan
Ketika membahas pemikiran Cak Nur, kita akan menemukan paling tidak dua ide beliau yang sangat relevan dengan konteks kekinian. Pertama, konsep pluralisme. Terkait pluralisme ini, Cak Nur memimpikan nilai-nilai Islam universal yang menaungi dan membingkai relasi antar agama dan kepercayaan yang berlainan.
Dengan pluralisme model itu, akan tercipta dunia yang adil dan ramah, tanpa diskriminasi dan eksploitasi. Sayangnya, pemahaman itu masih dipahami sebagian masyarakat dan tokoh agama keliru. Dengan kata lain, mereka memahami pluralisme sebagai sikap atau gagasan, yang meyakini kebenaran semua agama. Maka wajar, jika mereka menuduh Cak Nur dan para pendukung gagasan pluralisme sebagai penganut relativisme agama yang sesat dan murtad.
Pandangan seperti itu, gilirannya akan berdampak luas serta memengaruhi cara pandang masyarakat untuk memusuhi, dan menolak kelompok lain agama atau kepercayaan. Tentu saja, konsep pluralisme sempit itu akan bertolak-belakang dengan nasionalisme bangsa, yang mengedepankan rasa toleransi, saling memahami dan menghargai kepercayaan lain.
Kedua, relasi Islam terhadap konsep negara dan politik. Cak Nur adalah orang pertama yang kurang sepakat dengan pendirian negara Islam (daulah Islam). Bagi Cak Nur, negara ini dibangun atas partisipasi seluruh elemen bangsa, suku, ras dan agama.
Maka, akan sangat tidak adil jika umat Islam memaksakan kehendak dan mengklaim dirinya, sebagai pemilik sah negeri ini. Kemenangan Islam, kata Cak Nur, tidak sama dengan kemenangan umat Islam, apalagi pribadi-pribadi. Akan tetapi, sebagai kemenangan sebuah ide yang memberi kebahagiaan, ketentraman bagi setiap orang, bahkan seluruh makhluk di alam semesta ini.
Politisasi Agama
Pada era 70-an orang tidak asing dengan ide Cak Nur, “Islam, yes ! partai Islam, No !” Lewat jargon ini, Cak Nur berusaha memperbaiki citra Islam yang memburuk lantaran terjebak dalam kancah politik praktis, khususnya dengan Partai Masyumi. Akibat seringnya dipolitisasi, agama Islam tidak lagi berperan sebagai pengayom seluruh alam semesta, tetapi sangat sempit dan hanya menjadi pengayom anggota partai. Berangkat dari pemikiran tersebut, Cak Nur ingin membebaskan Islam dari nafsu-nafsu individu, duniawi dan sektarian.
Lewat gagasan itu, seolah-olah Cak Nur ingin “menggugat” kemapanan pemahaman keagamaan masyarakat, yang selama ini cenderung konvensional, ortodoks dan tidak membumi dengan konteks masyarakat. Maka tidak heran, jika banyak yang tidak menyukainya, termasuk sebagian umat Islam sendiri. Sebagian elit keagamaan bahkan merasa risih dan terancam posisinya lantaran gagasan Cak Nur tersebut. Akibatnya, tak jarang Cak Nur bersilang pendapat dengan golongan tua. Misalnya, dalam jargon “Islam, Yes ! Partai Islam, No!”, Cak Nur sempat dituduh HM Rasjidi sebagai kaki tangan Ali Mortopo maupun penguasa Orde Baru saat itu.
Jika ditarik dalam konteks saat ini, jargon “Islam, Yes ! Partai Islam, No!” masih sangat relevan. Apalagi, semakin banyaknya partai politik (parpol) peserta pemilu yang mengatas namakan partai Islam. Jika kita belajar dari pemilu sebelumnya, terlihat sekali bagaimana parpol Islam justru tidak mewakili kepentingan umat Islam.
Bahkan, rekam jejak elit parpol itu justru menampilkan prilaku yang sangat tercela dan bertentangan dengan Islam. Pendek kata, parpol itu hanya memakai Islam sebagai sarana meraup suara rakyat dan kendaraan politik elit parpol mengejar syahwat dan nafsu kekuasaan. Lebih kejam lagi, tidak jarang elit parpol menggunakan determinisme itu (partai Islam Vs Non-Islam), sebagai strategi menggemboskan basis massa partai lain, yang kebetulan tidak sehaluan.
Sudah saatnya rakyat kita dituntut kritis, khususnya dalam memilih parpol. Singkatnya, rakyat harus jeli dan seksama dalam mencermati visi, misi dan elit sebuah parpol. Jika meminjam konsep Cak Nur, partai apa saja jika membawa visi, misi dan nilai-nilai universal Islam, harus didukung. Sebaliknya, meski mengaku partai Islam, tetapi visi, misi dan prilaku elitnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, patut ditinggalkan dan dijauhi. Kearifan inilah yang mesti dikedepankan umat Islam dalam konteks relasi agama, politik dan negara.
Pada akhirnya, Cak Nur memang boleh tiada badan wadaknya. Tetapi, buah pemikirannya akan terus hidup. Pemahaman kita yang arif dan holistik pada pemikiran Cak Nur, diharapkan membawa angin segar dalam kehidupan kebangsaan. Semoga.[]
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus