Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Bali Pos
Edisi Sabtu 2 Mei 2009
Dimuat Harian Bali Pos
Edisi Sabtu 2 Mei 2009
Sejarah mencatat, para founding father merintis pendidikan bangsa, agar semua rakyat bisa mengaksesnya. Ki Hajar Dewantara, misalnya, melalui Taman Siswa berharap agar pendidikan bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Menurut Ki Hajar, pendidikan merupakan alat efektif untuk membangkitkan kesadaran bangsa ini dari kebodohan dan penjajahan. Itu karena melalui pendidikan, akan terjadi proses humanisasi melalui pengangkatan manusia ke taraf insani. Singkatnya, pendidikan merupakan usaha membawa manusia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir sifat alami kemanusiaan (humannes).
Apakah pendidikan kita saat ini sudah sesuai dengan cita-cita para founding father? Apakah semua rakyat Indonesia sudah bisa menikmati atau mengakses pendidikan tanpa diskriminasi? Jika jawabannya belum, lantas apa yang salah dalam sistem pendidikan kita?
Harus diakui, bangsa ini tengah menunggu janji implimentasi pendidikan yang mencerdaskan, membawa kehidupan bangsa yang beradab, berdaya saing tinggi, berkualitas dan mandiri. Namun sayang, sejarah pendidikan negeri ini selalu diwarnai kepentingan politik praktis dan kerdil oleh segelintir orang sehingga pendidikan tidak mampu melakukan hal-hal yang konstruktif. Realitas membuktikan bahwa pendidikan selalu diarahkan untuk membenarkan kepentingan penguasa dan kroni-kroninya. Singkatnya, pendidikan lebih sering berada dalam penjara kekuasaan sehingga ia pun tidak bisa meningkatkan kualitas bangsa ini.
Bukti yang bisa kita rasakan; lahirnya beberapa kebijakan pendidikan yang cukup elitis dan merugikan masyarakat. Ketika era Orde Baru, pendidikan hanya diarahkan untuk kepentingan para pemodal. Pendidikan ditujukan untuk mencetak para pekerja yang bisa dibayar dengan upah murah. Saat Orde Baru pula, kebebasan dalam dunia pendidikan, khususnya dunia kampus pun dipasung dengan sedemikian durjana sehingga rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali terkekang dalam pembungkaman kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ironisnya lagi, pascareformasi yang diharapkan mampu membawa angin perubahan bagi dunia pendidikan, ternyata tidak beranjak dari persoalan-persoalan yang semakin parah dan amburadul.
Adanya kebijakan otonomi pendidikan yang kemudian memberikan hak sepenuhnya kepada setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, memberikan satu bukti kongkret, pendidikan berada dalam kerentanan komersialisasi. Sehingga wajar jika pendidikan pun menjadi komoditas yang siap diperjualbelikan dengan harga sangat tinggi. Akhirnya, hanya kelompok yang berkantong tebal (berduit) saja yang bisa menikmati dunia pendidikan. Sementara masyarakat kelas menengah ke bawah yang hidup di bawah garis kemiskinan, akan terjauhkan dengan sendirinya untuk mengenyam pendidikan. Ini belum lagi berbicara sejumlah kebijakan pendidikan lainnya seperti UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang memberikan amanat untuk sesegera mungkin merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4. Kendatipun pemerintah telah memasukkan anggaran 20% di RAPBN 2009, itu pun belum bisa menjadi satu harapan bahwa akan bisa direalisasikan dengan sempurna. Sebab, utang negara kita sangat besar dengan jumlah Rp 1.300 triliun ketimbang RAPBN 2009 yang dipatok Rp 1.222 triliun.
Jika dilihat dari filosofi, pendidikan yang mestinya dimaknai secara luas, ternyata hanya dipahami sebagai proses formal atau sekadar proses alih pengetahuan. Karena ranah afektif dan psikomotorik terlupakan, maka pendidikan tidak mampu lagi menjadi sarana liberasi, yakni sebagai sebuah proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekakan dan memberdayakan para pelajar. Tidak heran jika spirit kebebasan dan pencerahan, sulit ditemukan dalam sistem seperti itu.
Spirit Hardiknas
Melalui momentum Hardiknas kali ini, semua pihak harus bersama-sama menata dan mengembalikan pendidikan untuk rakyat. Khittah itulah yang dulu dicita-citakan para founding father. Lebih dari itu, spirit Hardiknas harus diwujudkan paling tidak dalam dua hal.
Pertama, ditanamkannya nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan dan egalitarianisme: khususnya dalam penyusunan visi dan tujuan pendidikan, desain konsep pembelajaran, metode pengajaran, kurikulum, biaya sekolah, peningkatan karier dan gaji guru.
Kedua, dalam praktik pendidikan dengan mengimplementasikan spirit kemerdekaan dalam seluruh proses pembelajaran; interaksi antara siswa dengan guru, sesama guru, dan antarsiswa. Misalnya melalui pengajaran yang kontekstual, dialog dan presentasi, pelajaran yang interaktif dan partisipatoris, penilaian yang transparan, dan sebagainya.
Selanjutnya institusi atau lembaga pendidikan yang ada, harus bisa diakses oleh setiap orang yang memiliki aspirasi dan kepentingan untuk belajar. Ini menandaskan bahwa pendidikan sebagai bagian dari proyek pembebasan adalah hak setiap orang, maka semua orang bisa pergi ke sekolah atau terlibat dalam pendidikan, secara formal atau nonformal.
Tidak kalah pentingnya, pendidikan perlu menanamkan sikap kritis anak didik. Melalui model pendidikan seperti itu, diharapkan terlahir manusia-manusia kritis yang mampu melihat aneka tantangan dari zamannya, berani membicarakan berbagai masalah lingkungan, dan ikut menangani lingkungannya.
Dalam konteks demokratisasi, pendidikan akan menjadi institusi yang dapat menginternalisasikan dan mensosialisasikan nilai-nilai kemerdekaan, prinsip kemandirian, dan nilai hak asasi manusia dalam diri anak didik. Pada gilirannya, pendidikan akan menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia. [] Penulis, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Apakah pendidikan kita saat ini sudah sesuai dengan cita-cita para founding father? Apakah semua rakyat Indonesia sudah bisa menikmati atau mengakses pendidikan tanpa diskriminasi? Jika jawabannya belum, lantas apa yang salah dalam sistem pendidikan kita?
Harus diakui, bangsa ini tengah menunggu janji implimentasi pendidikan yang mencerdaskan, membawa kehidupan bangsa yang beradab, berdaya saing tinggi, berkualitas dan mandiri. Namun sayang, sejarah pendidikan negeri ini selalu diwarnai kepentingan politik praktis dan kerdil oleh segelintir orang sehingga pendidikan tidak mampu melakukan hal-hal yang konstruktif. Realitas membuktikan bahwa pendidikan selalu diarahkan untuk membenarkan kepentingan penguasa dan kroni-kroninya. Singkatnya, pendidikan lebih sering berada dalam penjara kekuasaan sehingga ia pun tidak bisa meningkatkan kualitas bangsa ini.
Bukti yang bisa kita rasakan; lahirnya beberapa kebijakan pendidikan yang cukup elitis dan merugikan masyarakat. Ketika era Orde Baru, pendidikan hanya diarahkan untuk kepentingan para pemodal. Pendidikan ditujukan untuk mencetak para pekerja yang bisa dibayar dengan upah murah. Saat Orde Baru pula, kebebasan dalam dunia pendidikan, khususnya dunia kampus pun dipasung dengan sedemikian durjana sehingga rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali terkekang dalam pembungkaman kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ironisnya lagi, pascareformasi yang diharapkan mampu membawa angin perubahan bagi dunia pendidikan, ternyata tidak beranjak dari persoalan-persoalan yang semakin parah dan amburadul.
Adanya kebijakan otonomi pendidikan yang kemudian memberikan hak sepenuhnya kepada setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, memberikan satu bukti kongkret, pendidikan berada dalam kerentanan komersialisasi. Sehingga wajar jika pendidikan pun menjadi komoditas yang siap diperjualbelikan dengan harga sangat tinggi. Akhirnya, hanya kelompok yang berkantong tebal (berduit) saja yang bisa menikmati dunia pendidikan. Sementara masyarakat kelas menengah ke bawah yang hidup di bawah garis kemiskinan, akan terjauhkan dengan sendirinya untuk mengenyam pendidikan. Ini belum lagi berbicara sejumlah kebijakan pendidikan lainnya seperti UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang memberikan amanat untuk sesegera mungkin merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4. Kendatipun pemerintah telah memasukkan anggaran 20% di RAPBN 2009, itu pun belum bisa menjadi satu harapan bahwa akan bisa direalisasikan dengan sempurna. Sebab, utang negara kita sangat besar dengan jumlah Rp 1.300 triliun ketimbang RAPBN 2009 yang dipatok Rp 1.222 triliun.
Jika dilihat dari filosofi, pendidikan yang mestinya dimaknai secara luas, ternyata hanya dipahami sebagai proses formal atau sekadar proses alih pengetahuan. Karena ranah afektif dan psikomotorik terlupakan, maka pendidikan tidak mampu lagi menjadi sarana liberasi, yakni sebagai sebuah proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekakan dan memberdayakan para pelajar. Tidak heran jika spirit kebebasan dan pencerahan, sulit ditemukan dalam sistem seperti itu.
Spirit Hardiknas
Melalui momentum Hardiknas kali ini, semua pihak harus bersama-sama menata dan mengembalikan pendidikan untuk rakyat. Khittah itulah yang dulu dicita-citakan para founding father. Lebih dari itu, spirit Hardiknas harus diwujudkan paling tidak dalam dua hal.
Pertama, ditanamkannya nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan dan egalitarianisme: khususnya dalam penyusunan visi dan tujuan pendidikan, desain konsep pembelajaran, metode pengajaran, kurikulum, biaya sekolah, peningkatan karier dan gaji guru.
Kedua, dalam praktik pendidikan dengan mengimplementasikan spirit kemerdekaan dalam seluruh proses pembelajaran; interaksi antara siswa dengan guru, sesama guru, dan antarsiswa. Misalnya melalui pengajaran yang kontekstual, dialog dan presentasi, pelajaran yang interaktif dan partisipatoris, penilaian yang transparan, dan sebagainya.
Selanjutnya institusi atau lembaga pendidikan yang ada, harus bisa diakses oleh setiap orang yang memiliki aspirasi dan kepentingan untuk belajar. Ini menandaskan bahwa pendidikan sebagai bagian dari proyek pembebasan adalah hak setiap orang, maka semua orang bisa pergi ke sekolah atau terlibat dalam pendidikan, secara formal atau nonformal.
Tidak kalah pentingnya, pendidikan perlu menanamkan sikap kritis anak didik. Melalui model pendidikan seperti itu, diharapkan terlahir manusia-manusia kritis yang mampu melihat aneka tantangan dari zamannya, berani membicarakan berbagai masalah lingkungan, dan ikut menangani lingkungannya.
Dalam konteks demokratisasi, pendidikan akan menjadi institusi yang dapat menginternalisasikan dan mensosialisasikan nilai-nilai kemerdekaan, prinsip kemandirian, dan nilai hak asasi manusia dalam diri anak didik. Pada gilirannya, pendidikan akan menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia. [] Penulis, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar