Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi Senin, 13 April 2009
KOMITMEN Wali Kota Herry Zudianto menjadikan Yogyakarta sebagai ’’kota dalam taman’’, patut didukung. Itu artinya, telah timbul kesadaran sekaligus ide cerdas dari stakeholder untuk mempertahankan keberadaan taman kota.
Tidak dimungkiri, Yogyakarta memang kaya akan taman kota. Sebut antara lain Taman Devider Jalan Mangkubumi, Taman Trotoar Jalan Sudirman, Taman Trotoar Jalan Ipda Tut Harsono, Taman Median Jalan Suroto, dan Taman Pot Jalan Urip Sumoharjo.
Hanya, saat ini keberadaan dan kondisinya amat memprihatinkan. Beberapa memang masih dirawat secara serius, tetapi sebagian besar tampak terbengkalai. Bahkan, beberapa telah beralih fungsi sebagai shalter bus atau kawasan bagi pedagang kaki lima (PKL).
Karena alih fungsi pula, keberadaan taman kota Yogyakarta masuk dalam katagori ’’tidak nyaman’’ berdasar Klasifikasi Indeks Ketidaknyamanan. Kondisi nyaman hanya bisa dirasakan pada pagi dan sore hari. Sementara, pada siang hari kondisi amat tidak nyaman dengan kisaran suhu 35,5-36,3 derajat Celcius dan kelembapan 38-41 persen, di bawah tajuk suhu antara 34,2-34,9 derajat dan kelembapan 40-42 persen.
Kondisi demikian, tentu menimbulkan keprihatinan kita bersama. Pasalnya, keberadaan taman kota yang dioptimalkan memiliki fungsi urgen. Pertama, sebagai lahan terbuka hijau yang membantu fungsi hidrologi, khususnya proses penyerapan air dan mereduksi potensi banjir.
Itu karena pepohonan melalui perakarannya, mampu meresapkan air ke dalam tanah sehingga mengurangi kemungkinan terjadi banjir. Konon, untuk setiap hektar taman kota mampu menyimpan 900 m3 air tanah per tahun.
Kedua, sebagai penjaga kesehatan masyarakat. Taman yang penuh pepohonan, akan menjadi paru-paru kota atau penyuplai gas oksigen. Berdasar penelitian, setiap satu hektar taman kota yang optimal mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk per hari, membuat dapat bernapas dengan lega.
Terkait dengan fungsi kesehatan, tulis Suntoro WA (2007), taman kota dapat berfungsi sebagai filter berbagai gas pencemar dan debu, pengikat karbon, pengatur iklim mikro.
Ketiga, taman kota berfungsi ekologis; yaitu sebagai penjaga kualitas lingkungan kota. Keempat, taman kota dapat juga sebagai tempat berolah raga dan rekreasi yang mempunyai nilai sosial, ekonomi, dan edukatif. Kelima, taman kota berfungsi estetika.
Artinya, dengan terpelihara dan tertatanya taman kota dengan baik akan meningkatkan kebersihan dan keindahan lingkungan, sehingga akan memiliki nilai estetika. Taman kota yang indah, dapat juga digunakan warga setempat untuk memperoleh sarana rekreasi dan tempat anak-anak bermain dan belajar.
Partisipasi Masyarakat
Maka, tidaklah berlebihan jika wali kota Hery Zudianto sangat antusias merevitalisasi taman kota. Langkah wali kota itu perlu didukung dengan kebijakan strategis dari pemerintah kota (pemkot) yang dibantu pemerintah provinsi (pemprov). Pertama, melakukan perencanaan disertai analisis kebijakan yang matang dan jelas. Selanjutnya, kebijakan itu disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat dan instansi terkait.
Tujuan sosialisasi ini, agar masyarakat bisa menyesuaikan diri serta dengan legowo mendukungnya. Tidak kalah pentingnya, perencanaan taman kota diarahkan untuk semakin memperkokoh identitas Yogyakarta sebagai kota budaya sekaligus tujuan wisata.
Kedua, adanya aturan untuk mempertahankan taman kota yang telah ada. Jika perlu, dalam aturan itu dijelaskan secara spesifik apa saja yang harus dijaga; misalnya aturan tentang pohon-pohon yang besar perlu dilindungi sebagai cagar budidaya tanaman, dan sebagainya. Adanya aturan demikian, juga menunjukkan keseriusan sekaligus komitmen pemkot dan pemprop untuk mempertahankan taman kota.
Ketiga, taman kota perlu dilengkapi dengan city walk sebagaimana taman kota yang ada di sekitar Guonzhou China. Tujuannya, agar kesejukan dan kesegaran taman bisa dinikmati lebih dekat oleh masyarakat, sembari menikmati indahnya panorama kota.
Keempat, perlu dialokasikan lebih banyak lahan guna pengembangan taman kota. Pasalnya, keberadaan taman kota di sekitar pemukiman banyak yang dialih fungsikan oleh masyarakat untuk alasan fasilitas bersama berbentuk bangunan permanen, seperti tempat/gedung olah raga, tempat ibadah, atau balai/kantor RW.
Belajar dari Malaysia, mereka menetapkan standar pemenuhan kebutuhan tamannya 1,9 m2/orang, sementara di Jepang minimal 5 m2/orang.
Kelima, secara makro keberadaan taman kota juga perlu diikuti revitalisasi ruang terbuka hijau; misalnya dengan memanfaatkan sarana umum seperti taman pemakaman umum, lapangan olahraga, jalur hijau jalan raya, bantaran sungai, dan lahan-lahan tidur lainnya.
Keenam, taman kota perlu dilengkapi fasilitas ’’hotspot gratis’’, khususnya pada taman-taman kota yang letaknya strategis, seperti taman di Jalan Suroto, Kotabaru, Taman “Senthe” di sekitar parkir Abu Bakar Ali, dan taman di kawasan nol kilometer.
Tujuannya, di samping masyarakat lebih betah duduk berlama-lama di taman, mereka juga bisa sambil berselancar di dunia maya. Hal ini tentunya akan semakin membuat kerasan para pelajar dan mahasiswa; selain juga dapat menarik minat calon pelajar dan mahasiswa dari luar daerah memilih Yogyakarta sebagai tempat menuntut ilmu.
Begitu penting keberadaan taman kota, maka tidak ada pilihan bagi kota (pemkot), (pemprov) dan masyarakat Yogyakarta kecuali segera merealisasikannya. Benar menciptakan taman kota perlu proses yang panjang, namun perlu terus diupayakan; dengan mempertahankan yang sudah ada atau membangun yang baru. (35) — Agus Wibowo, peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi Senin, 13 April 2009
KOMITMEN Wali Kota Herry Zudianto menjadikan Yogyakarta sebagai ’’kota dalam taman’’, patut didukung. Itu artinya, telah timbul kesadaran sekaligus ide cerdas dari stakeholder untuk mempertahankan keberadaan taman kota.
Tidak dimungkiri, Yogyakarta memang kaya akan taman kota. Sebut antara lain Taman Devider Jalan Mangkubumi, Taman Trotoar Jalan Sudirman, Taman Trotoar Jalan Ipda Tut Harsono, Taman Median Jalan Suroto, dan Taman Pot Jalan Urip Sumoharjo.
Hanya, saat ini keberadaan dan kondisinya amat memprihatinkan. Beberapa memang masih dirawat secara serius, tetapi sebagian besar tampak terbengkalai. Bahkan, beberapa telah beralih fungsi sebagai shalter bus atau kawasan bagi pedagang kaki lima (PKL).
Karena alih fungsi pula, keberadaan taman kota Yogyakarta masuk dalam katagori ’’tidak nyaman’’ berdasar Klasifikasi Indeks Ketidaknyamanan. Kondisi nyaman hanya bisa dirasakan pada pagi dan sore hari. Sementara, pada siang hari kondisi amat tidak nyaman dengan kisaran suhu 35,5-36,3 derajat Celcius dan kelembapan 38-41 persen, di bawah tajuk suhu antara 34,2-34,9 derajat dan kelembapan 40-42 persen.
Kondisi demikian, tentu menimbulkan keprihatinan kita bersama. Pasalnya, keberadaan taman kota yang dioptimalkan memiliki fungsi urgen. Pertama, sebagai lahan terbuka hijau yang membantu fungsi hidrologi, khususnya proses penyerapan air dan mereduksi potensi banjir.
Itu karena pepohonan melalui perakarannya, mampu meresapkan air ke dalam tanah sehingga mengurangi kemungkinan terjadi banjir. Konon, untuk setiap hektar taman kota mampu menyimpan 900 m3 air tanah per tahun.
Kedua, sebagai penjaga kesehatan masyarakat. Taman yang penuh pepohonan, akan menjadi paru-paru kota atau penyuplai gas oksigen. Berdasar penelitian, setiap satu hektar taman kota yang optimal mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk per hari, membuat dapat bernapas dengan lega.
Terkait dengan fungsi kesehatan, tulis Suntoro WA (2007), taman kota dapat berfungsi sebagai filter berbagai gas pencemar dan debu, pengikat karbon, pengatur iklim mikro.
Ketiga, taman kota berfungsi ekologis; yaitu sebagai penjaga kualitas lingkungan kota. Keempat, taman kota dapat juga sebagai tempat berolah raga dan rekreasi yang mempunyai nilai sosial, ekonomi, dan edukatif. Kelima, taman kota berfungsi estetika.
Artinya, dengan terpelihara dan tertatanya taman kota dengan baik akan meningkatkan kebersihan dan keindahan lingkungan, sehingga akan memiliki nilai estetika. Taman kota yang indah, dapat juga digunakan warga setempat untuk memperoleh sarana rekreasi dan tempat anak-anak bermain dan belajar.
Partisipasi Masyarakat
Maka, tidaklah berlebihan jika wali kota Hery Zudianto sangat antusias merevitalisasi taman kota. Langkah wali kota itu perlu didukung dengan kebijakan strategis dari pemerintah kota (pemkot) yang dibantu pemerintah provinsi (pemprov). Pertama, melakukan perencanaan disertai analisis kebijakan yang matang dan jelas. Selanjutnya, kebijakan itu disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat dan instansi terkait.
Tujuan sosialisasi ini, agar masyarakat bisa menyesuaikan diri serta dengan legowo mendukungnya. Tidak kalah pentingnya, perencanaan taman kota diarahkan untuk semakin memperkokoh identitas Yogyakarta sebagai kota budaya sekaligus tujuan wisata.
Kedua, adanya aturan untuk mempertahankan taman kota yang telah ada. Jika perlu, dalam aturan itu dijelaskan secara spesifik apa saja yang harus dijaga; misalnya aturan tentang pohon-pohon yang besar perlu dilindungi sebagai cagar budidaya tanaman, dan sebagainya. Adanya aturan demikian, juga menunjukkan keseriusan sekaligus komitmen pemkot dan pemprop untuk mempertahankan taman kota.
Ketiga, taman kota perlu dilengkapi dengan city walk sebagaimana taman kota yang ada di sekitar Guonzhou China. Tujuannya, agar kesejukan dan kesegaran taman bisa dinikmati lebih dekat oleh masyarakat, sembari menikmati indahnya panorama kota.
Keempat, perlu dialokasikan lebih banyak lahan guna pengembangan taman kota. Pasalnya, keberadaan taman kota di sekitar pemukiman banyak yang dialih fungsikan oleh masyarakat untuk alasan fasilitas bersama berbentuk bangunan permanen, seperti tempat/gedung olah raga, tempat ibadah, atau balai/kantor RW.
Belajar dari Malaysia, mereka menetapkan standar pemenuhan kebutuhan tamannya 1,9 m2/orang, sementara di Jepang minimal 5 m2/orang.
Kelima, secara makro keberadaan taman kota juga perlu diikuti revitalisasi ruang terbuka hijau; misalnya dengan memanfaatkan sarana umum seperti taman pemakaman umum, lapangan olahraga, jalur hijau jalan raya, bantaran sungai, dan lahan-lahan tidur lainnya.
Keenam, taman kota perlu dilengkapi fasilitas ’’hotspot gratis’’, khususnya pada taman-taman kota yang letaknya strategis, seperti taman di Jalan Suroto, Kotabaru, Taman “Senthe” di sekitar parkir Abu Bakar Ali, dan taman di kawasan nol kilometer.
Tujuannya, di samping masyarakat lebih betah duduk berlama-lama di taman, mereka juga bisa sambil berselancar di dunia maya. Hal ini tentunya akan semakin membuat kerasan para pelajar dan mahasiswa; selain juga dapat menarik minat calon pelajar dan mahasiswa dari luar daerah memilih Yogyakarta sebagai tempat menuntut ilmu.
Begitu penting keberadaan taman kota, maka tidak ada pilihan bagi kota (pemkot), (pemprov) dan masyarakat Yogyakarta kecuali segera merealisasikannya. Benar menciptakan taman kota perlu proses yang panjang, namun perlu terus diupayakan; dengan mempertahankan yang sudah ada atau membangun yang baru. (35) — Agus Wibowo, peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar