Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi Rabu, 25 Maret 2009
YOGYAKARTA merupakan satu-satunya kota di Indonesia, yang mendapat gelar The League of Historical Cities bersama 88 kota besar bersejarah seperti Kyoto, Paris, London, Boston, dan sebagainya. Gelar itu diberikan lantaran Yogyakarta kaya akan situs atau peninggalan masa lalu, yang unik dan khas. Misalnya seni arsitektur tempat tinggal, benteng, keraton, sistem perkampungan, fasilitas ekonomi (pasar), alat transportasi, makanan (kuliner), bahasa, dan lain-lain.
Sebagian besar peninggalan bersejarah itu, disimpan dalam museum yang tersebar di berbagai penjuru kota; antara lain Museum Sonobudoyo, Museum Perjuangan, Monumen Yogya Kembali, Museum Benteng Vredeburg, dan Museum Wayang. Karena banyak museum itu pula, Yogyakarta kemudian diberi julukan Kota Museum.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah dengan penyandangan predikat Kota Museum itu apresiasi masyarakat pada sejarah menjadi semakin baik? Apakah sudah timbul kesadaran dalam masyarakat ikut memiliki (handarbeni) museum-museum yang ada, sehingga tergerak untuk menjaganya? Bagaimana upaya yang efektif untuk menghidupkan museum, sehingga menyumbang kontribusi positif bagi masyarakat?
Sepi Pengunjung
Pertanyaan itu memang penting diajukan. Pasalnya, saat ini eksistensi dan kelanjutan hidup museum makin memprihatinkan. Dari aspek fisik, misalnya, beberapa bagunan museum terkesan kurang terawat. Konon, faktor keterbatasan anggaran yang menyebabkan pengelola tidak melakukan program perawatan museum secara berkala.
Yang amat memprihatinkan, apresiasi dan gairah masyarakat untuk datang ke museum semakin berkurang. Apalagi, kalangan generasi muda, sangat sedikit yang berminat mengunjungi museum. Bisa dibilang, museum-museum di kota Yogyakarta saat ini semakin sepi pengunjung.
Fenomena kerendahan apresiasi masyarakat terhadap museum, yang ditandai dengan semakin berkurang jumlah pengunjung, boleh jadi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, keminiman promosi dan sosialisasi yang dilakukan pihak pengelola, atau jika dilakukan kurang menarik. Akibatnya, sebagian besar masyarakat kurang begitu paham akan keberadaan museum, sehingga wajar jika tidak timbul ’’greget’’ untuk mengunjungi.
Kedua, keminiman kerja sama —untuk mengatakan tidak ada— antara pengelola museum dengan institusi-institusi pendidikan, atau lembaga-lembaga yang intens pada kajian sejarah. Ketiga, ketidakterlibatan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan museum.
Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, selain segera melakukan langkah-langkah strategis guna menghidupkan museum.
Jika sampai terlambat, bukan tidak mungkin museum akan ditinggalkan masyarakat, terutama kalangan generasi muda. Kalau sudah demikian, masyarakat dan generasi muda —meminjam istilah Mu’arif (2008), akan menderita ’’amnesia sejarah’’, atau tidak memahami sejarah masa lalunya.
Paradigma Partisipatoris
Karena itu sudah saatnya semua pihak melakukan langkah-langkah strategis untuk menghidupkan kembali museum. Pertama, dibangun paradigma museum dari dan untuk rakyat, atau paradigma pengelolaan partisipatoris. Artinya, pengelolaan museum bukan lagi menjadi monopoli pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat. Model paradigma seperti ini, jauh hari sudah diterapkan pada pengelolaan museum sejarah kota Seoul di Korea Selatan, dan museum Fatahillah Jakarta.
Di Museum Fatahillah, misalnya, masyarakat bahkan rela menyumbangkan benda-benda bersejarah yang menjadi koleksi pribadi kepada museum. Karena itu sampai saat ini, tercatat lebih dari 200 benda koleksi museum yang berasal dari sumbangan masyarakat.
Kedua, pengelola museum harus mampu menjalin kerja sama yang baik dengan semua pihak, khususnya institusi pendidikan atau lembaga-lembaga yang intens pada kajian sejarah. Kerja sama dengan institusi pendidikan, misalnya, museum menjadi salah-satu sumber belajar sehingga pembelajaran sejarah menjadi lebih menarik dan menyenangkan.
Jika memungkinkan, pengelola museum perlu membuat program museum school atau sekolah museum. Di situ, semua orang yang ingin memperdalam seluk-beluk sejarah bisa mendapat informasi akurat dan data yang lengkap.
Melalui program tersebut, diharapkan museum bisa berfungsi menjadi sarana pendidikan dan hiburan atau rekreasi. Tujuannya agar masyarakat bisa memperoleh pencerahan sekaligus refresing setelah sekian waktu berkutat dengan beban kehidupan yang semakin pelik.
Keempat, untuk mengamankan koleksi museum, perlu dibuat sistem teknologi informasi yang maju, serta memakai peralatan modern. Misalnya, dengan memasang kamera tersembunyi (CCTV), microradio di tempat menaruh benda koleksi dan sebagainya. Teknologi informasi —yang canggih dan terintegrasi—juga akan menciptakan museum sebagaimana keadaan sesungguhnya, sehingga pengunjung seolah-olah tengah berwisata pada masa lalu.
Langkah-langkah menghidupkan museum itu, perlu didukung dengan kebijakan Pemkot dan Pemprov. Misalnya, kebijakan pengembangan kota setidaknya harus mengindahkan aspek sejarah; pembangunan berbagai infra-suprastruktur kota tidak merusak atau mengurangi nilai sejarah dari situs atau cagar budaya.
Singkatnya, pembangunan Kota Yogyakarta harus diarahkan sehingga tidak merusak cagar budaya dan berbagai situs bersejarah, tetapi justru memperbaiki atau merevitalisasi daya dukungnya. (35) —Agus Wibowo, peneliti dan mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi Rabu, 25 Maret 2009
YOGYAKARTA merupakan satu-satunya kota di Indonesia, yang mendapat gelar The League of Historical Cities bersama 88 kota besar bersejarah seperti Kyoto, Paris, London, Boston, dan sebagainya. Gelar itu diberikan lantaran Yogyakarta kaya akan situs atau peninggalan masa lalu, yang unik dan khas. Misalnya seni arsitektur tempat tinggal, benteng, keraton, sistem perkampungan, fasilitas ekonomi (pasar), alat transportasi, makanan (kuliner), bahasa, dan lain-lain.
Sebagian besar peninggalan bersejarah itu, disimpan dalam museum yang tersebar di berbagai penjuru kota; antara lain Museum Sonobudoyo, Museum Perjuangan, Monumen Yogya Kembali, Museum Benteng Vredeburg, dan Museum Wayang. Karena banyak museum itu pula, Yogyakarta kemudian diberi julukan Kota Museum.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah dengan penyandangan predikat Kota Museum itu apresiasi masyarakat pada sejarah menjadi semakin baik? Apakah sudah timbul kesadaran dalam masyarakat ikut memiliki (handarbeni) museum-museum yang ada, sehingga tergerak untuk menjaganya? Bagaimana upaya yang efektif untuk menghidupkan museum, sehingga menyumbang kontribusi positif bagi masyarakat?
Sepi Pengunjung
Pertanyaan itu memang penting diajukan. Pasalnya, saat ini eksistensi dan kelanjutan hidup museum makin memprihatinkan. Dari aspek fisik, misalnya, beberapa bagunan museum terkesan kurang terawat. Konon, faktor keterbatasan anggaran yang menyebabkan pengelola tidak melakukan program perawatan museum secara berkala.
Yang amat memprihatinkan, apresiasi dan gairah masyarakat untuk datang ke museum semakin berkurang. Apalagi, kalangan generasi muda, sangat sedikit yang berminat mengunjungi museum. Bisa dibilang, museum-museum di kota Yogyakarta saat ini semakin sepi pengunjung.
Fenomena kerendahan apresiasi masyarakat terhadap museum, yang ditandai dengan semakin berkurang jumlah pengunjung, boleh jadi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, keminiman promosi dan sosialisasi yang dilakukan pihak pengelola, atau jika dilakukan kurang menarik. Akibatnya, sebagian besar masyarakat kurang begitu paham akan keberadaan museum, sehingga wajar jika tidak timbul ’’greget’’ untuk mengunjungi.
Kedua, keminiman kerja sama —untuk mengatakan tidak ada— antara pengelola museum dengan institusi-institusi pendidikan, atau lembaga-lembaga yang intens pada kajian sejarah. Ketiga, ketidakterlibatan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan museum.
Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, selain segera melakukan langkah-langkah strategis guna menghidupkan museum.
Jika sampai terlambat, bukan tidak mungkin museum akan ditinggalkan masyarakat, terutama kalangan generasi muda. Kalau sudah demikian, masyarakat dan generasi muda —meminjam istilah Mu’arif (2008), akan menderita ’’amnesia sejarah’’, atau tidak memahami sejarah masa lalunya.
Paradigma Partisipatoris
Karena itu sudah saatnya semua pihak melakukan langkah-langkah strategis untuk menghidupkan kembali museum. Pertama, dibangun paradigma museum dari dan untuk rakyat, atau paradigma pengelolaan partisipatoris. Artinya, pengelolaan museum bukan lagi menjadi monopoli pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat. Model paradigma seperti ini, jauh hari sudah diterapkan pada pengelolaan museum sejarah kota Seoul di Korea Selatan, dan museum Fatahillah Jakarta.
Di Museum Fatahillah, misalnya, masyarakat bahkan rela menyumbangkan benda-benda bersejarah yang menjadi koleksi pribadi kepada museum. Karena itu sampai saat ini, tercatat lebih dari 200 benda koleksi museum yang berasal dari sumbangan masyarakat.
Kedua, pengelola museum harus mampu menjalin kerja sama yang baik dengan semua pihak, khususnya institusi pendidikan atau lembaga-lembaga yang intens pada kajian sejarah. Kerja sama dengan institusi pendidikan, misalnya, museum menjadi salah-satu sumber belajar sehingga pembelajaran sejarah menjadi lebih menarik dan menyenangkan.
Jika memungkinkan, pengelola museum perlu membuat program museum school atau sekolah museum. Di situ, semua orang yang ingin memperdalam seluk-beluk sejarah bisa mendapat informasi akurat dan data yang lengkap.
Melalui program tersebut, diharapkan museum bisa berfungsi menjadi sarana pendidikan dan hiburan atau rekreasi. Tujuannya agar masyarakat bisa memperoleh pencerahan sekaligus refresing setelah sekian waktu berkutat dengan beban kehidupan yang semakin pelik.
Keempat, untuk mengamankan koleksi museum, perlu dibuat sistem teknologi informasi yang maju, serta memakai peralatan modern. Misalnya, dengan memasang kamera tersembunyi (CCTV), microradio di tempat menaruh benda koleksi dan sebagainya. Teknologi informasi —yang canggih dan terintegrasi—juga akan menciptakan museum sebagaimana keadaan sesungguhnya, sehingga pengunjung seolah-olah tengah berwisata pada masa lalu.
Langkah-langkah menghidupkan museum itu, perlu didukung dengan kebijakan Pemkot dan Pemprov. Misalnya, kebijakan pengembangan kota setidaknya harus mengindahkan aspek sejarah; pembangunan berbagai infra-suprastruktur kota tidak merusak atau mengurangi nilai sejarah dari situs atau cagar budaya.
Singkatnya, pembangunan Kota Yogyakarta harus diarahkan sehingga tidak merusak cagar budaya dan berbagai situs bersejarah, tetapi justru memperbaiki atau merevitalisasi daya dukungnya. (35) —Agus Wibowo, peneliti dan mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus