Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi 3 Maret 2009
LANGKAH kreatif Perpustakaan dan Arsip Daerah (Perpusda) Karanganyar memberdayakan perpustakaan desa (perpusdes) di wilayahnya, patut disambut positif. Itu artinya, stakeholder —dalam hal tersebut Perpusda Karanganyar— memiliki kepedulian terhadap pertumbuhan perpusdes, sekaligus mendorong tumbuhnya budaya baca di masyarakat.
Guna merangsang pengelola perpusdes, Perpusda Karanganyar melakukan kegiatan rutin berupa lomba. Melalui lomba itu, diharapkan muncul terobosan atau ide-ide kreatif dari setiap perpusdes, sehingga nantinya bisa menjadi percontohan bagi daerah-daerah lain.
Upaya Perpusda Karanganyar itu, tentu saja patut dicontoh dan diikuti oleh daerah-daerah lain di Jawa Tengah (Jateng) maupun Yogyakarta (DIY). Sebab, sampai sekarang peran perpusdes di kedua daerah itu kurang optimal. Bukan hanya dari segi kuantitas —yang tidak sebanding dengan luas wilayah kerjanya—, melainkan juga berkait dengan kualitas dan berbagai sarana penunjangnya.
Sebagai gambaran, di DIY baru terdapat 40 perpusdes; itu pun dengan kondisi yang amat memrihatinkan. Bukan hanya minimnya koleksi buku, keterbatasan tempat, melainkan juga kurangnya perhatian, baik dari pemerintah pusat, maupun perangkat desa (Perpusda DIY, 2008).
Sementara itu, jika dilihat dari aspek manajemen, perpusde
s di sebagian besar wilayah Jateng dan DIY berkesan kurang profesional —bisa dibilang asal-asalan. Sebagai contoh belum dibuatnya klasifikasi buku, referensi induk, sirkulasi peminjaman, dan segi artistik lainnya.
Memang, dengan penataan yang masih sederhana saja, sambutan masyarakat terhadap perpusdes cukup positif. Apalagi, kalau dikelola secara baik layaknya perpustakaan di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi, tentu semakin banyak masyarakat yang menggunjunginya, khususnya, anak-anak yang sangat menggemari buku-buku pelajaran maupun cerita.
Pertanyaanya, bagaimana upaya memberdayakan perpusdes sehingga memiliki kontribusi positif bagi masyarakat di sekitarnya? Siapa saja yang harus dilibatkan dalam pemberdayaan itu?
Masyarakat Beradab
Tidak dimungkiri, pemberdayaan perpusdes akan berpengaruh positif kepada masyarakat di sekitarnya. Itu karena perpusdes bisa menjadi sarana hiburan/ rekreasi maupun sarana pencerahan. Apalagi bagi masyarakat yang paham akan pentingnya budaya baca, keberadaan perpusdes sangat menguntungkan.
Lebih dari itu, secara bertahap perpusdes akan merangsang masyarakat untuk gemar membaca dan semakin dekat dengan buku.
Kedekatan pada buku, tulis Khaled Abou El-Fadl (2001), bisa memicu lahirnya peradaban masyarakat yang lebih mapan. Itu karena buku akan membimbing masyarakat untuk melihat, memahami, dan menyerap apa saja yang ada di sekitarnya. Bahkan, mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak ketahui.
Singkatnya, buku, ilmu, dan peradaban, adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Siapa pun tak bisa menyangkal, bahwa tonggak penyangga peradaban adalah ilmu yang diperoleh dari buku.
Ketika ilmu bermanfaat dan dapat dimanfaatkan demi kemaslahatan umat manusia, maka saat itulah peradaban dibentuk. Pendek kata, melalui buku —yang diakses lewat perpusdes— masyarakat desa menjadi tercerahkan, melihat segala persoalan secara holistik, dan tentu saja mendukung gerakan bebas buta huruf (aksara) yang tengah dicanangkan pemerintah.
Langkah Strategis
Tampaknya, segenap pihak, baik pemerintah, perpusda, perangkat desa, maupun masyarakat, perlu mendukung program pemberdayaan perpusdes melalui langkah-langkah strategis. Pertama, perpusda harus mau memperlakukan perpusdes sebagai anak asuh.
Itu artinya, perpusda setiap saat harus mau berkeliling meninjau, memberi motivasi, dan memberi bantuan dari segi peranti lunak maupun peranti keras bagi perpusdes. Kedua, sebagai bapak asuh, perpusda harus mau mengadakan penyuluhan atau berbagai pelatihan bagi para pengelola atau pustakawan perpusdes.
Materi penyuluhan itu salah satunya adalah soal pengelolaan perpustakaan yang baik, benar, dan bisa membangkitkan minat masyarakat untuk mengunjunginya.
Ketiga, pemerintah daerah (pemda) bersama pemerintah desa harus bekerja sama mencari solusi finansial bagi keberlangsungan perpusdes. Berkait dengan finansial, sejatinya pemerintah pusat telah mengaturnya secara perinci, khususnya melalui Undang-Undang (UU) 43/2007 tentang Perpustakaan.
Dalam UU itu disebutkan adanya kewajiban institusi sekolah, desa, dan kecamatan untuk mengalokasikan 5 % dana dari total pendapatannya. Dana tersebut diperuntukkan bagi pemeliharaan dan pengelolaan perpusdes. Maka tidak ada alasan bagi pemda maupun pemerintah desa untuk tidak melaksanakannya.
Keempat, pemerintah desa perlu menjalin kerja sama dengan media massa, universitas, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak pada pemberdayaan masyarakat. Misalnya, media massa diberi tempat untuk pencitraan dengan imbal-balik memberikan produknya secara cuma-cuma, yang dipajang sebagai koran dinding atau majalah dinding (mading), dan sebagainya.
Wujud kepedulian dunia kampus atau universitas terhadap perpusdes bisa diwujudkan dengan mengirimkan mahasiswanya untuk studi banding, pelatihan-pelatihan, kegiatan kuliah kerja nyata (KKN), dan bentuk-bentuk kerja sama lainnya. Melalui kerja sama itu, diharapkan perpusdes bisa tetap tegak dan terus berkembang.
Kelima, masyarakat desa juga bisa memberi kontribusi, misalnya, dengan menjaga keutuhan perpusdes berupa ruangan, koleksi, sarana, dan prasarananya.
Masyarakat juga harus menciptakan ketertiban, menaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pengelola perpusdes, dan menjadikannya sebagai tempat terhormat.
Sudah saatnya, perpusdes dihidupkan dan diberdayakan sebagai sarana mendekatkan masyarakat kepada buku sebagai sumber pengetahuan. Ketika masyarakat akar rumput (grassroots) sudah dekat dengan buku, maka sudah bisa dipastikan peradaban bangsa ditegakkan, dan masyarakatpun semakin siap menghadapi tantangan globalisasi. Semoga! (68)
– Agus Wibowo, peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi 3 Maret 2009
LANGKAH kreatif Perpustakaan dan Arsip Daerah (Perpusda) Karanganyar memberdayakan perpustakaan desa (perpusdes) di wilayahnya, patut disambut positif. Itu artinya, stakeholder —dalam hal tersebut Perpusda Karanganyar— memiliki kepedulian terhadap pertumbuhan perpusdes, sekaligus mendorong tumbuhnya budaya baca di masyarakat.
Guna merangsang pengelola perpusdes, Perpusda Karanganyar melakukan kegiatan rutin berupa lomba. Melalui lomba itu, diharapkan muncul terobosan atau ide-ide kreatif dari setiap perpusdes, sehingga nantinya bisa menjadi percontohan bagi daerah-daerah lain.
Upaya Perpusda Karanganyar itu, tentu saja patut dicontoh dan diikuti oleh daerah-daerah lain di Jawa Tengah (Jateng) maupun Yogyakarta (DIY). Sebab, sampai sekarang peran perpusdes di kedua daerah itu kurang optimal. Bukan hanya dari segi kuantitas —yang tidak sebanding dengan luas wilayah kerjanya—, melainkan juga berkait dengan kualitas dan berbagai sarana penunjangnya.
Sebagai gambaran, di DIY baru terdapat 40 perpusdes; itu pun dengan kondisi yang amat memrihatinkan. Bukan hanya minimnya koleksi buku, keterbatasan tempat, melainkan juga kurangnya perhatian, baik dari pemerintah pusat, maupun perangkat desa (Perpusda DIY, 2008).
Sementara itu, jika dilihat dari aspek manajemen, perpusde
s di sebagian besar wilayah Jateng dan DIY berkesan kurang profesional —bisa dibilang asal-asalan. Sebagai contoh belum dibuatnya klasifikasi buku, referensi induk, sirkulasi peminjaman, dan segi artistik lainnya.
Memang, dengan penataan yang masih sederhana saja, sambutan masyarakat terhadap perpusdes cukup positif. Apalagi, kalau dikelola secara baik layaknya perpustakaan di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi, tentu semakin banyak masyarakat yang menggunjunginya, khususnya, anak-anak yang sangat menggemari buku-buku pelajaran maupun cerita.
Pertanyaanya, bagaimana upaya memberdayakan perpusdes sehingga memiliki kontribusi positif bagi masyarakat di sekitarnya? Siapa saja yang harus dilibatkan dalam pemberdayaan itu?
Masyarakat Beradab
Tidak dimungkiri, pemberdayaan perpusdes akan berpengaruh positif kepada masyarakat di sekitarnya. Itu karena perpusdes bisa menjadi sarana hiburan/ rekreasi maupun sarana pencerahan. Apalagi bagi masyarakat yang paham akan pentingnya budaya baca, keberadaan perpusdes sangat menguntungkan.
Lebih dari itu, secara bertahap perpusdes akan merangsang masyarakat untuk gemar membaca dan semakin dekat dengan buku.
Kedekatan pada buku, tulis Khaled Abou El-Fadl (2001), bisa memicu lahirnya peradaban masyarakat yang lebih mapan. Itu karena buku akan membimbing masyarakat untuk melihat, memahami, dan menyerap apa saja yang ada di sekitarnya. Bahkan, mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak ketahui.
Singkatnya, buku, ilmu, dan peradaban, adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Siapa pun tak bisa menyangkal, bahwa tonggak penyangga peradaban adalah ilmu yang diperoleh dari buku.
Ketika ilmu bermanfaat dan dapat dimanfaatkan demi kemaslahatan umat manusia, maka saat itulah peradaban dibentuk. Pendek kata, melalui buku —yang diakses lewat perpusdes— masyarakat desa menjadi tercerahkan, melihat segala persoalan secara holistik, dan tentu saja mendukung gerakan bebas buta huruf (aksara) yang tengah dicanangkan pemerintah.
Langkah Strategis
Tampaknya, segenap pihak, baik pemerintah, perpusda, perangkat desa, maupun masyarakat, perlu mendukung program pemberdayaan perpusdes melalui langkah-langkah strategis. Pertama, perpusda harus mau memperlakukan perpusdes sebagai anak asuh.
Itu artinya, perpusda setiap saat harus mau berkeliling meninjau, memberi motivasi, dan memberi bantuan dari segi peranti lunak maupun peranti keras bagi perpusdes. Kedua, sebagai bapak asuh, perpusda harus mau mengadakan penyuluhan atau berbagai pelatihan bagi para pengelola atau pustakawan perpusdes.
Materi penyuluhan itu salah satunya adalah soal pengelolaan perpustakaan yang baik, benar, dan bisa membangkitkan minat masyarakat untuk mengunjunginya.
Ketiga, pemerintah daerah (pemda) bersama pemerintah desa harus bekerja sama mencari solusi finansial bagi keberlangsungan perpusdes. Berkait dengan finansial, sejatinya pemerintah pusat telah mengaturnya secara perinci, khususnya melalui Undang-Undang (UU) 43/2007 tentang Perpustakaan.
Dalam UU itu disebutkan adanya kewajiban institusi sekolah, desa, dan kecamatan untuk mengalokasikan 5 % dana dari total pendapatannya. Dana tersebut diperuntukkan bagi pemeliharaan dan pengelolaan perpusdes. Maka tidak ada alasan bagi pemda maupun pemerintah desa untuk tidak melaksanakannya.
Keempat, pemerintah desa perlu menjalin kerja sama dengan media massa, universitas, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak pada pemberdayaan masyarakat. Misalnya, media massa diberi tempat untuk pencitraan dengan imbal-balik memberikan produknya secara cuma-cuma, yang dipajang sebagai koran dinding atau majalah dinding (mading), dan sebagainya.
Wujud kepedulian dunia kampus atau universitas terhadap perpusdes bisa diwujudkan dengan mengirimkan mahasiswanya untuk studi banding, pelatihan-pelatihan, kegiatan kuliah kerja nyata (KKN), dan bentuk-bentuk kerja sama lainnya. Melalui kerja sama itu, diharapkan perpusdes bisa tetap tegak dan terus berkembang.
Kelima, masyarakat desa juga bisa memberi kontribusi, misalnya, dengan menjaga keutuhan perpusdes berupa ruangan, koleksi, sarana, dan prasarananya.
Masyarakat juga harus menciptakan ketertiban, menaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pengelola perpusdes, dan menjadikannya sebagai tempat terhormat.
Sudah saatnya, perpusdes dihidupkan dan diberdayakan sebagai sarana mendekatkan masyarakat kepada buku sebagai sumber pengetahuan. Ketika masyarakat akar rumput (grassroots) sudah dekat dengan buku, maka sudah bisa dipastikan peradaban bangsa ditegakkan, dan masyarakatpun semakin siap menghadapi tantangan globalisasi. Semoga! (68)
– Agus Wibowo, peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar