Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi 14 Februari 2009
Kolom Wacana Lokal
PASAR Malam Perayaan Sekaten (PMPS) Yogyakarta Tahun 2009 dibuka Sri Sultan Hamengku Buwono X, belum lama ini. Even kali ini lebih difokuskan pada aspek dakwah, di samping tetap mengakomodasi unsur hiburan dan ekonomi.
Secara historis, tradisi PMPS atau Sekaten yang digagas Sunan Kalijaga itu digelar untuk kepentingan syiar agama Islam saja. Itu bisa dilihat dari asal kata sekaten, yaitu syahadatain, yang bermakna dua kalimat syahadat (Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah).
Seiring perkembangan zaman, Sekaten tak lagi sekadar kegiatan dakwah, tetapi kuga penanda ’’pamor’’ kewibawaan dan kedekatan Keraton Ngayogyakarta dengan kawulanya, atau simbol kebersamaan antara petinggi yang diidentikan dengan keraton dan rakyat.
Lebih dari itu, menjadi panutan bagi pengembangan dan eksistensi ekonomi kerakyatan. Singkatnya, Sekaten merupakan perwujudan fenomena mikro dari pemberdayaan ekonomi yang substansinya adalah humanisasi.
Tergerus Modernitas
Tak dimungkiri, tradisi Sekaten masih ada dan akan terus ada. Namun nasibnya kian memrihatinkan. Bukan hanya jumlah pengunjung yang terus berkurang, tetapi juga makin lunturnya makna spirit dan roh dari tradisi tersebut.
Sentuhan modernitas yang diharapkan bisa memacu daya tarik, kenyataannya tidak mampu menggugah antusias warga untuk datang dan menikmatinya. Apalagi ketika format Sekaten diubah menjadi Jogya Expo Sekaten (JES).
Seperti diketahui, sejak 2006, format PMPS telah dikembalikan seperti format 2003. Sebab JES (2004-2005) bukan menonjolkan nuansa dakwah dan kebudayaan, tetapi justru lebih kental nuansa komersial dan kapitalisasi bisnis.
Jika ditelusuri lebih seksama, perubahan format Sekaten menjadi JES tidak sepenuhnya salah. Itu sebagai upaya revitalisasi agar tradisi ini tidak makin tergerus oleh pesatnya modernitas kekinian. Namun, penggagas sepertinya lupa, konsep idiologis dari tradisi itu sendiri, yaitu pasar rakyat yang serba murah-meriah, serta kental nuansa kegotongroyongan.
Karena meninggalkan misi utamanya itu, wajar jika format JES menjelma menjadi pagelaran yang kering, kehilangan nilai spiritual-budaya, serta minim partisipasi rakyat kecil. Kegagalan dalam format JES menjadi bukti bahwa tradisi Sekaten itu tidak bisa dengan mudah diubah formatnya. Singkatnya, perubahan cenderung kental nuansa kapitalisasi justru melunturkan makna spirit ideologi dan kesakralan Sekaten.
Ekonomi Lokal
Tampaknya semua pihak, baik Pemerintah Kota, Pemerintah Provinsi, Dewan Kebudayaan, pemilik modal, maupun masyarakat perlu duduk satu meja, dan bersama-sama menyatukan tekad mengembalikan misi utama Sekaten.
Singkatnya, semua pihak perlu segera melakukan upaya konstruktif agar tradisi ini bisa tetap abadi, tanpa harus ketinggalan oleh laju modernitas kekinian. Yang terpenting, nilai-nilai luhur dan filosofis kejawen di balik tradisi itu tidak luntur atau mati.
Adapun langkah-langkah revitalisasi Sekaten, meminjam istilah Wakil Wali Kota Yogyakarta H Hariyadi Suyudi (2007), meliputi tiga hal utama. Pertama, mengembalikannya pada konsep lama, disertai upaya pemberdayaan berbagai potensi yang ada, tanpa harus meningggalkan nilai-nilai religi dan budaya lokal yang adiluhung.
Revitalisasi model ini tentunya selaras dengan identitas Keraton Yogyakarta sendiri sebagai jantung budaya Jawa, sekaligus salah satu kota tujuan utama pariwisata di Indonesia.
Kedua, Sekaten terus dilestarikan dengan mengembangkan potensi-potensi nilai yang dimiliki, untuk menemukan bentuk penyemaian baru bagi produk-produk lokal.
Misalnya, pemberian ruang yang lebih leluasa bagi usaha kecil mikro dan menengah (UMKM), seperti pembukaan stan-stan perdagangan, tanaman hias, pertunjukan seni (dangdut, campursari, ketoprak, wayang orang, wayang kulit dan sebagainya) hingga permainan anak.
Upaya ini diharapkan bisa menjadi sarana promosi, yang pada akhirnya dapat menggeliatkan roda ekonomi kerakyatan, terutama pascagempa. Esensi penyemaian itu diharapkan akan mendukung makin tumbuh-kembang ekonomi kerakyatan. Dan tradisi Sekaten bisa menjadi lokomotif ekonomi kerakyatan, sekaligus media revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai domestik.
Ketiga, menumbuhkan kembali rasa antusias generasi muda untuk meramaikan Sekaten. Tidak dimungkiri, akibat pergeseran budaya dan peradaban, khususnya pengaruh modernitas, generasi muda seperti kehilangan greget meramaikan Sekaten. Fenomena itu tentu sangat memrihatinkan.
Bukankah generasi muda merupakan penjaga sekaligus pewaris kebudayaan di masa depan? Jika mereka kurang handarbeni (merasa memiliki), hangrungkepi, dan tidak memiliki antusiasme yang tinggi, apakah bisa diharapkan jika Sekaten tetap ada di masa depan?
Maka semua pihak, entah orangtua, pendidik, tetua adat, dan budayawan, perlu bersama-sama menanamkan kembali kecintaan anak muda terhadap Sekaten. Penanaman itu tentu bisa melalui sosialisasi, penjelasan makna dan serangkaian nilai luhur, dan mengemas Sekaten menjadi semenarik mungking.
Upaya revitalisasi Sekaten tentu tidak mudah. Banyak kepentingan di balik tradisi itu, mulai dari kepentingan sosial - ekonomi sampai kepentingan budaya dan modernitas. Maka, dibutuhkan kearifan dan kesabaran dari pengelolanya, serta dukungan dari semua pihak. (32)—Agus Wibowo, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi 14 Februari 2009
Kolom Wacana Lokal
PASAR Malam Perayaan Sekaten (PMPS) Yogyakarta Tahun 2009 dibuka Sri Sultan Hamengku Buwono X, belum lama ini. Even kali ini lebih difokuskan pada aspek dakwah, di samping tetap mengakomodasi unsur hiburan dan ekonomi.
Secara historis, tradisi PMPS atau Sekaten yang digagas Sunan Kalijaga itu digelar untuk kepentingan syiar agama Islam saja. Itu bisa dilihat dari asal kata sekaten, yaitu syahadatain, yang bermakna dua kalimat syahadat (Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah).
Seiring perkembangan zaman, Sekaten tak lagi sekadar kegiatan dakwah, tetapi kuga penanda ’’pamor’’ kewibawaan dan kedekatan Keraton Ngayogyakarta dengan kawulanya, atau simbol kebersamaan antara petinggi yang diidentikan dengan keraton dan rakyat.
Lebih dari itu, menjadi panutan bagi pengembangan dan eksistensi ekonomi kerakyatan. Singkatnya, Sekaten merupakan perwujudan fenomena mikro dari pemberdayaan ekonomi yang substansinya adalah humanisasi.
Tergerus Modernitas
Tak dimungkiri, tradisi Sekaten masih ada dan akan terus ada. Namun nasibnya kian memrihatinkan. Bukan hanya jumlah pengunjung yang terus berkurang, tetapi juga makin lunturnya makna spirit dan roh dari tradisi tersebut.
Sentuhan modernitas yang diharapkan bisa memacu daya tarik, kenyataannya tidak mampu menggugah antusias warga untuk datang dan menikmatinya. Apalagi ketika format Sekaten diubah menjadi Jogya Expo Sekaten (JES).
Seperti diketahui, sejak 2006, format PMPS telah dikembalikan seperti format 2003. Sebab JES (2004-2005) bukan menonjolkan nuansa dakwah dan kebudayaan, tetapi justru lebih kental nuansa komersial dan kapitalisasi bisnis.
Jika ditelusuri lebih seksama, perubahan format Sekaten menjadi JES tidak sepenuhnya salah. Itu sebagai upaya revitalisasi agar tradisi ini tidak makin tergerus oleh pesatnya modernitas kekinian. Namun, penggagas sepertinya lupa, konsep idiologis dari tradisi itu sendiri, yaitu pasar rakyat yang serba murah-meriah, serta kental nuansa kegotongroyongan.
Karena meninggalkan misi utamanya itu, wajar jika format JES menjelma menjadi pagelaran yang kering, kehilangan nilai spiritual-budaya, serta minim partisipasi rakyat kecil. Kegagalan dalam format JES menjadi bukti bahwa tradisi Sekaten itu tidak bisa dengan mudah diubah formatnya. Singkatnya, perubahan cenderung kental nuansa kapitalisasi justru melunturkan makna spirit ideologi dan kesakralan Sekaten.
Ekonomi Lokal
Tampaknya semua pihak, baik Pemerintah Kota, Pemerintah Provinsi, Dewan Kebudayaan, pemilik modal, maupun masyarakat perlu duduk satu meja, dan bersama-sama menyatukan tekad mengembalikan misi utama Sekaten.
Singkatnya, semua pihak perlu segera melakukan upaya konstruktif agar tradisi ini bisa tetap abadi, tanpa harus ketinggalan oleh laju modernitas kekinian. Yang terpenting, nilai-nilai luhur dan filosofis kejawen di balik tradisi itu tidak luntur atau mati.
Adapun langkah-langkah revitalisasi Sekaten, meminjam istilah Wakil Wali Kota Yogyakarta H Hariyadi Suyudi (2007), meliputi tiga hal utama. Pertama, mengembalikannya pada konsep lama, disertai upaya pemberdayaan berbagai potensi yang ada, tanpa harus meningggalkan nilai-nilai religi dan budaya lokal yang adiluhung.
Revitalisasi model ini tentunya selaras dengan identitas Keraton Yogyakarta sendiri sebagai jantung budaya Jawa, sekaligus salah satu kota tujuan utama pariwisata di Indonesia.
Kedua, Sekaten terus dilestarikan dengan mengembangkan potensi-potensi nilai yang dimiliki, untuk menemukan bentuk penyemaian baru bagi produk-produk lokal.
Misalnya, pemberian ruang yang lebih leluasa bagi usaha kecil mikro dan menengah (UMKM), seperti pembukaan stan-stan perdagangan, tanaman hias, pertunjukan seni (dangdut, campursari, ketoprak, wayang orang, wayang kulit dan sebagainya) hingga permainan anak.
Upaya ini diharapkan bisa menjadi sarana promosi, yang pada akhirnya dapat menggeliatkan roda ekonomi kerakyatan, terutama pascagempa. Esensi penyemaian itu diharapkan akan mendukung makin tumbuh-kembang ekonomi kerakyatan. Dan tradisi Sekaten bisa menjadi lokomotif ekonomi kerakyatan, sekaligus media revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai domestik.
Ketiga, menumbuhkan kembali rasa antusias generasi muda untuk meramaikan Sekaten. Tidak dimungkiri, akibat pergeseran budaya dan peradaban, khususnya pengaruh modernitas, generasi muda seperti kehilangan greget meramaikan Sekaten. Fenomena itu tentu sangat memrihatinkan.
Bukankah generasi muda merupakan penjaga sekaligus pewaris kebudayaan di masa depan? Jika mereka kurang handarbeni (merasa memiliki), hangrungkepi, dan tidak memiliki antusiasme yang tinggi, apakah bisa diharapkan jika Sekaten tetap ada di masa depan?
Maka semua pihak, entah orangtua, pendidik, tetua adat, dan budayawan, perlu bersama-sama menanamkan kembali kecintaan anak muda terhadap Sekaten. Penanaman itu tentu bisa melalui sosialisasi, penjelasan makna dan serangkaian nilai luhur, dan mengemas Sekaten menjadi semenarik mungking.
Upaya revitalisasi Sekaten tentu tidak mudah. Banyak kepentingan di balik tradisi itu, mulai dari kepentingan sosial - ekonomi sampai kepentingan budaya dan modernitas. Maka, dibutuhkan kearifan dan kesabaran dari pengelolanya, serta dukungan dari semua pihak. (32)—Agus Wibowo, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar