Langsung ke konten utama

Sastra dan Tenda Perdamaian

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Lampung Pos
Edisi Minggu,1 Februari 2008

Kapan damai di bumi menjadi nyata? Lalu, apakah yang bisa menjembatani perdamaian itu? Demikian pertanyaan Sashi Tharoor--sastrawan India yang mengemban misi perdamaian PBB--dalam sebuah temu budaya belum lama ini. Jika agama, lanjut Tharoor, kemungkinan kecil. Pasalnya, berapa banyak kekerasan dan peperangan yang justru dipicu sentimen atau atas nama agama?

Ilmu pengetahuan dan teknologi (sains), juga tidak jauh berbeda. Benar kenikmatan duniawi bisa terpenuhi, tetapi berapa banyak orang yang mengalami kegersangan jiwa dan spiritualitas hingga harus mencari tempat-tempat sepi untuk sekadar memenuhi "kesepian" itu?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menggelisahkan Tharoor, sehingga terdorong merangkul sastra sebagai mediasi perdamaian yang menjadi bidang tugasnya. Tharoor sampai pada satu kesimpulan, sastra melengkapi apa yang "hilang atau sengaja dihilangkan" dari agama dan sains. Itu karena sastra bisa menjadi semacam jendela (window), yang darinya, si penikmat mampu melihat akar konflik, memahami jiwa, karakter, budaya, dan peradaban bangsa lain secara holistis.

Melalui berbagai bentuk kreatifnya, sastra mampu mendeskripsikan segala sesuatu di luar diri kita secara koheren dan lengkap, misalnya jiwa, karakter, kehidupan, kebudayaan, dan peradaban bangsa lain, merupakan sesuatu yang saling kait-mengait dengan kehidupan yang kita pijaki. Unsur holistik dan universal sastra inilah yang menjembatani perbedaan, seraya menunjukkan persamaan sifat kemanusiaan yang fundamental.

Misi perdamaian itu akan sangat terasa dalam karya sastra besar dan monumental. War and Peace misalnya, novel sejarah yang begitu sarat dengan protes kemanusiaan ini, ditulis berdasar pengalaman nyata penulisnya, Tolstoy. Begitu juga dengan Wordsworth dan Mary Shelley. Konon, karya sastra inilah yang memberi semangat hidup Alfred North Whitehead--seorang ahli matematika pengarang Principia Mathematica (1910)--ketika putra kesayangan sekaligus buah cintanya dengan Evelyn Wade, tewas mengenaskan di ujung perang dunia.

Bagi Whitehead, Wordsworth, dan Mary Shelley mampu mengalirkan nature in solido, yaitu suatu pandangan bahwa unsur-unsur alami yang ada bersifat saling jalin-menjalin, bersifat dinamis dan berproses. Dari situ kemudian ia mengembangkan rumusan soal-soal penting dalam sistem filsafat dan seni yang ia bangun, seperti soal feelings dan prehension, yang tertuang dalam karya besarnya: Process and Reality, sebuah karya filsafat yang kemudian hari oleh Elizabeth M. Kraus dinilai sebagai pemikiran tentang "metafisika pengalaman" tertangguh sepanjang sejarah.

Epos Ramayana dan Mahabharata, juga mengusung tema serupa. Ramayana misalnya, melukiskan derita berkepanjangan yang dialami raja Rahwana. Negaranya (Alengka), yang tadinya megah dan subur makmur, yang diungkapkan para dalang sebagai gemah ripah loh jinawi, rata dengan tanah.

Orang tua harus kehilangan anak, saudara, sahabat, menantu, sedangkan istri kehilangan suami dan anak kehilangan orang tuanya. Kerugian moril dan materiil tidak terhitung jumlahnya. Meski pada akhirnya ingin menunjukkan kemenangan nilai-nilai kebenaran atas kejahatan, tetapi epos Ramayana tetap melukiskan konsekuensi-konsekuensi mengerikan yang harus diderita akibat konflik atau peperangan.

Di negeri ini, kita juga sering menjumpai karya sastra yang mengusung tema-tema perdamaian dan mengutuk peperangan. Misalnya puisi W.S. Rendra, Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang (1960). Penggalannya sebagai berikut:
//Anak menangis kehilangan bapa//Tanah sepi kehilangan lelakinya//Bukannya benih yang disebarkan di bumi subur ini/ tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia//


Pun begitu dalam novel tetralogi Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) karya Pramoedya Ananta Toer. Selain pesan perdamaian, melalui karya Pram itu, jiwa kita akan dirangsang untuk bertanya-tanya. Sementara itu, nurani kita melayang-layang dan berkelit berkelindan dengan alam pikiran guna menjaring kesejatian.

Pada giliranya, jiwa dan mata batin kita terasah menjadi semakin peka terhadap nilai-nilai kebenaran, cinta, dan keadilan. Kehidupan yang diletakkan dalam cawan tersebut, menjelma dalam tatanan yang damai, tenang dan nyaris tanpa konflik.

Penyeimbang
Peranan sastra, kata Friedrich Schiller (1993), bisa lebih menakjubkan. Itu karena fungsinya yang menjadi semacam permainan penyeimbang segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Singkatnya, sastra mengalihkan kelebihan energi itu menjadi kreativitas, perasaan, kepekaan, dan sensitivitas kemanusiaannya. Maka, manusia terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil, dan picik.

Pertanyaannya kemudian, apakah semua karya sastra memiliki peran luhur seperti itu? Bagaimana dengan karya sastra yang dinilai kontroversial? Bagi Ahmad Tohari (2007), semua karya sastra--entah yang wajar atau yang kontroversial sekalipun perannya sama. Ia mampu menjadi mediasi perdamaian, pewartaan kebenaran, dan kontemplasi. Perbedaannya, terletak pada penafsiran penikmatnya.

Artinya, tatkala teks (sastra) sudah disuguhkan dan dipegang penikmatnya, sejatinya pengarangnya sudah mati. Ia tidak bisa memengaruhi daya tangkap, apalagi tafsir penikmatnya. Pendek kata, semua menjadi otoritas penikmat sastra.

Maka, untuk menyingkap kebenaran makna sejati di balik pewartaan yang diusung sastra (kontroversial), seseorang mesti mengedepankan kejujuran nurani, serta membacanya secara dewasa dan komprehensif. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkecil pendistorsi makna, kesalahan pemahaman, atau ketidakbergunaan sastra bagi kehidupan.

Kita tentu boleh tidak sependapat dengan Ahmad Tohari. Hanya, mesti disadari bahwa tujuan utama sastra dicipta memang demi dan untuk kemanusiaan semata. Dalam kerja penciptaan karya sastra, kata Rene Wellek (1955), sastrawan--mengakui atau tidak--tetap berpatokan pada sifat khas sastra, yaitu menyenangkan dan bermanfaat (dulce et utile) bagi peradaban umat manusia.

Tidak salah jika Sashi Tharoor, menganjurkan sastra sebagai media yang efektif memintal perdamaian. Sastra akan menjadi semacam tenda besar yang mampu merangkul segenap perbedaan, seraya menunjukkan satu kesatuan. Sudah saatnya, masyarakat bersama sastrawan bekerja sama "membumikan" sastra demi meminimalisasi konflik dan peperangan dimuka bumi. Semoga.[] Penulis adalah esais sastra, mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...