Dimuat Harian Suara Merdeka
Edisi Selasa, 03 Februari 2009
BANYAK predikat diberikan untuk Kota Yogyakarta. Mulai dari kota budaya, kota gudeg, kota perjuangan, sampai kota pelajar, dan sebagainya. Pertanyaanya, apakah sederet predikat itu masih pantas disandang kota tersebut?
Pasalnya, saat ini berbagai persoalan pelik mengelayuti; mulai dari persoalan moralitas, degradasi intelektual, sampai anomali sosial-budaya yang bersinggungan dengan persoalan tatanan ruang.
Lonjakan jumlah penduduk asli, ditambah pendatang setiap tahun meningkat, menimbulkan persoalan yang rumit. Rendahnya kesadaran membuang sampah, dan perawatan ekosistem sekitar hunian yang asal-asalan, menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Kadar kesehatan air rendah, kawasan menjadi bising, sempit, dan kumuh; sementara itu kualitas udara kian bertambah panas bak membakar diri.
Kehilangan Roh
Di lain pihak, modenisasi telah memoles “tanah perdikan” itu sehingga jauh meningggalkan daerah-daerah di sekitarnya. Bangunan-bangunan megamal sebagai mercusuar hedonis-kapitalis, bertebaran di berbagai penjuru kota.
Pun ketika malam, gemerlap dunia malam —yang menyuguh-kan berbagai kesenangan ragawi— memalingkan orang, bahwa di tanah tersebut beberapa ratus tahun silam, budaya ketimuran sebagai jalan sangkan paraning dumadi dijunjung tinggi.
Para orang tua juga mulai was-was mengirim anaknya. Itu karena terjadinya pergeseran orientasi dan budaya yang masif di kalangan pelajar/ mahasiswa. Memang pada era 1970 hingga 1990-an, Yogyakarta masih diwarnai dengan pergumulan wacana dan aksi-aksi kreatif para pelajar dan mahasiswanya.
Banyak ide dan pemikiran hebat mencuat dari beberapa nama, semisal Amin Rais, Emha Ainun Najib (Cak Nun), Ahmad Wahib, Mukti Ali, Afandi, WS Rendra, Ebiet G Ade, Romo Mangun Wijaya, dan Kuntowijoyo. Karena iklim dan atmosfer keilmuan yang kondusif, berbondong-bondong mahasiwa asing datang membanjiri Yogyakarta.
Saat ini kondisinya jauh berbeda. Iklim keilmuan telah sirna, digantikan dengan aktivitas dan kesenangan baru, yang sejati-nya tidak sesuai dengan karakter mahasiswa kota pelajar.
Misalnya aktivitas nongkrong, ngeceng dan belanja di mal, pesta narkoba, mengunjungi bar, diskotek, dan tempat-tempat hiburan malam lainnya. Akibatnya, sebagian besar mahasiswa tak lagi menjadi pemikir hebat, beretos kerja tinggi, tekun dan pantang menyerah, tapi menjadi “anak mami” yang tidak mau hidup susah, gemar mencontek ketika ulangan, menyuap dosen, dan membeli ijazah.
Parahnya lagi, pergaulan mahasiswa dan mahasiswi tidak ada batasnya. Sering dijumpai di rumah kos atau kontrakan mahasiswa dan mahasiswi berbaur menjadi satu, layaknya pasangan suami istri. Mungkin ada benarnya penelitian Iip Wijayanto dan beberapa mahasiswa UGM lain, menyebutkan indikasi rusaknya moralitas generasi muda Yogyakarta, akibat narkoba dan seks bebas yang kian tak terbendung.
Pada kondisi demikian, tidak salah ungkapan teman penyair, bahwa Yogyakarta kini bukan surga inspirasi dan roh kesejatian, melainkan sebuah kota metropolis tanpa “tuan”, yang penuh gemerlap duniawi dan aneka praktik bisnis kapitalis.
Sosial Budaya
Sudah saatnya semua pihak bersama-sama membenahi atau melakukan revitalisasi Yogyakarta secara holistik. Artinya, bukan sekadar revitalisasi ruang, melainkan juga sosial dan budaya. Revitalisasi itu juga harus mendasar dan tidak lepas dari akar ketajaman rasa yang menjadi karakter khas budaya Jawa.
Pada aspek fisik, sudah saatnya dilakukan penataan ruang hunian, terutama kawasan di sekitar kampus. Dengan penataan kawasan yang apik, paling tidak akan menimbulkan suasana yang kondusif dan mendukung kegiatan akademik kampus. Upaya itu tentunya bukan hanya dibebankan kepada Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Provinsi (Pemprop) Yogyakarta, melainkan juga perlu didukung oleh semua masyarakat.
Pihak pemkot dan pemprov seyogianya lebih selektif dalam mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB). Sementara itu masyarakat memiliki kesadaran untuk tidak mendirikan bangunan pada kawasan sekitar kampus yang sudah sangat padat.
Upaya penataan ruang itu perlu disertai dengan penataan lingkungan ekosistem hunian, memperbanyak tempat resapan air, dan membudayakan transportasi sepeda antarkampus. Bentuk kegiatan yang terakhir itu sejatinya telah dicanangkan oleh Ngarsadalem Sultan HB X bersama lima rektor perguruan tinggi (PT) terkemuka, tapi kini tak ada gaungnya lagi.
Yang tak kalah penting, budaya kekeluargaan, tepa slira, ewuh-pekewuh, dan nilai-nilai luhur budaya Jawa lainnya, perlu ditumbuhkan kembali dalam kehidupan masyarakat.
Dari aspek pemerintahan, Pemkot dan Pemprov Yogyakarta perlu meningkatkan mekanisme pelayanan terbaiknya untuk masyarakat (good governance). Setiap kebijakan harus ditata secara jelas dan disertai proses akuntabilitas yang baik. Pasalnya, ketika sebuah kehidupan kota berjalan begitu saja tanpa adanya perencanaan arah dan kebijakan yang jelas, bertahap, dan berkelanjutan, hanya akan menjadikan kehidupan warga kota berjalan tanpa jiwa.
Demikian pun, sebuah perubahan yang tambal sulam karena reaksi sesaat atau hanya sekadar mengikuti tren tanpa kejelasan arah, juga hanya akan menjadikan keadaan yang compang-camping dan centang-perenang.
Oleh karena itu, berbagai aspek: ekonomi, politik, sosial, budaya, dan religius, perlu ditempatkan bersama sebagai sebuah kompleksitas yang tak dapat dihindarkan dan perlu ditangani. Kalau dalam situasi itu para pejabat tak berwawasan luas atau malah hanya berorientasi kepada mencari keuntungan diri atau kelompoknya, akan dikemanakan warga masyarakat yang telah memberi kepercayaan kepada jajaran birokrasi tersebut?
Melalui upaya revitalisasi, diharapkan segudang predikat Yogyakarta masih bisa dipertahankan. Dengan demikian, di masa depan kita masih bisa mencari inspirasi, menemukan aneka gudeg, pergelaran budaya, sastra, seni, dan tari. Sementara itu mahasiswa masih tetap menemukan roh kreativitas intelektual, meski di tengah jeratan modernisasi dan globalisasi. Semoga!(68) Peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Edisi Selasa, 03 Februari 2009
BANYAK predikat diberikan untuk Kota Yogyakarta. Mulai dari kota budaya, kota gudeg, kota perjuangan, sampai kota pelajar, dan sebagainya. Pertanyaanya, apakah sederet predikat itu masih pantas disandang kota tersebut?
Pasalnya, saat ini berbagai persoalan pelik mengelayuti; mulai dari persoalan moralitas, degradasi intelektual, sampai anomali sosial-budaya yang bersinggungan dengan persoalan tatanan ruang.
Lonjakan jumlah penduduk asli, ditambah pendatang setiap tahun meningkat, menimbulkan persoalan yang rumit. Rendahnya kesadaran membuang sampah, dan perawatan ekosistem sekitar hunian yang asal-asalan, menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Kadar kesehatan air rendah, kawasan menjadi bising, sempit, dan kumuh; sementara itu kualitas udara kian bertambah panas bak membakar diri.
Kehilangan Roh
Di lain pihak, modenisasi telah memoles “tanah perdikan” itu sehingga jauh meningggalkan daerah-daerah di sekitarnya. Bangunan-bangunan megamal sebagai mercusuar hedonis-kapitalis, bertebaran di berbagai penjuru kota.
Pun ketika malam, gemerlap dunia malam —yang menyuguh-kan berbagai kesenangan ragawi— memalingkan orang, bahwa di tanah tersebut beberapa ratus tahun silam, budaya ketimuran sebagai jalan sangkan paraning dumadi dijunjung tinggi.
Para orang tua juga mulai was-was mengirim anaknya. Itu karena terjadinya pergeseran orientasi dan budaya yang masif di kalangan pelajar/ mahasiswa. Memang pada era 1970 hingga 1990-an, Yogyakarta masih diwarnai dengan pergumulan wacana dan aksi-aksi kreatif para pelajar dan mahasiswanya.
Banyak ide dan pemikiran hebat mencuat dari beberapa nama, semisal Amin Rais, Emha Ainun Najib (Cak Nun), Ahmad Wahib, Mukti Ali, Afandi, WS Rendra, Ebiet G Ade, Romo Mangun Wijaya, dan Kuntowijoyo. Karena iklim dan atmosfer keilmuan yang kondusif, berbondong-bondong mahasiwa asing datang membanjiri Yogyakarta.
Saat ini kondisinya jauh berbeda. Iklim keilmuan telah sirna, digantikan dengan aktivitas dan kesenangan baru, yang sejati-nya tidak sesuai dengan karakter mahasiswa kota pelajar.
Misalnya aktivitas nongkrong, ngeceng dan belanja di mal, pesta narkoba, mengunjungi bar, diskotek, dan tempat-tempat hiburan malam lainnya. Akibatnya, sebagian besar mahasiswa tak lagi menjadi pemikir hebat, beretos kerja tinggi, tekun dan pantang menyerah, tapi menjadi “anak mami” yang tidak mau hidup susah, gemar mencontek ketika ulangan, menyuap dosen, dan membeli ijazah.
Parahnya lagi, pergaulan mahasiswa dan mahasiswi tidak ada batasnya. Sering dijumpai di rumah kos atau kontrakan mahasiswa dan mahasiswi berbaur menjadi satu, layaknya pasangan suami istri. Mungkin ada benarnya penelitian Iip Wijayanto dan beberapa mahasiswa UGM lain, menyebutkan indikasi rusaknya moralitas generasi muda Yogyakarta, akibat narkoba dan seks bebas yang kian tak terbendung.
Pada kondisi demikian, tidak salah ungkapan teman penyair, bahwa Yogyakarta kini bukan surga inspirasi dan roh kesejatian, melainkan sebuah kota metropolis tanpa “tuan”, yang penuh gemerlap duniawi dan aneka praktik bisnis kapitalis.
Sosial Budaya
Sudah saatnya semua pihak bersama-sama membenahi atau melakukan revitalisasi Yogyakarta secara holistik. Artinya, bukan sekadar revitalisasi ruang, melainkan juga sosial dan budaya. Revitalisasi itu juga harus mendasar dan tidak lepas dari akar ketajaman rasa yang menjadi karakter khas budaya Jawa.
Pada aspek fisik, sudah saatnya dilakukan penataan ruang hunian, terutama kawasan di sekitar kampus. Dengan penataan kawasan yang apik, paling tidak akan menimbulkan suasana yang kondusif dan mendukung kegiatan akademik kampus. Upaya itu tentunya bukan hanya dibebankan kepada Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Provinsi (Pemprop) Yogyakarta, melainkan juga perlu didukung oleh semua masyarakat.
Pihak pemkot dan pemprov seyogianya lebih selektif dalam mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB). Sementara itu masyarakat memiliki kesadaran untuk tidak mendirikan bangunan pada kawasan sekitar kampus yang sudah sangat padat.
Upaya penataan ruang itu perlu disertai dengan penataan lingkungan ekosistem hunian, memperbanyak tempat resapan air, dan membudayakan transportasi sepeda antarkampus. Bentuk kegiatan yang terakhir itu sejatinya telah dicanangkan oleh Ngarsadalem Sultan HB X bersama lima rektor perguruan tinggi (PT) terkemuka, tapi kini tak ada gaungnya lagi.
Yang tak kalah penting, budaya kekeluargaan, tepa slira, ewuh-pekewuh, dan nilai-nilai luhur budaya Jawa lainnya, perlu ditumbuhkan kembali dalam kehidupan masyarakat.
Dari aspek pemerintahan, Pemkot dan Pemprov Yogyakarta perlu meningkatkan mekanisme pelayanan terbaiknya untuk masyarakat (good governance). Setiap kebijakan harus ditata secara jelas dan disertai proses akuntabilitas yang baik. Pasalnya, ketika sebuah kehidupan kota berjalan begitu saja tanpa adanya perencanaan arah dan kebijakan yang jelas, bertahap, dan berkelanjutan, hanya akan menjadikan kehidupan warga kota berjalan tanpa jiwa.
Demikian pun, sebuah perubahan yang tambal sulam karena reaksi sesaat atau hanya sekadar mengikuti tren tanpa kejelasan arah, juga hanya akan menjadikan keadaan yang compang-camping dan centang-perenang.
Oleh karena itu, berbagai aspek: ekonomi, politik, sosial, budaya, dan religius, perlu ditempatkan bersama sebagai sebuah kompleksitas yang tak dapat dihindarkan dan perlu ditangani. Kalau dalam situasi itu para pejabat tak berwawasan luas atau malah hanya berorientasi kepada mencari keuntungan diri atau kelompoknya, akan dikemanakan warga masyarakat yang telah memberi kepercayaan kepada jajaran birokrasi tersebut?
Melalui upaya revitalisasi, diharapkan segudang predikat Yogyakarta masih bisa dipertahankan. Dengan demikian, di masa depan kita masih bisa mencari inspirasi, menemukan aneka gudeg, pergelaran budaya, sastra, seni, dan tari. Sementara itu mahasiswa masih tetap menemukan roh kreativitas intelektual, meski di tengah jeratan modernisasi dan globalisasi. Semoga!(68) Peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus