Langsung ke konten utama

Muslihat Pengavelingan Lokasi Bencana

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Joglosemar
Edisi Rabu, 03 Februari 2009

Bencana banjir disertai tanah longsor yang melanda Jawa Tengah dan Jawa Timur, menimbulkan keprihatinan kita bersama. Pasalnya, bencana itu tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda, rusaknya sarana-prasarana, dan aspek material lainnya, tetapi juga timbulnya korban jiwa.

Benar banjir kali ini belum sampai pada taraf mengkhawatirkan. Akan tetapi, jika tidak disikapi secara cepat dan cermat, bisa membawa dampak yang lebih besar. Misalnya timbulnya wabah penyakit pasca-banjir, terhambatnya pasokan logistik, dan sebagainya. Maka semua pihak, khususnya pemerintah daerah (Pemda) dan pusat, harus segera mencari solusi jitu agar dampak dari musibah itu tidak sampai menyengsarakan masyarakat. Singkatnya, pemerintah pusat dan daerah harus merespons bencana dengan tindakan cepat, bukan hanya saling menunggu.

Pertanyaanya, pihak mana sebaiknya yang harus menjadi pionir respons tanggap bencana itu? Bagaimana strategi yang efektif agar tindakan itu tepat sasaran atau sampai pada masyarakat yang menjadi korban? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan. Pasalnya, selama ini Pemda terkesan lebih banyak menunggu perintah/instruksi dari pusat, sebelum melakukan reaksi tanggap bencana. Akibatnya, masyarakat yang menjadi korban harus menanggung beban berat karena menunggu bantuan yang tidak kunjung datang. Kelambanan -untuk mengatakan ketidaksigapan- tanggap bencana seperti itu jelas merugikan masyarakat.

Sudah saatnya Pemda lebih kreatif dan mengambil inisiatif menangani bencana, sebelum datangnya bantuan dari pusat. Itu karena Pemda lebih memahami persoalan di daerahnya. Maka, tidak etis jika menggunakan hari libur sebagai alasan menunda penanganan bencana.

Adapun penanganan yang bersifat segera itu misalnya menyediakan tempat penampungan pengungsi yang layak, fasilitas kesehatan darurat, tempat pengganti belajar anak-anak yang sekolahnya ikut tergenang banjir, masalah konsumsi makanan, dan sebagainya. Penampungan yang layak dan konsumsi makanan yang sehat ini diperlukan, agar masyarakat yang menjadi korban banjir tidak sampai terserang penyakit yang membahayakan. Adapun tempat pengganti belajar anak-anak perlu disiapkan, agar proses belajar-mengajar tidak sampai terhenti hanya gara-gara banjir.

Tidak kalah pentingnya, Pemda harus secepatnya memperbaiki sarana dan prasarana transportasi yang rusak seperti jalan dan jembatan. Perbaikan sarana transportasi itu bertujuan untuk melancarkan distribusi arus barang, sehingga tidak mengganggu sendi-sendi perekonomian. Kerusakan yang dibiarkan terlalu lama, akan berakibat fatal karena terhambatnya berbagai faktor utama penyangga perekonomian daerah maupun nasional.

Langkah sigap Pemda ini, selain menunjukkan komitmen terhadap masyarakat, juga bertujuan meminimalisasi terjadinya kampanye simbolis partai politik (Parpol) yang semakin intens menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2009. Fenomena yang sering kita temui, akibat tidak sigapnya Pemda, reaksi dan aksi cepat tanggap bencana justru dilakukan oleh Parpol. Kita sering dibuat terperangah karena setiap ada bencana, tiba-tiba ada bendera partai tertentu sudah berkibar lebih dulu di lokasi bencana. Keesokan harinya, juga muncul bendera dari partai lain yang tertancap di lokasi bencana lain.

Kepentingan Pragmatis
Memang tidak ada larangan bagi Parpol untuk turut serta membantu penanganan banjir. Hanya, timbul pertanyaan mengapa selama ini justru bendera Parpol yang didahulukan, bukan aksi nyata mereka yang diutamakan? Mestinya, pemasangan bendera Parpol itu juga dibarengi tindakan atau aksi nyata. Akibatnya timbul kesan bahwa setiap terjadi bencana, sepertinya sudah dikaveling-kaveling bahwa lokasi banjir di daerah tertentu bisa teratasi berkat aksi cepat partai tertentu. Dan otomatis, popularitas partai bersangkutan naik tajam.

Perilaku Parpol mengaveling lokasi bencana jelas tidak etis dan perlu diluruskan. Bukan hanya memanfaatkan derita dan kesengsaraan rakyat untuk kepentingan pragmatis dan politik, tetapi secara tidak langsung juga “membodohi” masyarakat. Pada kondisi demikian, Parpol sejatinya sering salah persepsi. Pasalnya, masyarakat awam kurang begitu memperhatikan bendera atau partai apa pun. Bagi mereka, yang penting beban dan penderitaan bisa sedikit dikurangi oleh bantuan partai tertentu.

Maka, sudah saatnya segenap elemen, baik pihak Pemda, pemerintah pusat dan Parpol, bekerjasama melaksanakan strategi tanggap bencana. Untuk sejenak, semua pihak melepas kepentingan masing-masing sembari menunjukkan “keikhlasannya” meringankan beban masyarakat. Kerjasama yang baik dan harmonis itu, justru akan menumbuhkan kecintaan dan simpati masyarakat. Beda tentunya dengan strategi “main kaveling” lokasi bencana, atau politik simbolis-pragmatis lainnya.

Respons cepat tanggap bencana ini, dalam jangka panjang perlu didukung dengan penanaman budaya tanggap bencana. Caranya, dana bantuan bagi korban bencana tidak seluruhnya disumbangkan. Tetapi, sebagian disisakan bagi pendidikan dan pelatihan, atau kegiatan simulasi/sosialisasi pencegahan bencana (mitigasi), dan peringatan awal adanya bencana (early warning system). Kegiatan tersebut merupakan bagian penting dalam lingkar manajemen bencana (disaster management cycle) yang sangat efektif mengurangi kerugian akibat bencana, meliputi kegiatan sebelum terjadinya bencana (pre event), setelah terjadinya bencana (post event), dan rehabilitasi atau rekonstruksi pasca-bencana (Makki, 2006).

Langkah tanggap bencana demikian, sudah menjadi tradisi dan budaya pemerintah Jepang. Mereka sangat menekankan pendidikan pre-event bagi warganya. Khususnya, mereka yang tinggal di daerah pesisir atau daerah rawan. Memang, dana untuk kegiatan tersebut tidak sedikit, bahkan bisa sebanding dengan dana rehabilitasi dan rekonstruksi. Asumsinya, dengan menginvestasikan dana untuk pencegahan, seperti pelatihan warga dan pembelian teknologi modern, toh akan menekan dana yang jauh lebih besar bila bencana terjadi. Setidaknya, hilangnya ribuan nyawa dan harta benda bisa dikurangi. Harapan kita bersama pemerintah khususnya Pemda Jateng dan Jatim bisa meneladani budaya Jepang merespons bencana, sehingga masyarakat yang menjadi korban bisa diminimalisasi. Semoga. []
Penulis adalah peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten