Langsung ke konten utama

Menjadi Bangsa Tanggap Bencana

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Bali Pos
Edisi Kamis, 15 Januari 2009

Menurut Japan's Meteorological Agency (2007), Indonesia merupakan salah satu kawasan di dunia yang paling rawan bencana. Itu karena letak geografisnya yang menjadi daerah pertemuan tiga lempeng besar teraktif, lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Eurasia. Akibatnya, semua wilayah negeri ini terus-menerus bergerak dan tidak menutup kemungkinan antarlempeng bisa saling bertabrakan. Bahkan, sewaktu-waktu gempa bisa saja terjadi, entah daerah yang pernah mengalami ataupun yang belum sama sekali. Hanya Pulau Kalimantan yang relatif stabil, meski juga tidak sepenuhnya aman dari dampak pergerakan lempeng tersebut.


Posisi geologis yang labil, ternyata berdampak pada kondisi vulkanik. Dari 129 gunung berapi yang ada di Indonesia, 79 di antaranya masuk kategori berbahaya dan sebagian besar (22 buah) berada di Pulau Jawa. Gunung-gunung berbahaya ini masuk tipe A, artinya pernah meletus sekurang-kurangnya tahun 1600, tetapi hingga kini gunung-gunung ini masih tetap menunjukkan aktivitasnya, seperti kegempaan yang berulang secara periodik dan sebagainya. Beberapa gunung api yang tergolong berbahaya di antaranya Gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur, Gunung Merapi di Yogyakarta, Gunung Guntur di Garut, Jawa Barat dan Krakatau di Banten.

Belum lagi bahaya yang disebabkan bencana angin puting-beliung, banjir dan tanah longsor, akibat penurunan fungsi dan daya dukung hutan. Singkatnya, bumi kita bukan surga yang nyaman, melainkan kawasan penuh dengan bermacam bencana yang siap mengancam keselamatan penghuninya. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah bangsa ini sudah siap menghadapi bencana yang datang sewaktu-waktu? Bagaimana menumbuhkan budaya tanggap bencana dalam masyarakat?


Urusan Pusat
Meski hidup di daerah rawan bencana, tampaknya sangat sedikit masyarakat yang belum paham apa itu gempa bumi, tsunami, bencana gunung api dan tanda-tanda pemicunya. Ketidakpahaman itu disebabkan paradigma penanggulangan bencana yang sangat konvensional. Singkatnya, penanggulangan bencana sering disamakan dengan tanggap darurat (orientasi relief). Maka wajar jika segala sesuatu yang berkenaan dengan bencana, selalu menjadi urusan pemerintah, atau istilah familiarnya urusan pusat. Baru setelah timbul kerusakan dan jatuh korban nyawa, masyarakat sering menyalahkan pemerintah.

Pascabencana, bantuan dana terus mengalir, khususnya dari pemerintah yang memang sudah diatur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tetapi, apakah akan terus seperti itu mekanisme menangani bencana? Jika demikian halnya, tidak menutup kemungkinan setiap terjadi bencana akan meminta korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit.

Tampaknya, tidak ada pilihan bagi bangsa ini, selain belajar menyiasati bencana. Istilah lain, menjadi bangsa yang tanggap bencana. Bukankah sejak dahulu nenek moyang kita telah mengajari bagaimana membaca tanda-tanda dan menyelamatkan diri dari bencana? Sebagai contoh, kita melihat perilaku orang desa yang hidup di sepanjang aliran sungai, cepat tanggap jika daerahnya akan ada bencana banjir. Prediksi tersebut didasarkan pada tanda-tanda alam yang mereka lihat, berupa keluarnya sekawanan semut tanah dari sarangnya untuk mencari tempat yang tinggi, dan tanda-tanda lainnya.

Kesadaran masyarakat untuk tanggap bencana tersebut, mestinya juga didukung secara serius oleh pemerintah. Misalnya, dana bantuan bagi korban bencana, tidak seluruhnya disumbangkan. Tetapi, sebagian disisakan guna mengadakan pendidikan dan pelatihan tanggap bencana, atau kegiatan simulasi dan sosialisasi pencegahan bencana (mitigasi) dan peringatan awal adanya bencana (warning early system -- WES). Sebab, sosialisasi dan WES efektif mengurangi lebih banyak korban ketimbang tidak ada sama sekali. Misalnya, ketika tsunami menerjang pantai selatan Pulau Jawa, khususnya Pangandaran, warga yang selamat umumnya mereka berlari menyelamatkan diri ke pegunungan karena mendapat pelajaran dari tsunami Aceh.

Lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle), menurut Makki (2006), meliputi tiga kegiatan besar. Pertama, sebelum terjadinya bencana (pre event), kedua setelah terjadinya bencana (post event), dan ketiga rehabilitasi atau rekonstruksi pascabencana. Kegiatan pre event meliputi disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation (mengurangi dampak bencana). Ada juga yang menyebut disaster reduction, sebagai perpaduan dari disaster mitigation dan disaster preparedness. Sementara kegiatan post event dapat berupa disaster response/emergency response (tanggap bencana) ataupun disaster recovery. Sayangnya, tradisi penanggulangan bencana yang dilakukan pemerintah lebih ditekankan pada langkah kedua dan ketiga, tanpa memedulikan tahap pertama.

Tidak kalah pentingnya, kita perlu belajar dari pemerintah dan masyarakat Jepang dalam menyiasati bencana. Di sana, sangat ditekankan pendidikan pre-event bagi warganya. Khususnya, mereka yang tinggal di daerah pesisir atau daerah rawan. Memang, dana untuk kegiatan tersebut tidak sedikit, bahkan bisa sebanding dengan dana rehabilitasi dan rekonstruksi. Asumsinya, dengan menginvestasikan dana untuk pencegahan, seperti pelatihan warga dan pembelian teknologi modern, toh akan menekan dana yang jauh lebih besar bila bencana terjadi. Setidaknya, hilangnya ribuan nyawa dan harta benda bisa dikurangi. Inilah yang kurang disadari pemerintah kita.

Selain itu, masyarakat Jepang selalu mempertimbangkan datangnya gempa, ketika membangun rumah, menata perabot rumah atau kantor. Pendek kata, segalanya dipersiapkan untuk memperkecil risiko. Begitu pula prosedur operasional standar (SOP) bagi setiap warga saat menghadapi gempa, diperkenalkan di sekolah maupun media massa. Anak TK dan SD pun paham langkah-langkah saat terjadi gempa, seperti berdiam di bawah meja dengan tangan dan bantal di atas kepala (Arif Satria, 2006).

Meski menjadi kawasan yang rawan bencana, tetapi bukan berarti negeri ini harus ditinggalkan. Artinya, kesiapan yang matang, ketelitian dan kewaspadaan, lebih efektif untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Pada akhirnya bangsa ini harus selalu tanggap, peka dan waspada pada pertanda alam sebagai pre-savety sebelum datangnya bencana. Semoga. [] Penulis, peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera