Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Joglosemar
Edisi Senin, 12 Januari 2008
Terungkapnya kecurangan dalam seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) Pemkab Gunungkidul, menimbulkan keprihatinan kita bersama. Sebagaimana diberitakan, kecurangan terkuak pada formasi bidang kelautan dan perikanan. Jelasnya, pada pengumuman CPNS 17 Desember 2008 yang diumumkan melalui website, disebutkan satu formasi untuk guru teknik perikanan laut yang dinyatakan lolos atas nama Agustin Rahmawati dengan nomor peserta ujian 4220302886. Dari hasil penelusuran, nama peserta tersebut ternyata bukan peserta ujian untuk formasi guru teknika perikanan laut.
Beberapa saat kemudian, Pemkab meralat hasil pengumuman itu dan menyatakan jika peserta yang lolos bernama Tomy Kundaru Hartanto dengan nomor ujian 4120400746. Pemkab juga melakukan ralat untuk formasi guru pendidikan jasmani karena terdapat nomor peserta yang berbeda dengan nomor sebenarnya. Ralat perubahan keputusan penerimaan CPNS 2008 ini, selanjutnya ditembuskan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negera RI, Menteri Keuangan RI, Kepala BKN RI, Gubernur DIY, Kepala Kantor Regional I BKN Yogyakarta dan Inspektur Daerah Kabupaten Gunungkidul.
Tentu saja, klarifikasi yang dilakukan Pemda itu belum memuaskan banyak pihak. Muncul anggapan, proses seleksi CPNS tidak dilakukan secara teliti, cermat, akuntabel dan transparan. Besar kemungkinan kecurangan serupa juga terjadi pada formasi-formasi lain seperti tenaga teknis, tenaga guru dan sebagainya.
Kecurangan dalam seleksi CPNS Pemda Gunungkidul, menimbulkan keprihatinan kita bersama. Itu artinya, reformasi dalam sistem seleksi birokrasi daerah belum menunjukkan keberhasilan.
Sejak awal proses pendaftaran, hingga pelaksanaan ujian memang sudah muncul polemik. Pertama, adanya ketidakseragaman pemahaman tata-tertib masing-masing petugas; ada yang mewajibkan A sementara petugas yang lain justru ngotot mewajibkan B.
Kedua, ketidakadilan penetapan kualifikasi pelamar. Misalnya tidak diperbolehkannya jurusan Kependidikan Islam (KI) UIN Sunan Kalijaga untuk mengikuti ujian, sementara jurusan non-kependidikan justru diperbolehkan hanya dengan mengantongi Akta-IV. Padahal, jurusan KI tidak jauh berbeda dengan jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), yang kredibilitas dan akreditasnya justru lebih baik ketimbang program Akta-IV.
Ketiga, kualitas soal ujian yang tidak merepresentasikan posisi/formasi. Idealnya, soal ujian harus merepresentasikan atau disesuaikan dengan spesifikasi pekerjaan (job description) yang hendak ditempati (Castetter, 1999:140). Misalnya yang dibutuhkan adalah guru bahasa Inggris, maka butir soal harus banyak dialokasikan, atau bisa mengungkap kemampuan seorang calon terhadap bahasa Inggris. Tidak demikian dengan soal ujian CPNS Gunungkidul—dan DIY pada umumnya. Semua dibuat sama dan seragam untuk seluruh formasi, entah guru PAI, tenaga kesehatan, tenaga teknis dan sebagainya, menjawab soal dengan bentuk yang sama.
Transparansi
Jika dikaitkan dengan teori Castetter, model “penyeragaman” soal ujian jelas tidak bisa menjaring calon yang sesuai dengan bidang tugasnya. Ibarat ingin menangkap ikan gurami, yang dipakai justru jala ikan paus atau hiu. Singkatnya, benar instrumen itu dibuat bekerjasama dengan tim Universitas Gadjah Mada (UGM), meski demikian tidak merepresentasikan sistem seleksi yang baik.
Keempat, seleksi yang dilakukan hanya sebatas administrasi dan ujian tulis. Mestinya, seleksi CPNS tidak hanya aspek administrasi dan tes tertulis saja, tetapi juga menggunakan proses wawancara. Inti diadakan wawancara pada prinsipnya untuk mengungkap secara mendalam potensi-potensi yang dimiliki calon, terkait layak tidaknya calon pada posisi atau jabatan yang akan ditempatinya.
Kelima, pengumuman CPNS Gunungkidul hanya dilakukan melalui internet saja. Akibatnya, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengaksesnya. Mestinya, pengumuman itu tidak hanya melalui internet dan papan pengumuman saja, tetapi harus diberitakan melalui media baik cetak maupun elektronik. Tujuannya agar masyarakat mengetahui mekanisme seleksi CPNS; mulai dari proses pengumuman penerimaan, proses seleksi, hingga penentuan calon yang diterima.
Tidak dimungkiri, seleksi CPNS merupakan salah satu penerimaan pegawai yang terbesar dan setiap tahun dilaksanakan di hampir semua kabupaten, kota, provinsi dan departemen. Tidak ada institusi lain, swasta misalnya, yang pernah melakukan perekrutan dan diikuti pelamar mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu orang, dengan lowongan yang diperebutkan hanya beberapa ribu saja.
Maka diperlukan sistem seleksi CPNS yang bersih dari KKN, berkualitas dan transparan. Benar transparansi merupakan kata yang mudah diucapkan, namun sesuatu hal yang sulit untuk dilakukan. Jika tidak ada niat untuk melaksanakan suatu kebijakan secara transparan dan menjauhkan pola-pola KKN, maka semua sistem yang dibuat untuk meminimalisasi terjadinya ”permainan” tidak akan berarti apa-apa.
Dari output seleksi yang transparan, diharapkan terjaring CPNS yang memiliki kemampuan, personalitas dan kepribadian sesuai dengan jabatan atau tugas yang akan ditempatinya. Adanya CPNS yang memiliki integritas dan budi pekerti yang luhur secara langsung akan mewarnai tempat kerjanya secara khusus dan negara ini pada umumnya.
Kasus kecurangan pada seleksi CPNS Gunungkidul, harus segera diusut secara tuntas. Pasalnya, bersih tidaknya seleksi CPSN akan berpengaruh secara signifikan pada pelaksanaan good governance, sekaligus menjadi indikator keseriusan pemerintah menegakkan political will, khususnya dalam mereformasi birokrasi. Kecurangan yang terjadi, di samping menunjukkan kegagalan reformasi birokrasi, hanya akan menghasilkan aparatur negara yang tidak profesional dan tidak amanah.
Sangat disayangkan, jika sistem penerimaan CPNS yang dibuat secara berjenjang mulai dari tingkat pusat, hingga daerah dan melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini Universitas Gadjah Mada, yang telah mengeluarkan biaya yang sangat besar, menjadi sia-sia, karena ada ketidakberesan dalam pelaksanaan. Biaya itu sudah terlalu besar untuk mencari beberapa ratus orang pegawai di lingkungan Pemkab Gunungkidul. Padahal jika sistem bagus yang berjalan ditaati, bukan tidak mungkin rekrutmen bisa dilakukan di tingkat kabupaten atau kota, dengan biaya jauh lebih murah dan efisien. Penulis adalah peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat Harian Joglosemar
Edisi Senin, 12 Januari 2008
Terungkapnya kecurangan dalam seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) Pemkab Gunungkidul, menimbulkan keprihatinan kita bersama. Sebagaimana diberitakan, kecurangan terkuak pada formasi bidang kelautan dan perikanan. Jelasnya, pada pengumuman CPNS 17 Desember 2008 yang diumumkan melalui website, disebutkan satu formasi untuk guru teknik perikanan laut yang dinyatakan lolos atas nama Agustin Rahmawati dengan nomor peserta ujian 4220302886. Dari hasil penelusuran, nama peserta tersebut ternyata bukan peserta ujian untuk formasi guru teknika perikanan laut.
Beberapa saat kemudian, Pemkab meralat hasil pengumuman itu dan menyatakan jika peserta yang lolos bernama Tomy Kundaru Hartanto dengan nomor ujian 4120400746. Pemkab juga melakukan ralat untuk formasi guru pendidikan jasmani karena terdapat nomor peserta yang berbeda dengan nomor sebenarnya. Ralat perubahan keputusan penerimaan CPNS 2008 ini, selanjutnya ditembuskan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negera RI, Menteri Keuangan RI, Kepala BKN RI, Gubernur DIY, Kepala Kantor Regional I BKN Yogyakarta dan Inspektur Daerah Kabupaten Gunungkidul.
Tentu saja, klarifikasi yang dilakukan Pemda itu belum memuaskan banyak pihak. Muncul anggapan, proses seleksi CPNS tidak dilakukan secara teliti, cermat, akuntabel dan transparan. Besar kemungkinan kecurangan serupa juga terjadi pada formasi-formasi lain seperti tenaga teknis, tenaga guru dan sebagainya.
Kecurangan dalam seleksi CPNS Pemda Gunungkidul, menimbulkan keprihatinan kita bersama. Itu artinya, reformasi dalam sistem seleksi birokrasi daerah belum menunjukkan keberhasilan.
Sejak awal proses pendaftaran, hingga pelaksanaan ujian memang sudah muncul polemik. Pertama, adanya ketidakseragaman pemahaman tata-tertib masing-masing petugas; ada yang mewajibkan A sementara petugas yang lain justru ngotot mewajibkan B.
Kedua, ketidakadilan penetapan kualifikasi pelamar. Misalnya tidak diperbolehkannya jurusan Kependidikan Islam (KI) UIN Sunan Kalijaga untuk mengikuti ujian, sementara jurusan non-kependidikan justru diperbolehkan hanya dengan mengantongi Akta-IV. Padahal, jurusan KI tidak jauh berbeda dengan jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), yang kredibilitas dan akreditasnya justru lebih baik ketimbang program Akta-IV.
Ketiga, kualitas soal ujian yang tidak merepresentasikan posisi/formasi. Idealnya, soal ujian harus merepresentasikan atau disesuaikan dengan spesifikasi pekerjaan (job description) yang hendak ditempati (Castetter, 1999:140). Misalnya yang dibutuhkan adalah guru bahasa Inggris, maka butir soal harus banyak dialokasikan, atau bisa mengungkap kemampuan seorang calon terhadap bahasa Inggris. Tidak demikian dengan soal ujian CPNS Gunungkidul—dan DIY pada umumnya. Semua dibuat sama dan seragam untuk seluruh formasi, entah guru PAI, tenaga kesehatan, tenaga teknis dan sebagainya, menjawab soal dengan bentuk yang sama.
Transparansi
Jika dikaitkan dengan teori Castetter, model “penyeragaman” soal ujian jelas tidak bisa menjaring calon yang sesuai dengan bidang tugasnya. Ibarat ingin menangkap ikan gurami, yang dipakai justru jala ikan paus atau hiu. Singkatnya, benar instrumen itu dibuat bekerjasama dengan tim Universitas Gadjah Mada (UGM), meski demikian tidak merepresentasikan sistem seleksi yang baik.
Keempat, seleksi yang dilakukan hanya sebatas administrasi dan ujian tulis. Mestinya, seleksi CPNS tidak hanya aspek administrasi dan tes tertulis saja, tetapi juga menggunakan proses wawancara. Inti diadakan wawancara pada prinsipnya untuk mengungkap secara mendalam potensi-potensi yang dimiliki calon, terkait layak tidaknya calon pada posisi atau jabatan yang akan ditempatinya.
Kelima, pengumuman CPNS Gunungkidul hanya dilakukan melalui internet saja. Akibatnya, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengaksesnya. Mestinya, pengumuman itu tidak hanya melalui internet dan papan pengumuman saja, tetapi harus diberitakan melalui media baik cetak maupun elektronik. Tujuannya agar masyarakat mengetahui mekanisme seleksi CPNS; mulai dari proses pengumuman penerimaan, proses seleksi, hingga penentuan calon yang diterima.
Tidak dimungkiri, seleksi CPNS merupakan salah satu penerimaan pegawai yang terbesar dan setiap tahun dilaksanakan di hampir semua kabupaten, kota, provinsi dan departemen. Tidak ada institusi lain, swasta misalnya, yang pernah melakukan perekrutan dan diikuti pelamar mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu orang, dengan lowongan yang diperebutkan hanya beberapa ribu saja.
Maka diperlukan sistem seleksi CPNS yang bersih dari KKN, berkualitas dan transparan. Benar transparansi merupakan kata yang mudah diucapkan, namun sesuatu hal yang sulit untuk dilakukan. Jika tidak ada niat untuk melaksanakan suatu kebijakan secara transparan dan menjauhkan pola-pola KKN, maka semua sistem yang dibuat untuk meminimalisasi terjadinya ”permainan” tidak akan berarti apa-apa.
Dari output seleksi yang transparan, diharapkan terjaring CPNS yang memiliki kemampuan, personalitas dan kepribadian sesuai dengan jabatan atau tugas yang akan ditempatinya. Adanya CPNS yang memiliki integritas dan budi pekerti yang luhur secara langsung akan mewarnai tempat kerjanya secara khusus dan negara ini pada umumnya.
Kasus kecurangan pada seleksi CPNS Gunungkidul, harus segera diusut secara tuntas. Pasalnya, bersih tidaknya seleksi CPSN akan berpengaruh secara signifikan pada pelaksanaan good governance, sekaligus menjadi indikator keseriusan pemerintah menegakkan political will, khususnya dalam mereformasi birokrasi. Kecurangan yang terjadi, di samping menunjukkan kegagalan reformasi birokrasi, hanya akan menghasilkan aparatur negara yang tidak profesional dan tidak amanah.
Sangat disayangkan, jika sistem penerimaan CPNS yang dibuat secara berjenjang mulai dari tingkat pusat, hingga daerah dan melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini Universitas Gadjah Mada, yang telah mengeluarkan biaya yang sangat besar, menjadi sia-sia, karena ada ketidakberesan dalam pelaksanaan. Biaya itu sudah terlalu besar untuk mencari beberapa ratus orang pegawai di lingkungan Pemkab Gunungkidul. Padahal jika sistem bagus yang berjalan ditaati, bukan tidak mungkin rekrutmen bisa dilakukan di tingkat kabupaten atau kota, dengan biaya jauh lebih murah dan efisien. Penulis adalah peneliti, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar