Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Joglosemar
Edisi Rabu, 18 Desember 2008
Seruan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid, agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram terhadap golongan putih (golput), sepintas positif. Fatwa itu dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, serta menekan laju peningkatan angka golput pada pemilu 2009. Sebelumnya, ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar (Cak Imin), juga meminta agar MUI mengeluarkan fatwa haram memilih partai-partai kecil dengan alasan mubazir
Pertanyaan yang muncul kemudian, seberapa efektif fatwa haram itu? Langkah-langkah apa saja yang mesti dilakukan pemerintah untuk menekan laju peningkatan angka golput?
Pertanyaan itu menjadi penting diajukan. Pasalnya, jika angka golput semakin tinggi kerugian yang ditimbulkan tidak sedikit. Kerugian itu tidak hanya aspek materi seperti kertas suara, tinta, dan perangkat pemungutan suara yang mubazir. Lebih dari itu, golput akan mengurangi kualitas demokrasi jika jumlahnya lebih dari 50 %. Artinya, mekanisme demokrasi mulai dari tahap pendirian partai, pemilihan caleg, pemilu, hingga pilpres menjadi kerja sia-sia—lantaran wakil rakyat dan presiden itu tidak dikehendaki rakyat.
Tidak dimungkiri, golput lebih banyak disebabkan ketidakpuasan rakyat pada kinerja pemerintah, anggota dewan, dan proses demokrasi selama ini. Itu dapat dilihat dari hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI, 2008), yang menyebutkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat yang sangat rendah (hanya 51 persen) terhadap demokrasi. Temuan itu, seakan menjawab teka-teki fenomena meningkatnya jumlah masyarakat golongan putih (golput) dalam pilkada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Selatan dan sebagainya. Selain itu, hasil survei Nasional Reform Institute (2008) juga menemukan sebanyak 61,81 persen responden kecewa dengan kinerja DPR.
Masyarakat tidak melihat demokrasi saat ini, sebagai sistem kenegaraan yang ideal. Bukannya menciptakan kesejahteraan, alih-alih, justru memicu kemiskinan, ketidakadilan dan ketidakmerataan dalam masyarakat. Jika mengacu pada standar Perserikatan Bangsa-Bangsa di mana setiap individu dengan 2 dollar Amerika Serikat per hari, maka lebih dari 50 persen penduduk Indonesia, yang berjumlah lebih dari 223 juta jiwa, tergolong miskin. Sementara, kekayaan sebesar 75 miliar dollar AS atau Rp 800 triliun yang beredar di Indonesia, hanya dimiliki oleh 150 orang. Pendek kata, demokrasi menjadi sistem politik yang tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat.
Sistem demokrasi kita, kata Buya Syafii Maarif (2007), justru menjadi sumber bencana. Itu karena para politisi sering menggunakan politik sebagai mata pencaharian utama. Politik yang mestinya menjadi sarana luhur mencapai demokratisasi, kenyataanya justru menjadi Machiavelli yang bergelimang kepalsuan dan kemunafikan. Istilah Machiavelli, tulis Boni Hargens (2008), merujuk pada penghalalan segala cara untuk mencapai kemenangan dalam konteks politik Italia.
Kondisi itu, masih diperparah dengan masuknya orang-orang yang belum “melek” politik dalam ajang memperebutkan kursi legislatif dan eksekutif. Akibatnya, demokrasi kita—meminjam istilah Aristoteles—menjadi sistem politik paling buruk yang mendorong golongan tidak terdidik menjadi pemimpin, atau memberikan kesempatan bagi orang-orang “bodoh” untuk berkuasa.
Tidak Tepat
Benar golput merupakan musuh bersama, yang menyebabkan kehancuran demokrasi. Tetapi, kurang bijaksana jika menggunakan fatwa haram untuk menekan laju peningkatannya. Para pengusul fatwa haram itu, kata Amien Rais (2008), mestinya bertaubat karena sejatinya mereka melanggar kaidah agama—dengan mengeluarkan fatwa itu. Artinya, mereka justru keliru karena membawa agama sebagai alat legitimasi, guna menuruti kepentingan dan syahwat politik.
Lambat laun, fatwa haram itu akan menggulirkan wacana bahwa agama sebagai sesuatu yang “semrawut”, lantaran mengurusi politik yang, sumir, nista, dan sarat dengan perebutan kursi atau jabatan. Fatwa haram juga akan menjadi alat untuk memfonis masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Padahal, kebebasan berpolitik, mengeluarkan pendapat, memilih atau dipilih, dijamin dalam Universal Declaration of Human Right (10/12/1948), serta menjadi kewajiban negara-negara penganut demokrasi di dunia. Maka, MUI bahkan negara sekalipun tidak punya kewenangan mewajibkan masyarakat menggunakan hak pilihnya. Jika fatwa itu keluar, tidak menutup kemungkinan akan muncul fatwa-fatwa yang lebih diskriminatif, misalnya larangan memilih calon legislatif non-muslim dan sebagainya.
Tampaknya, tidak ada pilihan bagi masyarakat kecuali bersatu padu melawan golput—sebagai pembajak demokrasi—dan menjadikannya sebagai musuh bersama (come enemy). Partisipasi politik dan apresiasi rakyat atas demokrasi harus semakin digalakkan, misalnya dengan memperbanyak forum debat yang efektif, memberikan kesempatan seluas-luasnya pada rakyat agar menyuarakan aspirasinya, memperkuat sistem demokrasi, dan mempercepat kemunculan figur pemimpin yang tegas dan bersih.
Para tokoh masyarakat, pemuka adat dan pemuka agama, harus menjadi tauladan rakyat dalam mengawal demokrasi. Mereka harus mampu meyakinkan masyarakat, bahwa demokrasi merupakan mekanisme terbaik menciptakan negara bangsa dan masyarakat madani (civil society). Singkatnya, demokrasi dengan ruh pancasila adalah representasi kearifan lokal dari berbagai suku bangsa kita.
Komitmen rakyat demikian, harus diimbangi dengan prilaku elit dan politisi yang tidak “mencla-mencle”. Mereka, harus mampu menunjukkan politik yang bersih, santun, dan menjadi pilar terbaik demokratisasi. Jika tidak, sudah pasti rakyat akan kecewa karena merasa dikebiri dan dibohongi. Maka, jangan salahkan rakyat jika angka golput itu semakin membumbung tinggi.
Pengembangan dan penguatan sistem demokrasi, kata Amartya Sen (1999), merupakan komponen yang esensial dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, orientasi pembangunan fisik yang selama ini diutamakan, harus diimbangi dengan pembangunan pelbagai sarana pendidikan demokrasi. Forum-forum kecil di angkringan, warung kopi, pos ronda, gubuk tengah sawah, hingga institusi pendidikan, harus menjadi sarana efektif mengajarkan demokrasi yang sejati pada masyarakat. Media-media itu, harus mengubah stigma buruk masyarakat pada demokrasi, dan perlahan-lahan mengembalikan kepercayaan mereka. Semoga. [] Peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat Harian Joglosemar
Edisi Rabu, 18 Desember 2008
Seruan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid, agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram terhadap golongan putih (golput), sepintas positif. Fatwa itu dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, serta menekan laju peningkatan angka golput pada pemilu 2009. Sebelumnya, ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar (Cak Imin), juga meminta agar MUI mengeluarkan fatwa haram memilih partai-partai kecil dengan alasan mubazir
Pertanyaan yang muncul kemudian, seberapa efektif fatwa haram itu? Langkah-langkah apa saja yang mesti dilakukan pemerintah untuk menekan laju peningkatan angka golput?
Pertanyaan itu menjadi penting diajukan. Pasalnya, jika angka golput semakin tinggi kerugian yang ditimbulkan tidak sedikit. Kerugian itu tidak hanya aspek materi seperti kertas suara, tinta, dan perangkat pemungutan suara yang mubazir. Lebih dari itu, golput akan mengurangi kualitas demokrasi jika jumlahnya lebih dari 50 %. Artinya, mekanisme demokrasi mulai dari tahap pendirian partai, pemilihan caleg, pemilu, hingga pilpres menjadi kerja sia-sia—lantaran wakil rakyat dan presiden itu tidak dikehendaki rakyat.
Tidak dimungkiri, golput lebih banyak disebabkan ketidakpuasan rakyat pada kinerja pemerintah, anggota dewan, dan proses demokrasi selama ini. Itu dapat dilihat dari hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI, 2008), yang menyebutkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat yang sangat rendah (hanya 51 persen) terhadap demokrasi. Temuan itu, seakan menjawab teka-teki fenomena meningkatnya jumlah masyarakat golongan putih (golput) dalam pilkada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Selatan dan sebagainya. Selain itu, hasil survei Nasional Reform Institute (2008) juga menemukan sebanyak 61,81 persen responden kecewa dengan kinerja DPR.
Masyarakat tidak melihat demokrasi saat ini, sebagai sistem kenegaraan yang ideal. Bukannya menciptakan kesejahteraan, alih-alih, justru memicu kemiskinan, ketidakadilan dan ketidakmerataan dalam masyarakat. Jika mengacu pada standar Perserikatan Bangsa-Bangsa di mana setiap individu dengan 2 dollar Amerika Serikat per hari, maka lebih dari 50 persen penduduk Indonesia, yang berjumlah lebih dari 223 juta jiwa, tergolong miskin. Sementara, kekayaan sebesar 75 miliar dollar AS atau Rp 800 triliun yang beredar di Indonesia, hanya dimiliki oleh 150 orang. Pendek kata, demokrasi menjadi sistem politik yang tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat.
Sistem demokrasi kita, kata Buya Syafii Maarif (2007), justru menjadi sumber bencana. Itu karena para politisi sering menggunakan politik sebagai mata pencaharian utama. Politik yang mestinya menjadi sarana luhur mencapai demokratisasi, kenyataanya justru menjadi Machiavelli yang bergelimang kepalsuan dan kemunafikan. Istilah Machiavelli, tulis Boni Hargens (2008), merujuk pada penghalalan segala cara untuk mencapai kemenangan dalam konteks politik Italia.
Kondisi itu, masih diperparah dengan masuknya orang-orang yang belum “melek” politik dalam ajang memperebutkan kursi legislatif dan eksekutif. Akibatnya, demokrasi kita—meminjam istilah Aristoteles—menjadi sistem politik paling buruk yang mendorong golongan tidak terdidik menjadi pemimpin, atau memberikan kesempatan bagi orang-orang “bodoh” untuk berkuasa.
Tidak Tepat
Benar golput merupakan musuh bersama, yang menyebabkan kehancuran demokrasi. Tetapi, kurang bijaksana jika menggunakan fatwa haram untuk menekan laju peningkatannya. Para pengusul fatwa haram itu, kata Amien Rais (2008), mestinya bertaubat karena sejatinya mereka melanggar kaidah agama—dengan mengeluarkan fatwa itu. Artinya, mereka justru keliru karena membawa agama sebagai alat legitimasi, guna menuruti kepentingan dan syahwat politik.
Lambat laun, fatwa haram itu akan menggulirkan wacana bahwa agama sebagai sesuatu yang “semrawut”, lantaran mengurusi politik yang, sumir, nista, dan sarat dengan perebutan kursi atau jabatan. Fatwa haram juga akan menjadi alat untuk memfonis masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Padahal, kebebasan berpolitik, mengeluarkan pendapat, memilih atau dipilih, dijamin dalam Universal Declaration of Human Right (10/12/1948), serta menjadi kewajiban negara-negara penganut demokrasi di dunia. Maka, MUI bahkan negara sekalipun tidak punya kewenangan mewajibkan masyarakat menggunakan hak pilihnya. Jika fatwa itu keluar, tidak menutup kemungkinan akan muncul fatwa-fatwa yang lebih diskriminatif, misalnya larangan memilih calon legislatif non-muslim dan sebagainya.
Tampaknya, tidak ada pilihan bagi masyarakat kecuali bersatu padu melawan golput—sebagai pembajak demokrasi—dan menjadikannya sebagai musuh bersama (come enemy). Partisipasi politik dan apresiasi rakyat atas demokrasi harus semakin digalakkan, misalnya dengan memperbanyak forum debat yang efektif, memberikan kesempatan seluas-luasnya pada rakyat agar menyuarakan aspirasinya, memperkuat sistem demokrasi, dan mempercepat kemunculan figur pemimpin yang tegas dan bersih.
Para tokoh masyarakat, pemuka adat dan pemuka agama, harus menjadi tauladan rakyat dalam mengawal demokrasi. Mereka harus mampu meyakinkan masyarakat, bahwa demokrasi merupakan mekanisme terbaik menciptakan negara bangsa dan masyarakat madani (civil society). Singkatnya, demokrasi dengan ruh pancasila adalah representasi kearifan lokal dari berbagai suku bangsa kita.
Komitmen rakyat demikian, harus diimbangi dengan prilaku elit dan politisi yang tidak “mencla-mencle”. Mereka, harus mampu menunjukkan politik yang bersih, santun, dan menjadi pilar terbaik demokratisasi. Jika tidak, sudah pasti rakyat akan kecewa karena merasa dikebiri dan dibohongi. Maka, jangan salahkan rakyat jika angka golput itu semakin membumbung tinggi.
Pengembangan dan penguatan sistem demokrasi, kata Amartya Sen (1999), merupakan komponen yang esensial dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, orientasi pembangunan fisik yang selama ini diutamakan, harus diimbangi dengan pembangunan pelbagai sarana pendidikan demokrasi. Forum-forum kecil di angkringan, warung kopi, pos ronda, gubuk tengah sawah, hingga institusi pendidikan, harus menjadi sarana efektif mengajarkan demokrasi yang sejati pada masyarakat. Media-media itu, harus mengubah stigma buruk masyarakat pada demokrasi, dan perlahan-lahan mengembalikan kepercayaan mereka. Semoga. [] Peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus