Oleh Agus Wibowo *
Dimuat Harian Solopos
Edisi Rabu,03 Desember 2008
Kaum difabel adalah kelompok minoritas di negeri ini. Badan Pusat Statistik (BPS, 2006) menyebut jumlahnya hanya sekitar 10% dari 250 juta total penduduk Indonesia. Wajar jika keberadaan mereka kurang direspons secara positif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Mereka sering mendapat perlakuan diskriminatif di berbagai aspek kehidupan, entah di bidang pendidikan, politik, sosial, olahraga, budaya dan sebagainya. Tak jarang sebuah keluarga menyembunyikan anggotanya yang difabel, untuk menghindari rasa malu lantaran menganggapnya sebagai aib yang bisa merusak citra keluarga.
Pertanyaannya kemudian; apa yang memicu perlakuan diskriminatif itu? Sampai sejauh mana upaya pemerintah memperbaiki martabat kaum difabel? Langkah apa yang harus dilakukan pemerintah untuk melindungi kaum difabel?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi penting diajukan, pasalnya, kaum difabel adalah warga negara yang suaranya juga turut menyumbang perolehan kursi Parpol ketika Pilkada, Pilgub, Pemilu dan Pilpres. Maka, tidak adil jika sumbangsih dan dukungan suara itu berbalas diskriminasi.
Benar pemerintah sudah mencanangkan Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN, 2000) sebagai penerapan UU No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat.
Menurut UU ini, kaum difabel harus mendapat perlakuan yang sama layaknya masyarakat normal lainnya. Sayangnya, UU itu belum efektif mengubah nasib kaum difabel. Itu terlihat dengan sikap masyarakat yang masih menganggap kaum difabel sebagai ”sampah” yang layak menerima ketidakadilan.
Seperti kasus yang dialami atlet penyandang cacat Kabupaten Bandung. Meski mereka turut andil membela mati-matian daerah, tetapi penghargaan yang seharusnya diterima tidak sebanding. Singkatnya, mereka dibedakan dengan atlet normal.
Ironis
Pada ranah pendidikan tak kalah kejamnya. Jika merujuk UUD 1945, tidak ada pembedaan antara warga negara normal maupun difabel. Asalkan warga negara/penduduk asli, berhak mendapat pendidikan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Praktiknya, sekolah dan perguruan tinggi (PT) kita justru mempersulit kaum difabel, meski mereka memiliki kecerdasan melebihi orang normal.
Pun begitu di ruang publik. Meski pemerintah sudah mendeklarasikan GAUN, tetapi ironisnya akses publik yang ramah bagi kaum difabel (difabel friendly) belum dibangun. Pemerintah beranggapan pembangunan difabel friendly kurang menguntungkan secara ekonomis. Misalnya, kalau setiap ruang publik harus dibuatkan ramp atau lift bagi pemakai kursi roda atau guiding block bagi tunanetra, dana yang dikeluarkan amat banyak.
Lebih ironis, muncul bentuk-bentuk kekerasan sosial baru terhadap kaum difabel di masyarakat. Misalnya, seorang tunanetra ditolak mendaftar ujian calon pegawai negeri sipil (CPNS), karena panitia tidak menyediakan soal dalam huruf braille.
Pemakai kursi roda ditolak mendaftar kuliah karena laboratorium kampus tersebut berada di lantai dua, sementara tidak ada ramp maupun lift. Dinas Tenaga Kerja menolak difabel untuk mengikuti kursus, karena menurut mereka tempat difabel adalah di Dinas Sosial. Dan, banyak lagi bentuk kekerasan yang lain.
Fenomena itu, tentu amat menyakitkan. Bukankah kaum difabel juga manusia—yang menjadi cacat karena suratan Tuhan? Sangat tidak adil jika kita semakin menambah panjang daftar deritanya?
Tampaknya, kita akan terus menjadi bangsa ”pendosa” jika tidak segera mengubah nasib kaum difabel. Masyarakat bawah perlu disadarkan akan pentingnya sensibilitas dan dan penghormatan atas hak-hak kaum difabel.
Meski minoritas, kaum difabel itu harus diposisikan secara layak sesuai dengan standar normalitas mereka. Standar normalitas itu adalah kriteria yang digunakan untuk memandang atau mengukur kemampuan dan keberhasilan, dari perspektif kaum difabel sendiri. Dengan standar itu, sekecil apapun peran kaum difabel akan kita apresiasikan secara layak dan positif.
Tidak kalah pentingnya, kriteria kenyamanan dan standar keselamatan ruang publik bagi kaum difabel harus diutamakan. Mereka merupakan individu lemah yang sangat gampang terkena bahaya.
Kepekaan dan solidaritas terhadap kaum difabel memang sebuah keniscayaan. Meski demikian, harus ditempatkan pada kerangka sewajarnya. Solidaritas dan kepekaan yang berlebih, pada gilirannya justru menempatkan kaum difabel pada pribadi yang malas dan manja (karena sudah dikasihani). Sudah saatnya diciptakan kondisi yang membuat kaum difabel enjoy dengan kekurangannya.
Langkah strategis
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan, harus segera melakukan langkah-langkah strategis guna melindungi kaum difabel. Sebagaimana rekomendasi workshop difabel (2006), maka langkah-langkah strategis itu meliputi: (1) Dimasukkannya anggaran untuk kaum difabel (difabel budgeting) dalam APBN/APBD. Anggaran ini digunakan untuk membangun infrastruktur dan ruang publik yang nyaman bagi kaum difabel; (2) Pemerintah dan DPR perlu mengamandemen UU No 4 Tahun 1997 dan peraturan-peraturan turunannya agar lebih mengakomodasi kepentingan difabel; (3) Pemerintah memberikan keterampilan, kesempatan dan pendidikan kepada difabel sesuai dengan minat dan potensinya; (4) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada difabel untuk mendapatkan lapangan kerja sesuai pendidikan, keterampilan, kecakapan, dan minatnya; (5) Pemerintah juga harus melakukan penegakan hukum yang adil jika terjadi kekerasan maupun pelanggaran hak asasi difabel; (6) Pemerintah harus memberikan kemudahan bagi difabel untuk mengakses ruang publik, baik secara fisik maupun nonfisik; (7) Pemerintah perlu memperluas akses informasi dan komunikasi bagi difabel, termasuk informasi berbasis teknologi; (8)Pemerintah secara nasional mestinya mendeklarasikan dan mengimplementasikan gerakan nasional ramah difabel; (9) Menghapuskan pelabelan negatif terhadap difabel serta menerima difabel sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat.
Pada akhirnya, kaum difabel harus dipandang sebagaimana individu normal lainnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mereka yang punya kelebihan, difasilitasi serta diberi ruang untuk mengekpresikan. Sementara, mereka yang tidak percaya diri harus diberi penyadaran dan dimotivasi agar mensiasati kekurangan yang dimilikinya sebagai sebuah peluang. Semoga.[]
Dimuat Harian Solopos
Edisi Rabu,03 Desember 2008
Kaum difabel adalah kelompok minoritas di negeri ini. Badan Pusat Statistik (BPS, 2006) menyebut jumlahnya hanya sekitar 10% dari 250 juta total penduduk Indonesia. Wajar jika keberadaan mereka kurang direspons secara positif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Mereka sering mendapat perlakuan diskriminatif di berbagai aspek kehidupan, entah di bidang pendidikan, politik, sosial, olahraga, budaya dan sebagainya. Tak jarang sebuah keluarga menyembunyikan anggotanya yang difabel, untuk menghindari rasa malu lantaran menganggapnya sebagai aib yang bisa merusak citra keluarga.
Pertanyaannya kemudian; apa yang memicu perlakuan diskriminatif itu? Sampai sejauh mana upaya pemerintah memperbaiki martabat kaum difabel? Langkah apa yang harus dilakukan pemerintah untuk melindungi kaum difabel?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi penting diajukan, pasalnya, kaum difabel adalah warga negara yang suaranya juga turut menyumbang perolehan kursi Parpol ketika Pilkada, Pilgub, Pemilu dan Pilpres. Maka, tidak adil jika sumbangsih dan dukungan suara itu berbalas diskriminasi.
Benar pemerintah sudah mencanangkan Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN, 2000) sebagai penerapan UU No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat.
Menurut UU ini, kaum difabel harus mendapat perlakuan yang sama layaknya masyarakat normal lainnya. Sayangnya, UU itu belum efektif mengubah nasib kaum difabel. Itu terlihat dengan sikap masyarakat yang masih menganggap kaum difabel sebagai ”sampah” yang layak menerima ketidakadilan.
Seperti kasus yang dialami atlet penyandang cacat Kabupaten Bandung. Meski mereka turut andil membela mati-matian daerah, tetapi penghargaan yang seharusnya diterima tidak sebanding. Singkatnya, mereka dibedakan dengan atlet normal.
Ironis
Pada ranah pendidikan tak kalah kejamnya. Jika merujuk UUD 1945, tidak ada pembedaan antara warga negara normal maupun difabel. Asalkan warga negara/penduduk asli, berhak mendapat pendidikan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Praktiknya, sekolah dan perguruan tinggi (PT) kita justru mempersulit kaum difabel, meski mereka memiliki kecerdasan melebihi orang normal.
Pun begitu di ruang publik. Meski pemerintah sudah mendeklarasikan GAUN, tetapi ironisnya akses publik yang ramah bagi kaum difabel (difabel friendly) belum dibangun. Pemerintah beranggapan pembangunan difabel friendly kurang menguntungkan secara ekonomis. Misalnya, kalau setiap ruang publik harus dibuatkan ramp atau lift bagi pemakai kursi roda atau guiding block bagi tunanetra, dana yang dikeluarkan amat banyak.
Lebih ironis, muncul bentuk-bentuk kekerasan sosial baru terhadap kaum difabel di masyarakat. Misalnya, seorang tunanetra ditolak mendaftar ujian calon pegawai negeri sipil (CPNS), karena panitia tidak menyediakan soal dalam huruf braille.
Pemakai kursi roda ditolak mendaftar kuliah karena laboratorium kampus tersebut berada di lantai dua, sementara tidak ada ramp maupun lift. Dinas Tenaga Kerja menolak difabel untuk mengikuti kursus, karena menurut mereka tempat difabel adalah di Dinas Sosial. Dan, banyak lagi bentuk kekerasan yang lain.
Fenomena itu, tentu amat menyakitkan. Bukankah kaum difabel juga manusia—yang menjadi cacat karena suratan Tuhan? Sangat tidak adil jika kita semakin menambah panjang daftar deritanya?
Tampaknya, kita akan terus menjadi bangsa ”pendosa” jika tidak segera mengubah nasib kaum difabel. Masyarakat bawah perlu disadarkan akan pentingnya sensibilitas dan dan penghormatan atas hak-hak kaum difabel.
Meski minoritas, kaum difabel itu harus diposisikan secara layak sesuai dengan standar normalitas mereka. Standar normalitas itu adalah kriteria yang digunakan untuk memandang atau mengukur kemampuan dan keberhasilan, dari perspektif kaum difabel sendiri. Dengan standar itu, sekecil apapun peran kaum difabel akan kita apresiasikan secara layak dan positif.
Tidak kalah pentingnya, kriteria kenyamanan dan standar keselamatan ruang publik bagi kaum difabel harus diutamakan. Mereka merupakan individu lemah yang sangat gampang terkena bahaya.
Kepekaan dan solidaritas terhadap kaum difabel memang sebuah keniscayaan. Meski demikian, harus ditempatkan pada kerangka sewajarnya. Solidaritas dan kepekaan yang berlebih, pada gilirannya justru menempatkan kaum difabel pada pribadi yang malas dan manja (karena sudah dikasihani). Sudah saatnya diciptakan kondisi yang membuat kaum difabel enjoy dengan kekurangannya.
Langkah strategis
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan, harus segera melakukan langkah-langkah strategis guna melindungi kaum difabel. Sebagaimana rekomendasi workshop difabel (2006), maka langkah-langkah strategis itu meliputi: (1) Dimasukkannya anggaran untuk kaum difabel (difabel budgeting) dalam APBN/APBD. Anggaran ini digunakan untuk membangun infrastruktur dan ruang publik yang nyaman bagi kaum difabel; (2) Pemerintah dan DPR perlu mengamandemen UU No 4 Tahun 1997 dan peraturan-peraturan turunannya agar lebih mengakomodasi kepentingan difabel; (3) Pemerintah memberikan keterampilan, kesempatan dan pendidikan kepada difabel sesuai dengan minat dan potensinya; (4) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada difabel untuk mendapatkan lapangan kerja sesuai pendidikan, keterampilan, kecakapan, dan minatnya; (5) Pemerintah juga harus melakukan penegakan hukum yang adil jika terjadi kekerasan maupun pelanggaran hak asasi difabel; (6) Pemerintah harus memberikan kemudahan bagi difabel untuk mengakses ruang publik, baik secara fisik maupun nonfisik; (7) Pemerintah perlu memperluas akses informasi dan komunikasi bagi difabel, termasuk informasi berbasis teknologi; (8)Pemerintah secara nasional mestinya mendeklarasikan dan mengimplementasikan gerakan nasional ramah difabel; (9) Menghapuskan pelabelan negatif terhadap difabel serta menerima difabel sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat.
Pada akhirnya, kaum difabel harus dipandang sebagaimana individu normal lainnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mereka yang punya kelebihan, difasilitasi serta diberi ruang untuk mengekpresikan. Sementara, mereka yang tidak percaya diri harus diberi penyadaran dan dimotivasi agar mensiasati kekurangan yang dimilikinya sebagai sebuah peluang. Semoga.[]
* Pemerhati sosial, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Good respond in return of this difficulty with firm arguments and telling all regarding that.
BalasHapushttp://is.gd/bVmvI7 apartment for rent in santa monica
My page; santa monica apartment
My site: apartments for rent