Langsung ke konten utama

Reformasi Birokrasi Lewat Seleksi CPNS

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Joglosemar, Edisi Selasa, 4 November 2008
Bulan ini, Pemerintah Jawa Tengah (Jateng) secara serentak membuka pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS). Adapun jumlah dan formasinya; tenaga pendidik (100 orang), tenaga kesehatan (125 orang), dan tenaga teknis (177 orang). Momentum ini, sudah lama ditunggu-tunggu segenap masyarakat. Pasalnya, menjadi seorang PNS memiliki banyak keuntungan. Selain jaminan gaji yang layak, uang pensiun di hari tua, juga adanya konversi status sosial. Pendek kata, menjadi PNS akan mengangkat derajat seseorang menjadi golongan terhormat atau priyayi.

Pandangan demikian sangat wajar, apalagi di tengah krisis ekonomi hanya PNS saja yang bisa tetap bertahan. Dari aspek budaya, feodalisme dan kolonialisme yang masih mengakar kuat di negeri ini, memandang PNS sebagai posisi yang luhur. Maka, wajar jika semua orang ingin menjadi PNS meskipun dengan berbagai cara.

Rekrutmen CPNS yang baik, akan menjadi pemicu perubahan dalam sistem kepegawaian. Sebaliknya, seleksi dilakukan secara gegabah dan sarat dengan KKN hanya akan menghasilkan The bad man. Kita tentu tidak ingin praktik kecurangan dalam seleksi CPNS tahun 2006, terulang kembali dan menodai sistem good governance yang sudah tersemai. Lebih dari itu, seleksi CPNS yang tidak akuntabel, hanya akan mematikan agenda reformasi, lantaran tidak membawa perubahan krusial dalam kehidupan bangsa.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana mekanisme seleksi CPNS yang baik dan akuntabel tersebut?

Model seleksi CPNS dilakukan melaui dua cara, yaitu melalui tahapan yang disebut ujian CPNS umum, dan melalui seleksi pengangkatan berdasar kebutuhan sebuah lembaga. Mekanisme yang terakhir kurang begitu dikenal dalam masyarakat, karena hanya bersifat spesifik dan temporer.

Model seleksi pertama, memiliki beberapa keuntungan diantaranya: pertama, efisien waktu, biaya, sumberdaya manusia, dan koreksi hasil ujian bisa diproses secara canggih dengan komputer. Kedua, merata karena setiap orang bisa berkompetisi tanpa adanya diskriminasi intelektual. Ketiga, jumlah pelamar sangat banyak sehingga bisa leluasa memilih calon pegawai yang terbaik.

Hanya, sistem seleksi itu memiliki beberapa kelemahan di antaranya; Pertama, ketidaksesuaian antara materi ujian CPNS dengan jabatan yang akan diduduki. Kedua, kurang bisa memilih calon yang benar-benar ideal, karena dalam tes hanya menjangkau satu aspek yaitu aspek kognitif. Jika dilaksanakan wawancara, terkesan sekadar formalitas —di samping sering ada hello effect, dari penampilan maupun nilai hasil ujian tertulis calon sebelumnya.

Ketiga, sangat rentan timbulnya kecurangan. Misalnya soal ujian yang sudah bocor sebelum diujikan karena ulah oknum pembuat soal atau panitia ujian, kesalahan antara nomor dan nama orang, sehingga sering terjadi nomor milik A sementara namanya milik B, dan sebagainya. Anehnya, sistem seleksi model pertama yang sarat dengan kelemahan dan KKN itu, masih saja dipertahankan. Bahkan, semakin kokoh dengan adanya Keppres Nomor 71/2004 yang menjelaskan beberapa aturan tambahan; ujian CPNS dilakukan secara serentak, mekanisme seleksi, dan pemrosesan hasil ujian.

Transparan dan Akuntabel
Keberhasilan seleksi CPNS, akan berpengaruh secara signifikan pada pelaksanaan good governance, sekaligus menjadi indikator keseriusan pemerintah menegakkan political will, khususnya dalam mereformasi birokrasi. Kecurangan yang terjadi dalam seleksi CPNS, hanya akan menghasilkan aparatur negara yang tidak profesional dan tidak amanah. Maka, memperbaiki model seleksi CPNS adalah kewajiban pemerintah yang tidak bisa ditunda-tunda.

Seleksi pegawai yang ideal, kata Castetter (1999:140), harus dilaksanalkan secara jujur (honesty), transparan dan akuntabel. Model seleksi demikian bisa dilakukan dengan langkah-langkah; Pertama, merujuk pada teori-teori seleksi yang telah teruji kevalidan dan reliabilitasnya. Artinya, sistem seleksi harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.

Kedua, materi ujian harus merepresentasikan, atau disesuaikan dengan spesifikasi pekerjaan (job diskription) yang hendak ditempati. Misalnya yang dibutuhkan adalah guru bahasa Inggris, maka butir soal harus banyak dialokasikan, atau bisa mengungkap kemampuan seorang calon terhadap bahasa Inggris.

Ketiga, ujian CPNS tidak hanya tes tertulis saja tetapi juga menggunakan proses wawancara. Adapun model wawancara bisa disesuaikan dengan konteks calon, misalnya disepakati memakai wawancara tipe keperilakuan, kelompok dan sebagainya. Inti diadakan wawancara pada prinsipnya untuk mengungkap secara mendalam potensi-potensi yang dimiliki calon, terkait layak tidaknya calon pada posisi atau jabatan yang akan ditempatinya.

Keempat, bebas kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Artinya, mulai dari proses pengumuman penerimaan, proses seleksi, hingga penentuan calon yang diterima, harus diketahui masyarakat. Oleh karena itu, pengumuman tidak hanya melalui internet, dan papan pengumuman saja, tetapi harus diberitakan melalui media baik cetak maupun elektronik. Selama ini yang terjadi sebaliknya, pengumuman yang dilakukan hanya melalui internet—dalam waktu yang relatif singkat—sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa mengaksesnya.

Tidak kalah pentingnya, perlu dibentuk tim independen yang memantau pelaksanaan seleksi. Tujuannya, berbagai kecurangan pada event penting itu bisa dihindari. Pada akhirnya, proses seleksi CPNS yang bersih dari KKN, berkualitas dan transparan merupakan salah satu cara mewujudkan agenda reformasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari output seleksi tersebut akan didapat CPNS yang kemampuan, personalitas dan kepribadiannya sesuai dengan jabatan atau tugas yang akan ditempatinya. Adanya CPNS yang memiliki integritas dan budi pekerti yang luhur secara langsung akan mewarnai tempat kerjanya secara khusus dan negara ini pada umumnya.

Akhirnya, pergeseran paradigma memang harus dilakukan secara bertahap melalui sosialisasi kultural, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga pilar pemerintahan itu, harus bahu-membahu menciptakan tatanan dan sistem seleksi yang ideal. Jika hanya salah satu bagian saja yang berusaha, tetapi tidak didukung oleh bagian lain, sangat mustahil cita-cita mulia tersebut menjadi kenyataan. Semoga.[]
Peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...