Langsung ke konten utama

Memperbaiki Martabat Guru

Oleh Agus Wibowo *
Dimuat Harian Jurnal Nasional
Edisi Sabtu, 29 November 2008


Komitmen Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) untuk memperbaiki nasib guru terbukti. Pasalnya, dalam waktu dekat gaji guru dan dosen akan dinaikkan sebesar 100 persen. Data Depdiknas (2008) menyebutkan dengan kenaikan itu, gaji terendah untuk guru pegawai negeri sipil (PNS) golongan II/B tidak bersertifikat (0 tahun), yang semula hanya Rp1,55 juta, akan naik sebesar Rp2,07 juta. Sementara, gaji untuk guru PNS tertinggi dengan golongan IVE bersertifikat (0 tahun) yang semula Rp2,43 juta, menjadi Rp5,42 juta. Itu belum ditambah tunjangan khusus bagi guru yang berada di daerah terpencil (gurdacil) sebesar Rp5,1 Juta, dan tunjangan-tunjangan lainnya. Jika ditotal, setiap bulannya guru akan menerima gaji sebesar Rp10 juta.

Tidak hanya guru PNS saja yang ketiban untung, guru non-PNS juga demikian. Mereka akan mendapat tunjangan fungsional dengan perincian non S1 naik dari Rp200 ribu menjadi Rp250 ribu, sedangkan yang S1 naik dari Rp200 ribu menjadi Rp300 ribu. Sementara untuk dosen PNS golongan III/B belum bersertifikat (0 tahun) yang tahun ini gajinya Rp1,8 juta, akan naik menjadi Rp2,26 juta per bulan. Sedangkan untuk tingkat guru besar, gajinya naik dari Rp5,12 juta menjadi Rp13,53 juta per bulan.
Upaya meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi itu, sebenarnya sudah dimulai sejak Presiden SBY mendeklarasikan guru sebagai profesi pada 2004. Setelah deklarasi ini, diikuti pula dengan pembentukan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK), sekaligus disahkannya UU Guru dan Dosen akhir 2005.

Sebagai tindak lanjut reformasi ini, dikeluarkanlah UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Tidak hanya itu, ada juga PP 19 Tahun 2005 tentang Standardisasi Pendidikan Nasional serta Permendiknas No. 18/2007 tentang Sertifikasi Guru Melalui Jalur Portofolio. Ditambah lagi dengan Permendiknas No. 40/2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan.

Komitmen Presiden SBY sebagaimana disebutkan, patut disambut positif. Pertanyaannya kemudian, sudah siapkah guru dengan kenaikan gaji itu? Langkah apa yang harus ditempuh guru untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya?

Perlu Bijaksana
Harus diakui, tingkat kesejahteraan guru di negeri ini amat memprihatinkan. Sesama pegawai dengan golongan IV, kata Suyanto (2001), yang satu guru dan yang lain pegawai administrasi, memiliki perbedaan yang amat mencolok. Padahal, di negara-negara maju gaji guru lebih tinggi (antara 111-235%) dari pada pegawai administrasi, apalagi pegawai di sektor industri. Misalnya di Selandia Baru, gaji guru lebih tinggi sekitar 185 persen dari pada gaji pegawai administrasi, di Finlandia 234 persen, dan di Swedia 235 persen.

Kenaikan gaji guru, kata Husaini Usman (2008), belum tentu berbanding lurus dengan perbaikan profesionalisme yang bersangkutan, apalagi kualitas pendidikan bangsa pada umumnya. Selain belum ada penelitian yang membuktikan, mengukur kualitas guru dan pendidikan bangsa juga tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek. Jika tidak disikapi secara bijaksana kenaikan gaji justru akan merugikan yang bersangkutan.

Misalnya, guru kaget-dengan banyaknya uang yang diterima-sehingga memudarkan konsentrasi mereka di kelas. Penyebabnya sederhana, jika dahulu karena gaji sangat minim, guru hanya berani kredit 10-60 juta dengan angsuran ringan. Kini, mereka berani kredit elektronik, mobil, tanah, bahkan rumah dengan harga di atas 200 juta. Akibatnya, angsuran kredit yang harus dibayar meningkat yang artinya daftar utang guru semakin menumpuk.

Begitu punya mobil, timbul hasrat untuk refresing atau rekreasi mengujungi objek wisata pada hari sabtu dan minggu. Kegiatan ini pasti mengeluarkan dana yang tidak sedikit; untuk jajan anak-anak di jalan, bensin, oleh-oleh dan sebagainya. Karena kecapekan rekreasi, senin pagi guru justru tidak semangat dan bergairah dalam mengajar. Siapa yang rugi? Murid!

Pola Keseimbangan
Sudah saatnya guru mengajar dengan profesional, bukan asal menunaikan tugas. Itu menuntut adanya perubahan yang dimulai dari guru sendiri. Benar kesejahteraan manusiawi yang menjadi hak setiap warga negara, dituntut dan diperjuangkan. Akan tetapi, hak itu harus dibarengi dengan komitmen melaksanakan kewajiban dengan sunguh-sungguh dan bertanggungjawab. Artinya, mengajar anak didik tidak dimaknai sekedar memenuhi kuota tugas negara, untuk mendapat kenaikan gaji. Tetapi, harus mulai diniatkan untuk mencerahkan bangsa dan generasi muda penerusnya.

Kenaikan gaji memang menjadi keniscayaan, di tengah tuntutan dan tugas guru yang semakin berat. Hanya saja, lebih bijaksana jika kenaikan gaji yang diterima, dibuat pola yang seimbang antara kebutuhan manusiawi (sandang, pangan, papan, kendaraan, dan sebagainya) dengan kebutuhan akademik yang menunjang peningkatan profesionalisme dan kompetensi guru. Misalnya, gaji disisihkan untuk membeli komputer, laptop, auto fokus, LCD, karton, wallchart atau piranti multimedia yang lain. Tujuanya, selain sebagai sarana guru bereksperimen, piranti multimedia itu sangat efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa semakin kreatif guru menggunakan piranti multimedia, akan berkorelasi dengan peningkatan kualitas pembelajaran di kelas.

Inisiatif guru untuk mencukupi sendiri peralatan pembelajaran, tentu sangat positif bagi yang bersangkutan, lebih-lebih sekolah. Artinya, anggaran sekolah yang mestinya dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran, bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain yang tidak kalah pentingnya.

Kenaikan gaji juga perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan wawasan guru, misalnya dengan membeli buku, koran, majalah, dan jurnal-jurnal yang sangat mendukung keilmuannya sebagai pendidik. Lebih bagus jika ada upaya untuk studi lanjut, misalnya strata satu (S1) atau magister (S2). Buku atau majalah yang dibeli, tentunya tidak sekedar dipajang di rak atau almari kaca, tetapi dibaca, direnungkan, dilaksanakan. Lebih bagus jika hasil permenungan terhadap buku itu, menjadi inspirasi bagi rekan, atau anak didik di sekolah. Pun ketika studi lanjut, jangan sekedar untuk formalitas atau menambah nilai kenaikan pangkat, tetapi diniatkan untuk memperbaiki kualitas dan kompetensi diri

Sudah saatnya perubahan didedahkan para guru bangsa. Perubahan itulah yang akan menjadi inspirasi anak didik, masyarakat dan negara untuk menciptakan tatanan kehidupan kebangsaan yang lebih baik.[]
* Peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

  1. Guru mampu mengemban tugas dan tanggung jawab yang berat hanya apabila memiliki tulang punggung yang kuat, kemudian berdiri di atas pijakan yang kokoh dengan kuda-kuda yang jejeg.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera